Memeras Keringat Membiayai ”Pensiun Dini” PLTU
Pandemi Covid-19 belum usai. Indonesia masih harus menanggung beban pembiayaan mewujudkan transisi energi menuju bebas emisi karbon. Pembiayaan via mekanisme transisi energi (ETM) menjadi salah satu alternatif pilihan.
Pertemuan Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim ke-26 atau (COP26) di Glasgow, Skotlandia, melahirkan sejumlah komitmen global untuk menekan laju percepatan perubahan iklim. Salah satunya adalah mengganti energi berbahan baku fosil menjadi energi baru terbarukan.
Termasuk di dalamnya adalah komitmen mengurangi penggunaan batubara dan memensiunkan atau mencadangkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang membakar batubara. Lembaga think tank Transition Zero menyebutkan, sekitar 3.000 unit PLTU di seluruh dunia harus dimatikan sebelum 2030 jika ingin mencegah kenaikan suhu di atas 1,5 derajat celsius.
Saat ini, lebih dari 2.000 gigawatt (GW) PLTU beroperasi di seluruh dunia. Kapasitas terpasang tersebut harus dipangkas sekitar 1.000 GW untuk mencegah kenaikan suhu bumi dan digantikan dengan energi terbarukan.
Inggris, Indonesia, China, India, Filipina, dan Vietnam telah menyampaikan komitmennya dalam COP 26 untuk mengurangi penggunaan batubara dan memensiunkan PLTU secara bertahap. Target jangka menengahnya adalah 2030 dan jangka panjangnya 2060.
Bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menjalankan kebijakan itu tidak mudah. Seusai ”kantong” negara terkuras untuk menangani pandemi Covid-19, Indonesia membutuhkan pembiayaan besar untuk merealisasikan transisi energi dan memensiunkan PLTU.
Dalam akun Instragram-nya, Rabu (3/11/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, total kapasitas PLTU batubara yang ditransisikan ke EBT mencapai 5,5 GW PLTU. Dalam delapan tahun ke depan, Indonesia setidaknya membutuhkan dana sekitar 20 miliar-30 miliar dollar AS atau berkisar Rp 284 triliun-Rp 426 triliun untuk merealisasikan transisi itu.
Bagi Indonesia yang tengah merampungkan sejumlah pembangunan PLTU baru, transisi tersebut akan menambah beban biaya. Ada biaya kompensasi atas kontrak jangka panjang yang masih berlangsung yang harus dibayarkan kepada investor. Skema transisi dan pembiayaan pun digulirkan.
Dalam Kompas Talks bertajuk ”Energi Terbarukan: Sudut Pandang Supply-Demand, Keterjangkauan Tarif, dan Keandalan Pasokan” pada 21 Oktober 2021, Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Darmawan Prasodjo menuturkan, PLN sudah memiliki program karbon netral 2060 untuk mengganti energi fosil menjadi energi terbarukan. Indonesia membutuhkan 250-280 GW pembangkit listrik energi terbarukan dengan total nilai investasi berkisar 600-700 miliar dollar AS atau Rp 9.000 triliun.
Baca Juga: Energi Terbarukan Terkendala Teknologi
Di sisi lain, pembangunan itu ibaratnya dilakukan tidak di atas kertas kosong. Selama ini, PLN sudah memiliki pembangkit dan kontrak-kontrak jangka panjang. Hal ini termasuk PLTU-PLTU yang masih terikat kontrak, serta yang masih beroperasional dan sudah menjadi milik PLN atau aset negara.
”Jika mau dipensiunkan dini, harus ada biaya liabilitas yang harus ditutup. Begitu juga jika harus dikeluarkan dari aset negara, juga perlu ada biaya penggantiannya. Untuk memensiunkan dini 5,4 GW PLTU atau mengurangi sekitar 900 juta ton secara bertahap hingga 2028, perlu dana tambahan sekitar 3,8 miliar dollar AS,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Darmawan, untuk mengefisienkan biaya, PLN tetap mengacu pada skema dasar memensiunkan PLTU, yaitu pada saat masa keekonomian PLTU itu habis. Hal ini dapat menekan tambahan biaya liabilitas tersebut. Sementara opsi lainnya adalah memensiunkan dini PLTU dengan mendorong akuisisi aset PLTU PLN oleh pihak ketiga melalui pendanaan hijau berbasis mekanisme transisi energi (ETM).
Skema pendanaan
ETM merupakan salah satu cara pembiayaan gabungan (blended-finance) untuk mendukung percepatan waktu penutupan PLTU bertenaga batubara, kemudian menggantikannya dengan tenaga EBT. Pembiayaan pertama dikhususkan untuk penutupan dini atau pengalihan fungsi pembangkit listrik tenaga batubara dengan jadwal yang dipercepat. Adapun pembiayaan kedua berfokus pada investasi pembangkit, penyimpanan, dan peningkatan jaringan listrik EBT.
