Walau nilai investasi Swedia tidak sebesar Inggris, Jerman, atau China dan Amerika Serikat, kemajuan pengembangan SDM negara Skandinavia itu bisa menjadi contoh. Bisa diterapkan pada industri berbasis sumber daya alam.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Swedia, negara di kawasan Eropa bagian utara, mungkin tidak asing bagi para penggemar sepak bola di Indonesia. Ada nama Zlatan Ibrahimovic yang masih aktif bermain dan beberapa nama legendaris, seperti Thomas Brolin, Henrik Larsson, Freddie Ljungberg, dan yang paling senior Martin Dahlin.
Namun, di balik itu, hubungan diplomatik Indonesia dan Kerajaan Swedia sebenarnya sudah terjalin lama. Duta Besar RI untuk Kerajaan Swedia dan Latvia Kamapradipta Isnomo, dalam wawancara dengan harian Kompas, Rabu (8/9/2021), menuturkan, hubungan kedua negara sudah terjalin lebih dari 70 tahun. Bahkan, Swedia adalah salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia meski secara resmi hubungan diplomatik kedua negara baru dimulai tahun 1952.
Hubungan kedua negara harus diakui sempat tidak baik ketika Swedia menjadi tempat tinggal para petinggi Gerakan Aceh Merdeka. Namun, hubungan itu kembali menjadi mesra setelah penandatangan Nota Kesepahaman Damai (MOU) Helsinki, Finlandia, Agustus 2005. Kemesraan ditandai dengan penempatan kembali Duta Besar RI di Stockholm setahun setelah perjanjian.
Perlahan hubungan membaik dan ditandai dengan kunjungan resmi para pejabat kedua negara, termasuk Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, tahun 2013. Tahun 2017, Raja Carl XVI Gustaf melakukan kunjungan balasan ke Indonesia. Di dalam rombongannya, Raja Swedia itu membawa rombongan pengusaha untuk menjalani kemitraan dengan Indonesia.
Kamapradipta mengatakan, saat ini, untuk negara di kawasan Skandinavia, hubungan dagang antara Indonesia dan Swedia adalah yang terbesar. Apabila dibandingkan dengan negara-negara Eropa besar lainnya, seperti Jerman, Inggris, Perancis dan Belanda, nilai perdagangan kedua negara mungkin tidak terlalu besar, yaitu sekitar 850 juta dollar AS pada 2019. Seiring waktu, angka-angka itu terus membaik.
Hal demikian juga dalam hal investasi. Meski investasi Swedia di Indonesia dibandingkan dengan mitra ekonomi utama, seperti Jepang, China, atau bahkan Amerika Serikat tidak terlalu besar, baru senilai 30 juta dollar AS, secara riil perusahaan Swedia yang beroperasi di Indonesia telah melebihi 100 buah. Mereka bergerak dalam berbagai sektor, mulai dari transportasi, teknologi, furnitur, hingga ritel mode.
”Bahkan, Ericsson, telah berada di Indonesia lebih dari 100 tahun. Dia membantu pengembangan teknologi telekomunikasi Indonesia mulai dari 3G hingga 5G saat ini bersama PT Telkom,” kata Kamapradipta.
Sebaliknya, Indonesia mengirimkan barang komoditas ke Swedia. Tiga komoditas utama Indonesia ke Swedia yaitu kelapa sawit, furnitur, dan barang-barang manufaktur. Menurut Kamapradipta, bahan furnitur asal Indonesia banyak menarik perhatian para desainer Swedia. Salah satunya bambu dari Nusa Tenggara Timur yang dikenal memiliki kualitas sangat baik.
Pengembangan SDM
Sebagai negara yang sadar minimnya cadangan sumber daya alam (SDA) seperti negara tetangganya—Norwegia yang punya cadangan minyak atau Finlandia yang memiliki hutan serta Denmark yang kuat dalam sektor perikanan dan pengolahan produk susu—menurut Kamapradipta, keputusan Swedia untuk memilih mengembangkan kualitas sumber daya manusia (SDM) membuatnya unggul dibandingkan para tetangganya itu. ”Ini adalah investasi jangka panjang para pemimpin Swedia sejak puluhan tahun lalu yang sadar bahwa mereka tidak memiliki SDA melimpah,” kata Kamapradipta.
Hasilnya, dengan keunggulan kualitas SDM, Swedia menghasilkan banyak perusahaan besar dan menjadi tulang punggung ekonomi negara, mulai dari teknologi, jasa, keuangan, hingga industri. Bahkan, 10-15 tahun terakhir, banyak inovasi dalam berbagai bidang, khususnya teknologi, muncul dari SDM Swedia.
Sebut saja Spotify, layanan streaming musik yang saat ini memiliki lebih dari 165 juta pengguna premium di seluruh dunia. Atau Klarna, perusahan platform teknologi finansial yang kini bernilai nyaris mendekati 50 miliar dollar AS dan menjadikan Swedia sebagai Silicon Valley-nya Eropa.
Inovasi yang tumbuh subur di Swedia menarik banyak siswa Indonesia untuk belajar di negara ini. Swedia memilih siswa-siswi yang berasal dari jurusan ilmu eksakta untuk belajar dan mengembangkan kemampuannya di negara ini dibanding ilmu sosial. Menurut Kamapradipta, hampir 95 persen pelajar Indonesia yang melanjutkan studi di negara ini berasal dari beberapa kampus terkemuka di bidang eksakta, seperti ITB, IPB, ITS, dan UGM.
Para pelajar Indonesia yang meneruskan kuliahnya di Swedia diharapkan kembali ke Indonesia dan bekerja di berbagai perusahaan yang memiliki kerja sama teknologi di antara kedua negara karena Swedia menghargai talenta-talenta lokal. Sebut saja kerja sama PT PAL dengan perusahaan alutsista BAE System BOFORS AB dalam hal maintenance, repairing, and operations (MRO). Kerja sama itu juga mencakup transfer teknologi.
Selain memerhatikan masalah pengembangan SDM, Swedia juga dikenal keberpihakannya pada pembangunan berkelanjutan berkat paradigma yang ditanamkan Raja Carl XVI Gustaf, yang dikenal sebagai ”Raja Hijau”. Pemahamannya yang luas soal iklim, lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan membuat Swedia hanya memilih komoditas yang dalam prosesnya menerapkan pola pembangunan berkelanjutan dan fair trade.
Sebut saja produk kelapa sawit asal Indonesia yang menjadi komoditas ekspor utama ke Swedia. Kamapradipta mengatakan, Pemerintah Swedia menerapkan due-diligence, kepatuhan perusahaan-perusahaan eksportir CPO asal Indonesia bahwa produk yang mereka kirim adalah legal dan berasal dari kebun kelapa sawit yang menerapkan prinsip berkelanjutan. Begitu juga dengan produk furnitur.
Kondisi yang sama disyaratkan untuk produk kopi yang tengah dipromosikan KBRI Stockholm. Menurut Kamapradipta, salah satu prinsip yang ingin diterapkan oleh para importir kopi asal Swedia terhadap produk kopi asal Indonesia adalah prinsip fair trade, sebuah norma perdagangan internasional yang diharapkan membuat para petani kopi menjadi lebih sejahtera dengan harga kopi terbaik serta prinsip-prinsip pengelolaan kebun kopi yang berkelanjutan.