Bahu-membahu Indonesia-Swedia untuk Masa Depan yang Berkelanjutan
Indonesia dan Swedia memiliki kemitraan yang baik selama lebih dari 70 tahun. Kedua negara siap untuk memperluas dan mempercepat kerja sama bilateral menuju pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Oleh
MARINA BERG
·4 menit baca
Indonesia memegang Presidensi G-20 mulai 1 Desember 2021. Ini pertama kali negara berkembang menjadi ketua forum ekonomi utama dunia tersebut. Semangat untuk menangani dampak pandemi Covid-19 tertuang dalam tema keketuaan Indonesia ”Recover Together, Recover Stronger”.
Pemulihan ekonomi global jelas membutuhkan kolaborasi antarnegara. Kita menjadi kuat dengan bekerja sama. Pandemi menyadarkan kita akan pentingnya menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan inklusi sosial dan perlindungan lingkungan hidup. Kita juga perlu bermitra demi mencapai Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Saya melihat Indonesia dan Swedia antusias untuk bergerak bersama membangun kemitraan berlandaskan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Sejalan dengan Tujuan 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan), kedua negara berkolaborasi melalui Pekan Sweden-Indonesia Sustainability Partnership (SISP) yang digelar pada 22 hingga 26 November 2021.
Ini merupakan upaya Indonesia dan Swedia memperkuat kemitraan lintas pemangku kepentingan menuju Agenda 2030. Pekan SISP pertama kali diselenggarakan pada 2020 untuk memperingati 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Swedia.
Saya yakin bahwa hubungan kedua negara bisa terus diperdalam dengan kerja sama yang lebih erat lagi. Untuk itu, saya berharap Pekan SISP bisa terlaksana setiap tahun dengan melibatkan pemerintah, akademisi, dan sektor swasta.
Fokus utama Pekan SISP 2021 mencakup pembangunan berkelanjutan dan penciptaan lapangan kerja, transportasi cerdas, energi terbarukan, ekonomi biru, dan Industri 4.0. Topik-topik tersebut penting untuk disinergikan dalam perumusan dan penerapan kebijakan pembangunan pascapandemi yang adil bagi manusia dan lingkungan hidup. Digitalisasi di berbagai bidang juga berpeluang besar mendukung pencapaian SDGs.
Di masa lalu, banyak anggapan bahwa aksi untuk melawan perubahan iklim bertentangan dengan pertumbuhan ekonomi. Pengalaman Swedia membuktikan sebaliknya. Data dari Kementerian Keuangan Swedia pada 2019 menunjukkan bahwa sejak 1990, emisi gas rumah kaca Swedia turun 29 persen, sementara produk domestik bruto (PDB) tumbuh sebesar 84 persen. Meskipun pajak karbon Swedia adalah yang tertinggi di dunia, perusahaan-perusahaan Swedia mampu mempertahankan daya saingnya di pasar internasional dan kerap menjadi yang terdepan dalam upaya penanganan perubahan iklim.
Di Indonesia, keberpihakan ekonomi terhadap aspek lingkungan sudah terintegrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Namun, perlu komitmen dan upaya yang lebih masif dari seluruh pihak untuk mencapai nol emisi karbon pada 2060 atau lebih awal.
Penerapan ekonomi hijau sebenarnya lebih menguntungkan dibandingkan dengan ekonomi yang berjalan seperti biasanya (business as usual). Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan, sekitar 24 juta lapangan kerja di dunia akan tercapai pada 2030 jika semua negara melakukan transisi hijau. Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam dan manusianya berpotensi besar untuk mengembangkan pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan (green jobs).
Ekonomi biru
Ekonomi hijau berjalan searah dengan penerapan ekonomi biru (blue economy). Bank Dunia mendefinisikan ekonomi biru sebagai penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, penghidupan dan penciptaan lapangan kerja yang layak, serta untuk menjaga kesehatan ekosistem laut.
Indonesia dan Swedia memiliki banyak kesamaan peluang dan tantangan dalam pengembangan ekonomi biru. Dalam kunjungan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa ke Stockholm, Swedia, pada Oktober lalu, Indonesia dan Swedia sepakat bahwa sebagai negara kepulauan, ekonomi biru merupakan potensi ekonomi terbaik untuk pemulihan pasca-Covid-19.
Penerapan ekonomi biru akan memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang terlewatkan (leave no one behind), sesuai dengan inti Agenda 2030. Indonesia juga akan menjadikan ekonomi biru sebagai salah satu prioritas pembahasan di G-20 Development Working Group.
Indonesia dan Swedia telah memiliki kemitraan yang baik selama lebih dari 70 tahun hubungan diplomatik. Kedua negara siap untuk memperluas dan mempercepat kerja sama bilateral menuju pencapaian SDGs.
Kerja sama lintas sektor terutama dengan partisipasi pihak swasta sangat dibutuhkan. Swedia, sebagai mitra perdagangan dan investasi terbesar Indonesia di kawasan Nordik, siap bekerja sama dengan Indonesia dalam melakukan upaya berkelanjutan. Hal ini juga berlaku dalam sektor publik dan swasta, termasuk kemitraan antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta yang dikenal sebagai konsep triple helix.
Kedua negara kita memiliki peluang besar untuk dapat pulih bersama dan bangkit perkasa. Meneguhkan komitmen iklim global yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris serta menindaklanjuti Pakta Iklim Glasgow merupakan bagian yang tak terpisahkan dari upaya pencapaian SDGs.
Tahun 2030 semakin dekat, dan kita semua menginginkan pandemi ini segera surut. Saya pun berharap hubungan baik Indonesia dan Swedia yang sudah terjalin sejak lama, serta melalui gelaran pekan SISP, menjadi dasar kuat kolaborasi kedua negara dalam pencapaian Agenda 2030.
Ini waktunya melakukan perubahan. Ini adalah saatnya Indonesia dan Swedia bahu-membahu menuju masa depan yang berkelanjutan.
Marina Berg, Duta Besar Swedia untuk Indonesia, Timor-Leste, Papua Niugini, dan ASEAN