Gebrakan Reformasi Kultural Kapolri
Tindakan sigap dan tegas Kapolri patut diapresiasi. Namun, kesigapan dan ketegasan seperti ini tak boleh hangat-hangat tahi ayam.
Sudah 22 tahun reformasi Kepolisian RI berjalan. Namun, masih ada satu ganjalan, yaitu belum optimalnya reformasi kultural. Gebrakan Kapolri dalam menindak polisi-polisi bermasalah akan jadi momentum penting dalam mewujudkan reformasi kultural.
Reformasi Polri dimulai sejak disapihnya organisasi kepolisian dari lingkungan militer berdasarkan TAP MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Polri dari TNI dan TAP MPR No VII/2000 tentang Peran Polri dan TNI sampai terbentuknya UU terkait, yakni UU No 2/2002 tentang Polri.
Dalam Buku Biru tentang Reformasi Polri, reformasi Polri dirumuskan dalam tiga aspek: struktural, instrumental, dan kultural. Aspek struktural meliputi perubahan posisi kepolisian dalam ketatanegaraan, bentuk organisasi, susunan, dan kedudukan.
Aspek instrumental meliputi perubahan filosofi, doktrin, fungsi, kewenangan, dan kompetensi. Aspek kultural meliputi perubahan sistem perekrutan, pendidikan, anggaran, kepegawaian, manajemen, dan operasional kepolisian.
Reformasi Polri sudah berjalan baik untuk struktural dan instrumental, tetapi reformasi kultural belum berjalan sesuai harapan.
Reformasi Polri sudah berjalan baik untuk struktural dan instrumental, tetapi reformasi kultural belum berjalan sesuai harapan. Hal ini diakui sendiri oleh Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo saat masih menjalani uji kelayakan dan kepatutan sebagai Kapolri di Komisi III DPR, 20 Januari 2021.
Reformasi kultural
Sembilan bulan menjadi Kapolri, sudah banyak yang dilakukan Listyo dalam memimpin reformasi Polri. Namun, aspek kultural tetap jadi ganjalan terbesar Polri. Akibatnya, tingkat kepercayaan Polri di masyarakat pun masih rendah.
Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting, 31 Juli-2 Agustus 2021, Polri dianggap sebagai lembaga penegak hukum dengan tingkat kepercayaan terendah di mata publik, 58 persen. Angka ini lebih kecil ketimbang lembaga-lembaga lain.
Baca juga: Keteladanan Pemimpin
Hasil survei Indikator Politik Indonesia, September 2021, menunjukkan ada kenaikan tingkat kepercayaan, yaitu di angka 71 persen. Sebanyak 24 persen responden mengaku sedikit percaya, 1 persen tak percaya, 3 persen tak menjawab. Tingkat kepercayaan terhadap Polri ini di bawah Presiden dan TNI, tetapi di atas KPK.
Namun, persoalan demi persoalan terus menggerogoti Polri sehingga belakangan ini menguat desakan ke Polri untuk menuntaskan reformasinya. Aparat kepolisian jadi sorotan beberapa waktu terakhir, sebagai buntut kasus kekerasan, dugaan tak profesional dalam penanganan kasus, hingga keterlibatan dalam tindak kriminal.
Kasus-kasus itu, antara lain, dugaan pencabulan anak tersangka oleh Kapolsek Parigi Matuong, Sulawesi Tengah; mandeknya penanganan kasus pencabulan anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan; aksi smackdown aparat terhadap peserta demo di depan kantor Bupati Tangerang, Banten; hingga keterlibatan dalam perampokan mobil di Lampung.
Kemudian ada kasus Kapolres Nunukan AKBP Saiful Anwar yang main tangan terhadap anak buahnya. Di Sumatera Utara ada kasus Polsek Percut Sei Puan di Medan yang diduga tak profesional dalam menangani kasus penganiayaan pada pedagang. Lalu, kasus pencabulan istri tahanan di Polsek Kutalimbaru, Deli Serdang.