ETM merupakan salah satu cara pembiayaan gabungan (blended-finance) untuk mendukung percepatan waktu penutupan PLTU bertenaga batubara, kemudian menggantikannya dengan tenaga EBT.
Baca Juga: Skeptis Melihat Janji 20 Miliar Dollar AS di COP 26
Di sela-sela COP26 di Glasgow, Rabu (3/11/2021), Bank Pembangunan Asia (ADB) meluncurkan kemitraan baru untuk memulai ETM bersama Indonesia dan Filipina. Peluncuran itu dihadiri Presiden ADB Masatsugu Asakawa, Sri Mulyani, dan Menteri Keuangan Filipina Carlos G Dominguez III.
Dua hari sebelumnya, ADB menandatangani Nota Kesepahaman (MOU) dengan PLN untuk mendukung upaya mencapai target energi bersih di Indonesia. MoU itu ditandatangani Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini dengan Direktur Jenderal ADB untuk Asia Tenggara Ramesh Subramaniam.
Implementasi ETM di Indonesia dan Filipina, dan kemudian akan menyusul Vietnam tersebut ditujukan untuk menutup dan mentransisikan 50 persen dari seluruh PLTU dengan total kapasitas sekitar 30 GW dalam kurun waktu 10-15 tahun ke depan. Langkah ini dapat mengurangi 200 juta ton emisi CO2 per tahun atau setara dengan menghilangkan 61 juta mobil di jalan.
Dalam program itu, ADB akan mendukung Indonesia dan Filipina menciptakan kebijakan dan kondisi usaha yang memungkinkan peningkatan tata kelola program, pengurangan karbon, dan sasaran transisi yang adil. Dalam tahap rintisan sepanjang 2-3 tahun, ETM akan menggalang sumber dana yang diperlukan untuk mempercepat penutupan lima hingga tujuh PLTU Indonesia dan Filipina.
Langkah itu sekaligus untuk memfasilitasi investasi EBT sesuai potensi masing-masing negara. Selain itu, bantuan teknis akan diberikan untuk pembelajaran keterampilan baru dan pengembangan mata pencarian bagi para pekerja dan masyarakat yang terdampak.
”Indonesia dan Filipina bisa menjadi pelopor dalam proses penghapusan batubara dari bauran energi di kawasan Asia Pasifik sehingga dapat berkontribusi besar bagi pengurangan emisi gas rumah kaca global dan membawa perekonomian kedua negara ini ke jalur pertumbuhan yang rendah karbon,” kata Masatsugu melalui siaran pers.
Indonesia dan Filipina bisa menjadi pelopor dalam proses penghapusan batubara dari bauran energi di kawasan Asia Pasifik, sehingga dapat berkontribusi besar bagi pengurangan emisi gas rumah kaca global.
Baca Juga: Dunia Tinggalkan Batubara, Indonesia Pacu Hilirisasi
Pemerintah Jepang juga berkomitmen mendukung kemitraan ETM itu. Wakil Menteri Urusan Internasional Kementerian Keuangan Jepang, Masato Kanda, menyatakan, Pemerintah Jepang akan memberikan hibah senilai 25 juta dollar AS bagi negara pelaksana kemitraan ETM.
ADB juga telah meningkatkan dana untuk pembiayaan iklim selama 2019-2030 menjadi 100 miliar dollar AS. ADB menyebutkan, sebanyak 75 persen dari seluruh proyek ADB akan terkait dengan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Kementerian Keuangan pun memastikan, transisi PLTU tidak sepenuhnya menggunakan dana APBN, melainkan pendanaan gabungan melalui program ETM. Pemerintah juga akan mengikutsertakan PLTU-PLTU yang akan dipensiunkan dini dalam skema cap and trade emission atau perdagangan karbon.
”Skemanya telah disiapkan. Pemerintah akan bekerja sama dengan mitra pembangunan untuk mengatur agenda ETM. Dananya juga akan bersifat kolaborasi dikelola dengan beberapa opsi antara lain melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) atau Indonesia Investment Authority (INA),” kata Tenaga Fungsional Peneliti Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto.
Baca Juga: Pajak Karbon dan PNBP Kehutanan
Sementara itu, dalam siaran pers, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir menuturkan, perusahaan-perusahaan BUMN diharapkan bisa menangkap peluang investasi ekonomi hijau dari negara-negara lain. Dalam pertemuan bilateral antara Indonesia dan Inggris di Glasgow, kedua negara sepakat meningkatkan kerja sama di bidang ekonomi hijau.
Indonesia menekankan pentingnya investasi hijau dan teknologi sebagai kunci transisi ekonomi hijau, sedangkan Inggris tertarik berinvestasi di bidang jasa pembiayaan atau kredit ekspor untuk transisi ekonomi hijau.
”Saya berharap BUMN-BUMN energi, seperti PLN, Pertamina, dan industri minerba dapat merespons dan menjalankan transformasi energi bersih dan mengurangi emisi karbon,” kata Erick.
Baca Juga: Bebas Emisi Karbon Lahirkan Normal Baru Perdagangan dan Industri