Bank Dunia: RI Punya Tiga Area Potensial Penciptaan Pekerjaan Hijau
Berdasarkan hasil analisis Bank Dunia terhadap 200 portal lowongan kerja di Indonesia pada 2020, ada permintaan kuat terhadap pekerja berketerampilan tinggi yang memiliki kemampuan khusus di bidang ekonomi hijau.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan ekonomi hijau, termasuk transisi energi, di Indonesia perlu dibarengi dengan penciptaan lapangan kerja dan transisi pekerja yang terkait dengan sektor-sektor tersebut. Bank Dunia menyebutkan Indonesia memiliki tiga area potensial yang perlu digarap sejak sekarang untuk mewujudkan pekerjaan hijau.
Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Satu Kahkonen, Senin (22/11/2021), mengatakan, Indonesia telah berkomitmen mewujudkan ekonomi hijau, termasuk di dalamnya menyangkut transisi energi. Oleh karena itu, Indonesia perlu segera menyiapkan transisinya, terlebih di sektor ketenagakerjaan.
Ada tiga area potensial penciptaan pekerjaan hijau di Indonesia. Pertama, area yang berkaitan langsung dengan pekerjaan hijau atau yang benar-benar membutuhkan keterampilan khusus di bidang teknologi dan ekonomi hijau. Berdasarkan hasil analisis Bank Dunia terhadap 200 portal lowongan kerja di Indonesia pada 2020, ada permintaan kuat terhadap pekerja berketerampilan tinggi yang memiliki kemampuan khusus di bidang ekonomi hijau.
”Pekerjaan langsung terkait ekonomi hijau yang diminta itu antara lain di sektor biodiesel, pengolahan limbah, analisis cuaca, pengolahan air, pengendalian mutu, teknik listrik atau elektro, dan teknik lingkungan, dan konservasi energi,” kata Kahkonen dalam webinar Pekan Kemitraan Berkelanjutan Swedia-Indonesia (SISP) bertema ”Pembangunan Berkelanjutan dan Penciptaan Pekerjaan”.
Ada permintaan kuat terhadap pekerja berketerampilan tinggi yang memiliki kemampuan khusus di bidang ekonomi hijau.
Kedua, lanjut Kahkonen, area yang tidak berkaitan langsung dengan pekerjaan hijau, tetapi menerapkan prinisp-prinsip ekonomi hijau. Sejumlah sektor yang terkait dengan hal itu antara lain transportasi, manufaktur, konstruksi, energi, dan agrikultur.
Ketiga, area yang bakal kehilangan pekerjaan karena program transisi energi. Salah satu yang paling kentara adalah sektor pertambangan batubara dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bertenaga batubara.
”Kami mencatat, ada sekitar 240.000 pekerja di sektor pertambangan batubara di Indonesia yang tersebar di Kalimantan dan Sumatera. Tentu saja mereka membutuhkan pekerjaan baru jika jumlah tambang batubara mulai berkurang seiring dengan penutupan PLTU batubara di Indonesia,” tuturnya.
Transisi pekerjaan itu, lanjut Kahkonen, perlu dipikirkan sejak sekarang. Sektor-sektor atau pekerjaan-pekerjaan penggantinya perlu disiapkan sedini mungkin agar tidak menambah pengangguran di Indonesia. Mereka juga perlu dibekali dengan pelatihan keterampilan-keterampilan khusus dan bisa diarahkan ke sektor-sektor atau pekerjaan hijau.
Ada sekitar 240.000 pekerja di sektor pertambangan batubara di Indonesia yang tersebar di Kalimantan dan Sumatera. Tentu saja mereka membutuhkan pekerjaan baru jika jumlah tambang batubara mulai berkurang seiring dengan penutupan PLTU batubara di Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, Indonesia telah menyiapkan sejumlah sektor untuk menciptakan pekerjaan hijau. Salah satunya di sektor manufaktur dan pelayanan publik.
”Berkaca dari Amerika Serikat, sektor manufaktur dapat menciptakan 3,1 juta pekerjaan hijau atau sekitar 20,4 persen dari total pekerjaan hijau di negara itu,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Amalia, Indonesia berupaya mendorong penerapan ekonomi sirkular secara berkelanjutan. Penerapan ekonomi sirkular ini akan berdampak pada penciptaan pekerjaan hijau dan meningkatkan produk domestik bruto (PDB).
Berdasarkan hasil kajian Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) bersama Bappenas, terdapat lima sektor potensial penerapan ekonomi sirkular di Indonesia. Kelima sektor itu adalah makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, konstruksi, ritel, dan elektronik.
Implementasi ekonomi sirkular di lima sektor itu mampu menciptakan 4,4 juta lapangan kerja baru dan meningkatkan PDB di kisaran Rp 593 triliun-Rp 638 triliun pada 2030. Implementasi tersebut juga dapat menurunkan emisi gas rumah kaca atau karbondiaoksida sebesar 126 juta ton.
Dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi hijau dan biru, Indonesia dan Swedia membangun kemitraan berkelanjutan. Ada 10 program kemitraan yang digulirkan kedua negara tersebut, antara lain penyediaan 10.000 bus listrik di Jakarta, membersihkan sampah Sungai Ciliwung, pembangunan pembangkit listrik tenaga angin dan ombak, serta pengolahan sampah menjadi energi di Medan, Cirebon, dan Probolinggo.
Kolaborasi kedua negara itu akan dibahas dalam SISP kedua yang akan berlangsung pada 22-26 November 2021. Dalam forum itu, lima program kemitraan Swedia-Indonesia yang akan dibahas adalah pembangunan berkelanjutan dan penciptaan lapangan kerja, transportasi cerdas, energi terbarukan, ekonomi biru, dan Industri 4.0.
Duta Besar Swedia untuk Indonesia, Timor-Leste, Papua Niugini, Marina Berg menuturkan, pandemi Covid-19 telah memberikan dampak negatif terhadap perekonomian global, termasuk Swedia dan Indonesia. Pada saat yang sama, perubahan iklim juga menjadi tantangan bersama yang perlu diminimalisasi dampaknya.
”Kedua tantangan itu tidak akan membaik tanpa intervensi kita. Sekaranglah waktunya untuk memikirkan kembali pembangunan. Kita harus bekerja sama untuk mengatasi pandemi ini dan kita perlu memastikan pemulihan yang lebih kuat, lebih hijau dan berkelanjutan untuk semua,” ujarnya.
Sementara itu, Duta Besar Indonesia untuk Swedia dan Latvia Kamapradipta Isnomo mengatakan, kemitraan dengan Swedia memiliki peran penting untuk memastikan Indonesia dapat mewujudkan ekonomi hijau dan transisi energi. Kedua negara telah membentuk kelompok kerja bersama (joint working group) untuk energi baru terbarukan.
”Pembentukan kelompok kerja itu menyusul komitmen pemerintah untuk melakukan transisi energi dari bahan bakar fosil ke bauran yang lebih berkelanjutan. Hal ini akan dilanjutkan di sektor-sektor lainnya, seperti transportasi, penciptaan lapangan kerja, dan Industri 4.0,” katanya.