Transisi energi fosil ke energi terbarukan berpeluang menciptakan pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan atau ”green jobs”. Namun, hal ini mesti diselaraskan dengan strategi transisi hingga kebijakan ekonomi.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Kincir-kincir angin berjajar milik Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo-1 di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (2/2/2019). PLTB berkapasitas 72 MW ini menjadi PLTB terbesar kedua di Indonesia setelah PLTB Sidrap yang berkapasitas 75 MW. Ada 20 kincir angin yang terpasang di PLTB ini. Beroperasinya PLTB ini akan memperkuat pasokan listrik di Sulawesi Selatan. Pemerintah akan terus mendorong investasi sumber energi terbarukan dengan memanfaatkan potensi alam Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Sejalan dengan program transisi energi, yaitu peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan, setiap negara punya peluang lebih banyak pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan atau green jobs. Peluang seperti itu perlu digarap optimal melalui pelaksanaan perekonomian hijau yang tepat.
Co-Founder dan CEO Ecoxyztem Venture Builder Jonathan Davy mengatakan, selama 7-8 tahun terakhir, aliran dana dari perusahaan modal ventura untuk membiayai usaha rintisan yang mengedepankan ramah lingkungan mencapai 62 miliar dollar AS. Aliran dana ini berasal dan terdistribusikan di Amerika Serikat, Eropa, dan China. Negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang dianggap paling rentan terdampak perubahan iklim justru mendapat porsi kecil.
Selain aneka riset, sejumlah usaha rintisan berbasis teknologi digital berkembang menciptakan solusi menekan dampak perubahan iklim. Hasilnya bisa menggerakkan ekonomi kerakyatan baru, seperti ekstrak albumin dari ikan gabus yang dibudidayakan di wilayah lahan gambut di Riau. Budidaya ikan di lahan gambut mampu menekan kebakaran hutan.
”Saat ini, pendanaan proyek ramah lingkungan dan teknologi pendukung semakin banyak. Persoalannya di Indonesia adalah adopsi. Apakah industri mau memakai dan bagaimana mendorong mereka mengadopsi sehingga peluang green jobs semakin bisa digarap,” ujar Jonathan saat menghadiri webinar ”Green Jobs in Indonesia: Opportunities, Challenges, and Future Outlook”, Sabtu (6/11/2021), di Jakarta.
Negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang dianggap paling rentan terdampak perubahan iklim justru mendapat porsi kecil.
Research Fellow for Gender Generation and Climate Change University of Leeds Desy Ayu Pirmasari berpendapat, green jobs tidak melulu harus datang dari sektor energi, kehutanan, dan bidang lainnya yang berhubungan langsung dengan alam. Banyak peluang green jobs bisa diciptakan di luar sektor itu. Misalnya, pekerjaan pengadaan barang yang selalu ada di perusahaan. Bidang pekerjaan ini bisa menjadi green jobs jika memakai cara-cara pengadaan barang yang ramah lingkungan, seperti pengurangan ataupun peniadaan pemakaian kertas.
Contoh lain adalah pekerjaan ahli hukum dan pengacara. Bidang pekerjaan ini bisa dikatakan green jobs jika pekerjanya membantu warga marjinal yang terdampak perubahan iklim. Hal ini umumnya banyak terjadi di negara berkembang.
”Pekerjaan petani pun tidak bisa serta-merta disebut green jobs kendati berhubungan langsung dengan alam. Apabila menggunakan pendekatan organik, pekerjaan petani bisa disebut green jobs,” kata Desy.
Menurut Desy, green jobs semestinya bisa melimpah jika kebijakan transisi energi dijalankan pemerintah dan pebisnis/pelaku industri secara serius. Sementara menurut Jonathan, sektor pendidikan perlu dilibatkan agar ada suplai tenaga kerja green jobs yang kompeten.
