Pajak Karbon dan PNBP Kehutanan
Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon kian mendesak untuk segera disahkan dan diterbitkan menjadi basis aturan perdagangan karbon.

Kompas
Pemerintah Indonesia melakukan terobosan untuk memberlakukan pajak karbon mulai 2022. Tadinya pajak karbon ini akan berlaku mulai 1 Januari 2021, tetapi diundur menjadi 1 April 2022.
Langkah berani pemerintah ini harus diapresiasi dalam perspektif penanganan dan pengendalian perubahan iklim yang terus meningkat skalanya, baik secara global, regional, maupun domestik di Indonesia.
Dalam draf revisi Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) dijelaskan, subyek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Adapun pajak karbon diberlakukan pada barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu dan pada periode tertentu.
Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2-e) atau satuan yang setara. Nantinya penerimaan dari pajak karbon yang dipungut pemerintah ini dapat dialokasikan untuk mengendalikan perubahan iklim.
Ketentuan mengenai penetapan tarif pajak karbon, perubahan tarif pajak karbon, dan penambahan obyek pajak karbon akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP). Sementara ketentuan mengenai subyek pajak karbon, tata cara penghitungan, pemungutan pembayaran/penyetoran, pelaporan, dan mekanisme pengenaan pajak karbon, serta alokasi penerimaan dari pajak karbon diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
Oleh karena itu, wajar apabila pemerintah memberikan perhatian (concern) yang serius dan cepat dalam penanganan perubahan iklim dunia ini.
Kendati rincian struktur pajak karbon masih belum jelas karena masih dalam proses pembahasan, pemerintah juga telah mengumumkan niatnya untuk mengenakan pajak pada industri yang mengeluarkan karbon, seperti pulp dan kertas, semen, pembangkit listrik, dan petrokimia.
Bahana Sekuritas memperkirakan pendapatan pajak yang dihasilkan dari pajak karbon bisa mencapai Rp 26 triliun hingga Rp 53 triliun atau 0,2-0,3 persen produk domestik bruto (PDB) dengan asumsi tarif pajak 5-10 dollar AS per ton CO2 yang mencakup 60 persen emisi energi.
Alur pikir logis
Ide besar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam menangani emisi karbon dunia sudah selayaknya mendapat dukungan penuh dari masyarakat karena merupakan langkah konkret dan nyata dalam pembangunan ekonomi hijau (green economy) yang didengung-dengungkan negara-negara maju di tingkat global.
Alur berpikir seperti ini logis dan masuk akal karena penyebab terbesar dari adanya emisi karbon di antaranya akibat dari alih fungsi hutan untuk kepentingan non-kehutanan. Menurut data terakhir, perubahan fungsi hutan menjadi nonhutan menyumbang 48 persen emisi karbon. Menyusul kemudian, karbon dari transportasi 21 persen, kebakaran 12 persen, limbah pabrik 11 persen, pertanian 5 persen, dan sektor industri 3 persen.
Baca juga: Menilik Wacana Pengenaan Pajak Karbon di Indonesia
Indonesia merupakan tiga besar pemilik hutan tropika basah di dunia setelah Brasil dan Gabon yang mempunyai saham besar dalam penyerapan emisi karbon dari kawasan hutannya. Oleh karena itu, wajar apabila pemerintah memberikan perhatian (concern) yang serius dan cepat dalam penanganan perubahan iklim dunia ini.
Mengingat bahwa pajak karbon menyasar barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu dan pada periode tertentu, maka pajak karbon juga harus diarahkan kepada aktivitas sektor penyumbang emisi karbon itu sendiri, yakni kehutanan (alih fungsi hutan dan kebakaran hutan), perhubungan (transportasi), perindustrian (limbah pabrik dan industri), dan pertanian.
Aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dari sektor kehutanan adalah hilangnya vegetasi kayu akibat penebangan hutan, baik secara legal (melalui perizinan resmi) maupun ilegal (melalui perambahan hutan dan pencurian kayu) serta kebakaran hutan.
Oleh karena itu, obyek pajak karbon untuk kehutanan juga harus disasar dari aktivitas ini dan tidak hanya terbatas barang yang mengandung karbon seperti pulp dan kertas saja.

