Polisi ”Mbudaya”
Institusi Kepolisian RI dalam pola gerak aktivitasnya wajib mengedepankan segala sesuatu yang bersifat budaya. Dan polisi yang berbudaya harus mengedepankan sikap menjadi pelayan masyarakat.
”Apakah ada hal-hal yang bisa disampaikan sebagai masukan kepada kami agar dapat diperbaiki pada masa mendatang?” tanya Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo.
Pertanyaan Jenderal Listyo Sigit Prabowo disampaikan kepada penulis dalam acara dialog Bhayangkara Mural Festival Piala Kapolri 2021. Dialog terbuka secara daring itu diselenggarakan di Mabes Polri, Jakarta, pada 30 Oktober lalu.
Untuk menjawab pertanyaan Kapolri, penulis sampaikan usulan dan pemikiran kritis agar polisi Indonesia di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjadi polisi yang mbudaya (polisi yang berbudaya).
Artinya, institusi Kepolisian RI dalam pola gerak aktivitasnya wajib mengedepankan segala sesuatu yang bersifat budaya. Hal itu selaras dengan catatan cerdas KBBI. Diksi berbudaya direkatkan tafsir: institusi Polri harus mempunyai budaya. Selain itu, institusi Polri wajib mempunyai pikiran dan akal yang sudah maju selaras dengan perkembangan zamannya.
Baca juga : Arsip Opini Satjipto Rahardjo, ”Polisi Masa Mendatang”
Sebagai polisi yang mbudaya, institusi Polri perlu belajar lebih dalam perihal budaya visual, semiotika, dan komunikasi publik. Mengapa demikian? Karena pada era budaya layar yang berkembang sekarang ini, rakyat Indonesia hidup di dalam dua jagat sekaligus. Mereka hidup di jagat raya, sekaligus jagat maya. Celakanya, sebagian besar rakyat Indonesia menjalankan kehidupannya sekaligus di dalam dua jagat ini. Yang lebih mengerikan, mereka menyamakan realitas semu di jagat maya dengan realitas sosial di jagat raya.
Atas dasar karakter baru rakyat Indonesia yang hidup di dua jagat sekaligus, institusi Polri wajib memiliki sekaligus menguasai teori budaya visual, semiotika, dan komunikasi publik. Pemahaman referensi tersebut ujungnya dapat dijadikan senjata baru yang harus dimiliki institusi Polri.
Ketika Polri mem-branding dirinya menjadi polisi yang mbudaya adalah manakala polisi memiliki bekal referensi budaya visual, semiotika, dan komunikasi publik yang cukup. Di titik ini, polisi yang mbudaya tidak akan pernah mati gaya saat menjalankan proses komunikasi publik di ruang publik nyata ataupun di ruang publik virtual.
Polisi berbudaya
Bagaimana mewujudkan jati diri polisi berbudaya? Mari kita tengok sabda Sultan HB X. Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini dalam sambutannya saat Tingalan Dalem Jumenengan Kaping 27, seperti dikutip tribunjogja.com (19/5/2015), mengatakan, kebudayaan memiliki peranan penting dalam hidup dan kehidupan sehari-hari bagi warga masyarakat.
Orang nomor satu di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini kemudian menguraikannya dalam tiga jabaran besar. Pertama, kebudayaan sebagai kekuatan yang mengikat cita-cita dan rasa kebersamaan antarbangsa, antarkomunitas, dan antarkeluarga. Kedua, kebudayaan sebagai lahan pendidikan teologi. Ketiga, kebudayaan sebagai media akulturasi dan rekonsiliasi guna meningkatkan derajat hidup warga masyarakat.
Tiga pilar kebudayaan dalam perspektif komunikasi publik seperti diuraikan Sultan HB X tersebut bagi warga masyarakat bukanlah sesuatu yang baru. Hal itu secara genetika sudah tumuwus (tumbuh) dalam jiwa raga warga masyarakat. Apalagi ketika keberadaan kebudayaan disepakati sebagai modal sosial.
Baca juga : Dibutuhkan Polisi yang Tegas, Beretika, dan Humanis
Dalam konteks komunikasi publik, keberadaan kebudayaan memiliki peran penting guna mengikat hati nurani warga masyarakat. Tujuannya untuk membangun kesepahaman diri saat menjalankan proses komunikasi publik di jagat patembayatan sosial. Warga masyarakat juga sangat paham manakala kebudayaan diposisikan sebagai media rekonsiliasi dan akulturasi antarbudaya yang ada di Indonesia.
Di titik ini terbitlah tantangan zaman bagi polisi berbudaya. Mengapa hal itu dikonstruksikan menjadi sebuah tantangan yang harus dijawab secara berbudaya? Karena keberadaan tiga pilar kebudayaan dalam konteks habitus kebudayaan harus disepakati sebagai hasil kerja bersama yang saling membahagiakan.