Peneliti di Institute for Essential Services Reform (IESR) Julius Christian memandang, komoditas energi fosil masih memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian. Lima tahun terakhir, Indonesia masih membangun pembangkit listrik tenaga uap yang membakar batubara. Investasi minyak dan gas bumi, seperti kilang baru, juga masih berkembang sehingga mendorong ekonomi lokal tumbuh.
Green jobs tidak melulu harus datang dari sektor energi, kehutanan, dan bidang lainnya yang berhubungan langsung dengan alam.
Seekor bunglon hinggap di depan pipa penyalur uap panas bumi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang di Kabupaten Bandung,Kamis (30/9/2021). Dari tiga unit PLTP yang dikelola PT Indonesia Power ini mampu menghasilkan listrik 140 MW yang memasok jaringan listrik interkoneksi Jawa, Bali, dan Madura. PLTP pertama di Indonesia yang beroperasi sejak 1982 ini menjadi contoh pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan.
”Perubahan kebiasaan dari pemakaian energi fosil menjadi energi terbarukan tidak terhindarkan. Perubahan ini sudah terprediksi dan tahun 2030 harga energi terbarukan akan kompetitif. Untuk Indonesia, perubahan itu harus dikelola dengan lancar, sebab mau tidak mau akan berdampak ke lapangan pekerjaan,” ujar Julius.
Julius sepakat bahwa institusi pendidikan tinggi harus terlibat aktif melahirkan talenta-talenta yang kompeten di bidang green jobs. Hanya saja, menurut Julius, institusi pendidikan tinggi kurang fleksibel dalam mengembangkan kurikulum yang berkaitan dengan keahlian green jobs.
”Solusinya, kampus bisa menggandeng organisasi dari luar, baik perusahaan maupun organisasi nirlaba, yang berkecimpung di isu perubahan iklim hingga ekonomi berkelanjutan,” imbuhnya.
Industri lokal
Post-Doctoral Researcher Helmholtz-Zentrum Berlin, Jerman, Noor Titan Putri, yang hadir di acara yang sama, berpendapat, penerapan energi terbarukan secara optimal mampu membuka lapangan green jobs yang luas asalkan industri pendukungnya dibangun. Dia lantas menggambarkan kondisi di Indonesia. Panel surya yang dipakai pada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dominan memakai bahan baku impor.
Penerapan energi terbarukan secara optimal mampu membuka lapangan green jobs yang luas asalkan industri pendukungnya dibangun.
Teknisi memantau suhu serapan di atas permukaan panel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Cirata yang dikelola PT Pembangkitan Jawa Bali di kawasan Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Kamis (23/9/2021). PLTS berkapasitas 1 MW ini menjadi proyek percontohan sekaligus sarana pembelajaran tentang PLTS. Menurut rencana, di dalam Waduk Cirata akan dibangun PLTS terapung dengan kapasitas terpasang 145 MW.
”Seusia pakai panel surya berkisar 20-25 tahun, berarti Indonesia perlu memikirkan juga pengelolaan limbahnya. Hal seperti ini punya peluang penciptaan green jobs sekaligus konsekuensi negatif apabila tidak ada strategi pengelolaan sama sekali,” kata Titan.
Berdasarkan survei IESR bersama Indonesia Mengglobal yang berlangsung 27 Oktober-4 November 2021, sebesar 93 persen dari 205 responden tertarik isu energi dan lingkungan dan setengahnya merasa belum akrab dan paham dengan istilah green jobs. Lebih dari 90 persen responden merasa puas jika memiliki pekerjaan yang memperhatikan dampak lingkungan.
Studi berjudul ”Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System: A Pathway to Zero Emissions by 2050”, yang dikerjakan oleh IESR dengan Agora Energiewende dan Lappeenranta University of Technology (Mei 2021), memprediksi akan ada 3,2 juta lapangan kerja baru pada 2050 jika Indonesia berhasil bertransisi 100 persen ke energi terbarukan. Sekitar 65 persen dari 3,2 juta lapangan kerja baru itu berasal dari sektor PLTS.