Arsip Opini Satjipto Rahardjo, ”Polisi Masa Mendatang”
Benarlah jika dikatakan bahwa dalam menghadapi perubahan sosial yang besar seperti sekarang, seyogianya polisi berada selangkah di depan rakyat yang dilayaninya. Menjadi pemimpin perjalanan kehidupan bangsanya.
*Artikel berikut ditulis oleh almarhum Prof Dr Satjipto Rahardjo (1930-2010), Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, di rubrik Opini Kompas, 1 Juli 1991, dalam rangka HUT Polri. Kami unggah kembali dengan harapan dapat menjadi bahan berdialog dengan sejarah.
***
Sulit disangkal bahwa polisi menempati kedudukan yang menonjol di antara birokrasi pemerintahan yang lain. Untuk meyakinkan hal itu, cukup bagi kita membuka halaman-halaman surat kabar dan menyaksikan, bagaimana acap kali masyarakat ”memanggil” polisinya dengan berbagai cara, seperti memuji, mengumpat, dan mengasihani. Segera ingin diberi catatan di sini bahwa dalam sekalian ”kesibukan polisi” tersebut, pada hemat saya, sang polisi masih dilihat dalam kualitasnya sebagai birokrasi pinggiran.
Konstatasi tersebut dipakai untuk menggambarkan tempat dan penerimaan masyarakat terhadap polisinya, yang belum melihat, betapa sentral peranan yang bisa dimainkan oleh polisi dalam kehidupan negara dan masyarakat, khususnya untuk waktu-waktu mendatang. Ingin dikatakan, betapa polisi masih lebih sering dianggap sebagai semacam ”embel-embel” saja, untuk membereskan hal-hal yang kotor dalam masyarakat (lihat, misalnya, ”Polisi, Dietje dan Masyarakat”, Kompas, 26 Januari 1987).
Kesan bahwa polisi itu masih berstatus pinggiran tersebut barangkali ada kaitannya dengan kedudukan dan peranannya sebagai bagian dari birokrasi, dengan tugas menjalankan atau menegakkan hukum.
Penjaga ”status quo”
Kesan bahwa polisi itu masih berstatus pinggiran tersebut barangkali ada kaitannya dengan kedudukan dan peranannya sebagai bagian dari birokrasi, dengan tugas menjalankan atau menegakkan hukum. Dalam keadaan demikian itu, memang sulit untuk melihat polisi itu lebih daripada sekadar penjaga suatu status quo belaka. Masih jauh kedengarannya gaung yang mengatakan bahwa polisi abad XXI adalah pemimpin bangsanya, dan yang dengan demikian seyogianya berada selangkah di depan bangsanya (lihat ”Polisi, Pelaku dan Pemikir”, Kompas, 5 November 1990).
Polisi yang dianggap sekadar menjadi penjaga status quo itu ingin disebut sebagai ”polisi hukum”, atau dalam bahasa Indonesia yang barangkali kurang baik, tetapi lebih tepat, sebagai ”polisinya hukum”. Kehadiran polisi dalam kerangka anggapan ini dianggap penting karena peraturan hukum harus dijalankan.
Memang, hukum tanpa campur tangan polisi akan banyak menjadi tulisan yang mati belaka. Tetapi, tampaknya orang belum bisa memberikan penghargaan kepada polisinya lebih daripada melakukan ”campur tangan yang disebabkan oleh adanya hukum” itu saja.
Inilah yang akan memberikan kesan bahwa polisi itu hanya ”embel-embel” saja, sekalipun ”embel-embel yang penting”, karena diperlukan untuk membereskan kekotoran-kekotoran yang disebabkan oleh adanya larangan hukum yang dilanggar.
Dalam kerangka tulisan ini, polisi hukum yang menjalankan pekerjaan pemolisian secara tradisional, yaitu menjaga status quo itu, merupakan model polisi masa lalu. Hanya perlu ditegaskan bahwa sebutan tersebut tidak sekaligus mengandung penilaian bahwa polisi yang menjalankan penegakan hukum itu lalu bermakna kuno dan tidak diperlukan lagi.
Tugas penegakan hukum tetap merupakan unsur penting dalam struktur pekerjaan kepolisian. Hanya untuk menghadapi masa mendatang, ingin dimintakan perhatian terhadap munculnya beberapa tuntutan yang relatif baru terhadap tugas dan pekerjaan kepolisian.
Polisi rakyat
Suatu model polisi yang ingin ditampilkan di sini adalah ”polisi rakyat”. Model yang diajukan ini tidak sama sekali baru, karena ia juga sudah tersimpan dalam Tri Brata, yang merupakan moto perjuangan Polri itu.
Pada hemat saya, menjalankan peranan polisi rakyat ini lebih rumit daripada polisi hukum kendatipun, seperti dikatakan di atas, kita tak dapat mengecilkan pekerjaan polisi hukum itu, mengingat besarnya jumlah mereka yang meninggal dalam tugas penegakan hukum itu.
