Masa Depan Batubara Suram, Percepat Transisi Energi Bersih
Negara-negara berkembang yang membangun pembangkit listrik tenaga uap diharapkan mempercepat transisi ke energi bersih. Hal itu seiring komitmen China dan negara-negara G-20 untuk mengakhiri pembiayaan energi batubara.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen China dan negara-negara anggota G-20 untuk mengakhiri pembiayaan energi batubara bakal berdampak serius terhadap delapan negara di Asia, termasuk Indonesia. Dengan suramnya masa depan batubara, negara-negara berkembang yang masih membangun pembangkit listrik tenaga uap diharapkan mempercepat transisi ke energi bersih.
Hal itu dilaporkan Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Global Energy Monitor (GEM) dalam kajian yang dirilis pada Rabu (10/11/2021). Laporan ini menyoroti masa depan PLTU batubara di Asia, termasuk Indonesia, yang saat ini masih dalam tahap pembangunan.
Laporan ini menyebutkan, pada September 2021, Presiden China Xi Jinping telah berjanji akan menghentikan pembangunan PLTU batubara di luar negeri. Janji China ini memperkuat tren penghentian keuangan global untuk batubara karena beberapa lembaga swasta serta lembaga pemerintah lainnya, terutama dari Jepang dan Korea Selatan, telah membuat pengumuman serupa.
Sebelum pengumuman China, lebih dari 65 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga batubara direncanakan dibangun di delapan negara Asia di luar China dan India, yaitu Bangladesh, Indonesia, Laos, Pakistan, Filipina, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam. Jika semua pembangkit listrik yang bergantung pada dukungan China dibatalkan, itu akan menghapus dua pertiga dari proyek yang direncanakan sehingga hanya tersisa 22 GW di delapan negara.
”Industri batubara Asia adalah benteng terakhir. Mereka telah mengalami gelombang pembatalan terhadap penggunaan pembangkit listrik batubara. Janji China untuk menghentikan pembiayaan PLTU batubara di luar negeri akan memicu satu gelombang baru (pembatalan),” kata Russell Gray, peneliti di GEM.
Menurut Russel, ditambah dengan adanya komitmen negara G-20 yang juga akan mengakhiri pembiayaan publiknya untuk pembangunan PLTU batubara, kemungkinan besar dari 22 GW yang tersisa juga akan menghadapi risiko pembatalan pada tahun-tahun mendatang.
Untuk beberapa negara, seperti Bangladesh dan Sri Lanka, dampak pengumuman China sangat besar, dengan hampir semua proyek berbahan bakar batubara dibatalkan. Indonesia juga bakal terpengaruh sekalipun tidak separah Bangladesh dan Sri Lanka.
Industri batubara Asia adalah benteng terakhir. Mereka telah mengalami gelombang pembatalan terhadap penggunaan pembangkit listrik batubara.
Disebutkan dalam kajian ini, banyak proyek batubara di Indonesia yang dianggap sebagai captive power atau telah mencapai penutupan keuangan meskipun memiliki jangka waktu yang panjang dan prospek keuangan yang buruk. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 di Indonesia yang baru juga mengubah atau membatalkan lebih dari 1,6 GW batubara dan menunda 3,6 GW lainnya.
Sesuai RUPTL 2021-2030, sekitar 65 persen dari PLTU batubara yang direncanakan dibangun di Indonesia berpotensi gagal jika China menarik dan membatalkan pembiayaan listrik batubara. Proyek tersisa yang kemungkinan akan dilanjutkan adalah proyek pembangkit di kawasan industri.
Misalnya, Taman Industri Nanshan seluas 2,7 GW telah dikaitkan dengan pembiayaan China dan terkait dengan produksi alumina. Konstruksi tahap II hingga IV proyek telah dimulai meskipun beberapa unit belum mendapatkan izin atau financial close.
Demikian pula, dari 12 GW pembangkit listrik tenaga batubara yang direncanakan akan dibangun di Indonesia, 3,58 GW akan digunakan oleh industri pemurnian nikel Indonesia yang sedang dibangun. Ini akan menambah 3,16 GW tenaga batubara yang sudah digunakan untuk pemurnian nikel di dalam negeri.
Transisi energi
Kajian ini juga menyebutkan, sebagian besar proyek ini sudah tidak dibutuhkan dan berisiko jika dibangun. Selain biaya bahan bakar yang tidak dapat diprediksi dan besarnya subsidi yang harus dikeluarkan negara, PLTU batubara memicu masalah lingkungan dan kesehatan. Oleh karena itu, direkomendasikan agar negara-negara di Asia segera membatalkan proyek-proyek ini sebelum mereka mulai beroperasi.
Jika jaringan 22 GW batubara yang tersisa di Asia dibatalkan, hal itu akan menghemat lebih dari 27 miliar dollar AS dalam biaya modal yang dapat dihabiskan untuk teknologi nol-karbon, efisiensi energi, serta perluasan dan modernisasi jaringan. Hal itu juga akan menghindari penambahan sekitar 103 juta ton emisi karbon dioksida setiap tahun, setara dengan total emisi karbon dioksida Bangladesh pada 2019.
”Daftar pembiayaan yang mau dan mampu mendanai batubara semakin berkurang. Pembangunan PLTU batubara baru juga tidak sesuai dengan janji-janji yang dibuat negara-negara Asia pada COP 26. Ini tidak masuk akal secara finansial karena harga pembangkit tenaga surya dan angin terus turun menjadi lebih murah daripada listrik batubara,” ujar Isabella Suarez, analis CREA dan salah satu penulis laporan tersebut.
Sejumlah negara di Asia sebenarnya telah bergerak maju. Misalnya, pada 3 November lalu, Vietnam bergabung dengan ”Global Coal to Clean Power Transition Statement”. Perjanjian itu dideklarasikan untuk meningkatkan penyebaran pembangkit listrik bersih dan menghentikan pembangkit listrik batubara paling lambat 2040-an.
Indonesia juga menandatangani pernyataan tersebut, tetapi mengecualikan klausul 3, yaitu menghentikan perizinan baru, konstruksi, dan pembiayaan langsung untuk proyek pembangkit batubara baru yang belum dihentikan. Indonesia malah menambahkan peringatan yang mengatakan ”akan mempertimbangkan untuk mempercepat fase batubara ke tahun 2040-an, bergantung pada bantuan keuangan dan bantuan teknis internasional”.