Harus ada keseimbangan antara ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi dengan komitmen Indonesia mengatasi perubahan iklim. Inilah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Pemerintah Indonesia.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kompas/Priyombodo
Tongkang bermuatan batubara melintas di Sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur, 8 Maret 2021.
Setelah dua minggu berkutat, 197 negara dalam COP 26 akhirnya menyetujui Pakta Iklim Glasgow. Meski dengan banyak pembatasan, batubara akhirnya masuk pakta.
Seperti telah diduga, sidang memang berlangsung alot dalam pertemuan para pihak di Glasgow, Skotlandia. Sepanjang 31 Oktober-12 November 2021, perdebatan diwarnai ketidakadilan negara kaya dan miskin, menghapus atau mengurangi batubara, serta tuntutan atas komitmen dana dan transfer teknologi negara maju ke negara berkembang.
Faktanya, dengan pandemi Covid-19, banyak negara memilih mengabaikan kesepakatan demi memulihkan ekonomi.
Dalam ”Fossil Fueled 5” yang disusun peneliti Universitas Sussex bersama Fossil Fuel Non-Proliferation Treaty Initiative, dilaporkan bahwa Inggris, Amerika Serikat, Norwegia, Kanada, dan Australia mengucurkan dana 150 miliar dollar AS untuk proyek energi fosil fase pemulihan dampak pandemi. Ironisnya, AS dan enam negara G-7 hanya mengucurkan dana 147 miliar dollar AS untuk proyek energi terbarukan terkait perubahan iklim. (Kompas, 15/11/2021)
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Stasiun pengisian energi listrik (SPEL) di Kampung Munggui, Distrik Windesi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, 30 September 2021.
Indonesia pun kini tengah berjuang untuk bangkit setelah terpuruk menghadapi pandemi Covid-19. Dengan kondisi ekonomi yang ada, Indonesia tampaknya akan sulit mengimplementasikan komitmennya mengatasi perubahan iklim.
Menurut Laporan Penandaan Anggaran Terkait Iklim Kementerian Keuangan, rata-rata alokasi anggaran 2016-2020 untuk menangani perubahan iklim Rp 89,6 triliun per tahun, jauh dari proyeksi Rp 266,25 triliun kurun 2018-2030.
Target proporsi energi baru terbarukan 23 persen pada 2025 juga baru tercapai 12 persen saat ini. Bahkan, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) masih menyebut pemanfaatan energi fosil hingga 2050. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014, target persentase penggunaan gas bumi 2025 masih 22 persen dan pada 2050 hanya naik 2 persen menjadi 24 persen.
Beban akan makin berat mengingat pemerintah juga tengah berupaya memenuhi janjinya untuk mengalirkan listrik ke berbagai pelosok Indonesia tanpa kecuali. Dengan demikian, meski dalam pelbagai rancangan ada upaya transisi energi untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil, tak mudah untuk mewujudkannya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Kincir angin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo I di Jeneponto, Sulawesi Selatan, 23 Juni 2019. Terdapat 20 turbin angin di PLTB Tolo dengan kapasitas masing-masing 3,6 MW.
Dengan kondisi perekonomian yang masih terdampak pandemi, Pemerintah Indonesia tampaknya akan menghadapi dilema antara memilih energi batubara yang murah atau energi baru terbarukan yang masih mahal implementasinya.
Memang ada usulan untuk mengembangkan teknologi penangkapan karbon (dari minyak dan gas bumi) serta coal gasification dan coal liquefaction—keduanya mengonversi batubara menjadi gas dan cairan hidrokarbon yang lebih bersih—tak gampang mewujudkannya pada skala besar.
Yang jelas, harus ada keseimbangan antara ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi dengan komitmen Indonesia mengatasi perubahan iklim. Inilah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Pemerintah Indonesia.