Kerumitan yang dimaksud di sini berhubungan dengan tugas yang lebih didasarkan pada kreativitas dan empati, yaitu empati kepada rakyat yang dilayaninya. Oleh karena itu, berbeda dengan tugas dan pekerjaan polisi hukum, pedoman untuk polisi rakyat ini lebih sulit diberikan.
Dalam struktur pekerjaan kepolisian sekarang, tugas polisi rakyat ini barangkali termasuk ke dalam ”pembinaan masyarakat” atau binmas. Contoh polisi rakyat yang mutakhir barangkali kita temukan dalam proyek ”Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Desa” (Babinkamtibdes).
Karena sifat pekerjaannya yang betul-betul ”berada di tengah-tengah” dan ”bersama-sama rakyat” itu, Babinkamtibdes benar-benar bisa disebut sebagai model untuk polisi rakyat. Dimulai dari pakaian seragamnya yang tidak seragam lagi, artinya memakai baju orang biasa, sampai kepada jenis dan jumlah pekerjaannya yang tak dapat dihitung lagi itu, sungguh menjadikan polisi sebagai teman rakyat dalam arti sebenarnya. Di situ polisi ada untuk membantu dan melayani masyarakat, berdasarkan kebutuhan masyarakat sendiri dan bukan kebutuhan masyarakat sebagaimana dilihat dan ditafsirkan oleh pemerintah.
Dalam ”Seminar Polri 1991” yang lalu telah saya mintakan perhatian terhadap prospek yang mungkin akan dihadapi oleh polisi kita di masa mendatang seiring dengan meningkatnya usaha pembangunan nasional. Diketahui bahwa sekalipun pembangunan bermaksud untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, tak urung ia juga minta korban di pihak rakyat, seperti mereka yang tergusur dan mengalami kemerosotan dalam kehidupannya (deprived).
Pertanyaannya sekarang, lalu di mana polisi berdiri? Doktrin polisi sebagai penegak hukum mengatakan bahwa ia harus ”netral” dan sekadar menjalankan perintah hukum. Tetapi, sebagai polisi rakyat tentu ia akan dihadapkan kepada persoalan yang tidak sesederhana itu.
Di sinilah pilihan untuk menjadi tokoh yang ”bersama rakyat” (protagonis) atau yang ”berhadapan dengan rakyat” (antagonis) mungkin akan menjadi sangat menonjol. Dalam suasana perubahan sosial yang besar seperti sekarang ini, yang disertai risiko pengorbanan di pihak rakyat sebagaimana disebutkan di atas, maka menjalankan penegakan hukum membuat polisi cenderung berada di posisi ”berhadapan dengan rakyat”. Sementara kita mengetahui bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi polisi yang baik adalah jika bisa berada bersama rakyatnya. Itulah sebabnya dikatakan bahwa pilihan di antara keduanya menjadi relevan sekaligus menyulitkan (crucial).
Polisi bagi kualitas kehidupan
Suatu tantangan lain yang diperkirakan akan dihadapi oleh Polri adalah yang berkaitan dengan menjadi semakin rumitnya kehidupan masyarakat dan manusia yang harus dilayaninya. Salah satu aspek yang menonjol dalam kerumitan tersebut adalah menjadi rentannya kehidupan manusia.
Masalah lingkungan hidup merupakan faktor pemicu yang penting, yang menyebabkan kerentanan tersebut. Suasana kehidupan yang tidak kita hadapi pada seratus-dua-ratus tahun lalu itu menyebabkan umat manusia perlu mengubah sikap hidupnya agar mereka bisa bertahan dan melanjutkan kehidupannya di planet bumi ini.
Dalam hubungan ini, barangkali suatu disiplin hidup yang baru menjadi sangat dibutuhkan. Apabila memang sudah demikian keadaan dan perkembangannya, niscaya polisi akan mengambil peranan yang amat penting dalam mendorong dan mempertahankan disiplin tersebut. Bagaimana pertukaran manusia dengan udara, air, tumbuh-tumbuhan, dan tentu saja juga hubungan di antara sesama anggota masyarakat satu sama lain membutuhkan penataan dan disiplin baru.
Benarlah jika dikatakan bahwa dalam menghadapi perubahan sosial yang besar seperti sekarang ini, seyogianya polisi berada selangkah di depan rakyat yang dilayaninya. Dengan demikian, ia bisa menjadi salah satu unsur yang memimpin perjalanan kehidupan bangsanya agar dapat dilalui dengan selamat.
Dikaitkan dengan masalah yang barusan dibicarakan, polisi perlu memahirkan diri dalam dan memahami betul masalah manusia dan lingkungan hidupnya, yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga sosial.
Inilah yang menjadi alasan untuk berpendapat bahwa salah satu tugas penting di waktu mendatang bagi Polri adalah ”menjadi polisi bagi kualitas kehidupan bangsanya”.
Dirgahayu Polisi Republik Indonesia!
Satjipto Rahardjo, Guru Besar Fakultas Hukum Undip, Semarang