Didie SW
PNBP kehutanan
Sektor kehutanan merupakan penyumbang terbesar, hampir separuh, emisi karbon di Indonesia. Emisi karbon kehutanan berasal dari hilangnya vegetasi kayu-kayuan dalam kawasan hutan dan tutupan hutan (forest coverage) di luar kawasan hutan akibat alih fungsi hutan, perambahan hutan (illegal logging) serta kebakaran hutan.
Selama ini, penerimaan negara yang dipungut dari hasil kayu yang legal dari hutan alam dan hutan tanaman dalam kawasan hutan negara berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor kehutanan.
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Bidang Kehutanan Pasal 35 Ayat (4), setiap pemegang perizinan berusaha terkait pemungutan hasil hutan hanya dikenai PNBP berupa provisi di bidang kehutanan. Khusus hasil hutan berupa kayu di hutan alam dikenai pungutan tambahan berupa dana reboisasi (DR).
Ketentuan ini (pungutan provisi dan DR) tidak berlaku dalam pemungutan hasil hutan kayu dari kawasan di luar kawasan hutan negara (hutan rakyat dan hutan adat). Sementara vegetasi kayu-kayuan yang hilang dari kawasan hutan negara akibat penebangan liar, perambahan hutan, dan kebakaran hutan tidak tercatat dalam data pemerintah yang dikenai pungutan PNBP.
Sektor kehutanan merupakan penyumbang terbesar, hampir separuh, emisi karbon di Indonesia.
Bilamana pemerintah akan menerapkan pajak karbon tahun depan, sektor kehutanan yang dikenai pungutan pajak karbon atas aktivitas yang menghasilkan emisi karbon adalah aktivitas pemungutan hasil hutan kayu dari izin usaha hasil hutan kayu dari hutan alam (IUPHHK-HA) dan izin usaha hasil hutan kayu dari hutan tanaman (IUPHHK-HT), serta hasil hutan kayu dari kawasan di luar kawasan hutan negara seperti hutan rakyat dan hutan hak lainnya.
Tentang formulasi pajak karbon di sektor kehutanan, serahkan saja kepada tim teknis yang meliputi para pakar, birokrat, serta akademisi yang berkompeten untuk menghitung dan merumuskan.
Namun, dalam menerapkan pajak karbon di sektor kehutanan, jangan sampai terjadi duplikasi pungutan antara pajak karbon barang yang mengandung karbon (pulp, kertas) dengan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon (penebangan dan pemungutan kayu) serta pungutan PNBP kehutanan sehingga tidak menimbulkan kerugian kepada subyek yang dipungut.
Perdagangan emisi atau offset karbon didorong agar kegiatan penurunan emisi dilakukan secara sinergi antarsektor.
Pajak karbon untuk perdagangan karbon
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), melalui ketua umumnya, Indroyono Soesilo, mengusulkan sebaiknya pajak karbon dipungut atas transaksi dari perdagangan karbon karena baik penjual maupun pembeli dalam perdagangan karbon memperoleh manfaat dari transaksi ini. Perdagangan emisi atau offset karbon didorong agar kegiatan penurunan emisi dilakukan secara sinergi antarsektor.
Penghasil emisi yang tidak mencapai target pengurangan emisi dapat melakukan perdagangan emisi atau offset karbon di lingkup domestik dengan sektor kehutanan yang menghasilkan kelebihan CER (certified emission reduction) antara lain melalui penurunan deforestasi dan degradasi hutan, penerapan pengelolaan hutan lestari, serta peningkatan stok karbon hutan dari kegiatan restorasi dan rehabilitasi hutan.
Masalahnya, siapa subyek yang dipungut pajak karbon dalam perdagangan karbon ini?
Perlu diketahui bahwa skema perdagangan karbon dapat dilakukan antarnegara (G to G), pemegang izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (perdagangan karbon)/IUPJL dengan perusahaan lain di luar negeri yang membutuhkan (B to B).
Pengalaman menarik diperoleh dari masyarakat yang mendiami desa-desa sekitar kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (biasa disebut sebagai Bujang Raba) seluas 5.339 hektar yang dikelola oleh warga lima desa di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi.
Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2018 mendaftarkan Bujang Raba ke dalam pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) melalui skema Plan Vivo.
Dari perhitungan KKI Warsi, pada zona lindung hutan desa yang merupakan hutan primer, penyerapan emisi atau cadangan karbon rata-ratanya sebesar 287 ton per hektar atau 1,052 ton setara CO2 per hektar.
TUI Airways hanya membeli 6.000 ton. TUI Airways adalah perusahaan penerbangan di Eropa. Perusahaan ini membayar 36.000 dollar AS (sekitar Rp 400 juta) untuk 6.000 ton cadangan karbon (carbon sink) dari kawasan hutan lindung Bujang Raba.

Didie SW
Yang jelas subyek pajak karbon untuk perdagangan karbon antarnegara tidak akan lagi dipungut pajaknya karena semua hasil penjualan karbon oleh negara secara otomatis menjadi penerimaan negara. Mungkin yang menjadi subyek pungutan perdagangan karbon adalah skema B to B atau model skema Bujang Raba.
Masalahnya adalah sebelum pajak karbon tersebut berlaku, pada perdagangan karbon model B to B telah diberlakukan pengenaan PNBP kehutanan sebesar 10 persen. Akankah PNBP perdagangan karbon sebesar 10 persen ini ditinjau kembali apabila pajak karbon akan diberlakukan?
Hindari duplikasi
Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon kian mendesak untuk segera disahkan dan diterbitkan menjadi basis aturan perdagangan karbon untuk menghindari terulangnya kembali pemutusan kerja sama perdagangan karbon oleh Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Norwergia.
Perdagangan karbon yang dirintis sejak tahun 2010 dan diharapkan berbuah dengan nilai pembayaran berbasis hasil sebesar 56 juta dollar AS atau sekitar Rp 812 miliar ini menguap dengan percuma setelah ditunggu selama 11 tahun.
Yang harus dihindari adalah jangan sampai terjadi duplikasi pungutan sehingga dapat merugikan subyek pajak yang dipungut. Kita tunggu saja tahun depan.
Pramono Dwi Susetyo, Pensiunan Pegawai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Pramono Dwi Susetyo