Jawaban atas tantangan di atas diharapkan menjadi salah satu solusi yang solutif, yakni menghadirkan sebuah kerja kolaborasi antarmanusia (polisi dan warga masyarakat) plus kebudayaan sebagai subyek serta obyek yang disetarakan secara utuh.
Penekanan diksi kebudayaan dapat dikonotasikan sebagai upaya mendudukkan rasa kemanusiaan yang berkeadilan. Keberadaannya diharapkan mampu mempersiapkan sebuah peradaban baru yang diisi oleh manusia terdidik, berbudaya, bermartabat, dan berkeadilan.
Ketika polisi yang mbudaya berikut institusi Polri di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjalankan proses komunikasi dialogis kepada publik, mereka harus bersedia mengadopsi konsep yang berasal dari teori budaya visual, semiotika, dan komunikasi publik secara berbudaya.
Sebagai polisi berbudaya, mereka wajib menerapkan konsep kebudayaan berwujud konsep asah (mempertajam keterampilan berpikir dan bertindak), ditambah dengan konsep asih (rasa kasih sayang), dan asuh (membimbing). Kemudian, dilengkapi dengan konsep ngayomi (melindungi) dan ngayemi (membuat tenang dan nyaman).
Tantangan lainnya, mereka seyogianya juga menerapkan ideologi seorang pemimpin sejati. Ideologi itu menuntun polisi yang mbudaya untuk senantiasa turun tangan. Mereka wajib turun tangan dalam mengelola harkat, martabat, dan kesejahteraan warga masyarakat yang dipimpin dan diayominya. Untuk itu, mereka dilarang sekadar urun (bermodalkan) tangan.
Sebagai pemimpin sejati, polisi yang mbudaya harus rela mengedepankan sikap menjadi pelayan masyarakat.
Mengapa demikian? Sebab, seorang pemimpin sejati harus sudah selesai dengan dirinya. Sebagai pemimpin sejati, polisi yang mbudaya harus rela mengedepankan sikap menjadi pelayan masyarakat. Mereka harus senantiasa menjadi penggali sekaligus penebar energi kebaikan. Sebuah energi positif yang yang harus dibagikan oleh polisi yang mbudaya. Hal itu harus dilakukan di mana pun dan kapan pun mereka bertugas.
Semangat menebarkan energi positif itu harus menjadi ideologi dan gaya hidup baru polisi yang mbudaya. Ikhtiar seperti itu dengan mudah dapat dijalankan Kapolri bersama jajaran kepolisian Indonesia. Caranya? Mengolah referensi budaya visual, semiotika, dan komunikasi publik. Hasil olahannya diparafrasekan menjadi jembatan penyeimbang antara nalar perasaan dan akal pikiran.
Kemudian, hasilnya dikomunikasikan secara terus-menerus kepada publik dengan satu tujuan sosial, yakni untuk melayani serta menyejahterakan warga masyarakat yang bermukim di jagat raya maupun jagat maya secara bermartabat dan berkeadilan sosial.
Polisi cerdas
Ketika kebudayaan disepakati sebagai penjuru peradaban, di dalamnya, seperti dipaparkan Sultan HB X, berisi kekuatan yang senantiasa mengikat cita-cita dan rasa kebersamaan antarbangsa, antarkomunitas, dan antarkeluarga. Kebudayaan juga dipahami sebagai lahan pendidikan teologi.
Terpenting, kebudayaan sebagai media akulturasi dan rekonsiliasi guna meningkatkan derajat hidup warga masyarakat. Maka, di titik ini, makna kebudayaan seyogianya dipandang sebagai sikap praktik kecerdasan intelektual.
Cara pandang semacam itu sudah saatnya dikumandangkan Kapolri bersama jajaran Polri. Artinya, polisi dan warga masyarakat senantiasa menjalankan kerja kolaborasi yang konkret antarpara pihak di wilayah yang diayominya.
Baca juga : Gebrakan Reformasi Kultural Kapolri
Untuk itu, guna mewujudkan eksistensi polisi cerdas, mereka harus meleburkan diri secara total di tengah arus kehidupan era budaya layar dan budaya digital yang bergerak cepat. Polisi cerdas wajib mengembangkan kebudayaan dalam konteks mengelola sekaligus mengembangkan warisan nenek moyang selaras dengan peruntukan zaman. Prinsip seperti ini harus dipegang teguh polisi cerdas.
Mengapa hal itu menjadi sebuah kewajiban bagi polisi cerdas? Sebab, kearifan lokal warisan leluhur dalam perspektif kebudayaan harus menjadi jangkar sekaligus inspirasi bagi polisi cerdas. Semua itu, dengan kesadaran tinggi, wajib dijalankan oleh polisi yang mbudaya sekaligus polisi cerdas.
Selamat berkarya nyata polisi dan polwan Indonesia. Warga masyarakat senantiasa mendukung kerja polisi yang mbudaya sekaligus polisi cerdas.
Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual, Komunikasi Publik dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta
Instagram/Facebook/Twitter/Youtube/Linkedin: @sumbotinarbuko