Kontroversi pemberhentian penyelidikan dugaan pemerkosaan tiga anak perempuan di Luwu Timur itu bahkan sampai memunculkan tagar #PercumaLaporPolisi yang trending di medsos. Ini merupakan ekspresi ketidakpercayaan masyarakat yang akut kepada Polri.
Listyo Sigit telah memerintahkan ke semua kapolda untuk membina anggotanya agar tidak bersikap arogan dan melakukan kekerasan kepada masyarakat saat bertugas. Instruksi itu tertuang di surat telegram No ST/2162/X/HUK.2.8/2021 tertanggal 18 Oktober 2021.
Sikap tegas Kapolri
Kapolri memerintahkan jajarannya memastikan penanganan kasus kekerasan terhadap masyarakat dilaksanakan secara prosedural, transparan, dan berkeadilan; serta menegakkan hukum secara tegas dan keras terhadap anggota Polri yang melakukan pelanggaran dalam kasus kekerasan berlebihan kepada masyarakat.
Ia juga menegaskan komitmen ’potong kepala’. Ini merujuk pepatah, ikan busuk mulai dari kepala, kalau pimpinannya bermasalah, bawahannya akan bermasalah juga. Pimpinan harus jadi teladan sehingga bawahannya akan meneladan. Pimpinan Polri yang tak mampu mengelola dengan baik anak buahnya akan ditindak tegas. ”Kalau tak mampu membersihkan ekor, kepalanya akan saya potong,” katanya.
Pimpinan harus jadi teladan sehingga bawahannya akan meneladan.
Komitmen ini ditunjukkan dengan mencopot sembilan perwira dalam rangka evaluasi jabatan, yakni Dirpolairud Polda Sulbar Kombes Franciscus X Tarigan, Pamen Polda Kaltara Kombes Budi Suherman, Pamen Polda Sulbar Kombes Edy Daryono, Kapolres Labuhan Batu Polda Sumut AKBP Deni Kurniawan, Kapolres Pasaman Polda Sumbar AKBP Dedi Nur Andriansyah, dan Kapolres Tebing Tinggi Polda Sumut AKBP Agus Sugiyarso.
Selanjutnya, Kapolres Nganjuk Polda Jatim AKBP Jimmy Tana, Kapolres Nunukan Polda Kaltara AKBP Saiful Anwar, dan Kapolres Luwu Utara Polda Sulsel AKBP Irwan Sunuddin. Kesembilan perwira ini dimutasikan sebagai perwira menengah Pelayanan Markas Polri.
Kapolri menegaskan adanya reward and punishment dalam pembinaan jajaran Polri. Reward diberikan bagi personel yang menjalankan tugas dengan baik dan bekerja keras melayani serta mengayomi masyarakat. Sebaliknya, sanksi tegas diberikan pada semua personel yang tak menjalankan tugas dengan baik atau melanggar aturan.
Konsistensi
Tindakan sigap dan tegas Kapolri patut diapresiasi. Namun, kesigapan dan ketegasan seperti ini tak boleh hangat-hangat tahi ayam. Kalau kasusnya viral dan jadi perhatian masyarakat, baru diambil tindakan. Reward and punisment ini harus jadi bagian dari sistem pembinaan di Polri, diimplementasikan secara konsisten dan transparan.
Kapolri juga diharapkan terus membenahi proses promosi, demosi, dan mutasi di Polri sehingga proses kenaikan jabatan (promosi), penurunan jabatan (demosi), dan perpindahan jabatan/pekerjaan (mutasi) benar-benar dilakukan obyektif dan berlandaskan pada sistem merit untuk mewujudkan sistem pembinaan karier anggota kepolisian yang baik.
Dengan masa jabatannya yang masih panjang, dan baru akan pensiun pada Mei 2027, Listyo akan memiliki kesempatan yang cukup untuk melaksanakan program-programnya guna menuntaskan reformasi Polri. Jika konsisten dengan gebrakannya, ia memiliki kesempatan untuk menorehkan tinta emas di Polri, seperti pernah dilakukan Hoegeng, sosok acuan kepemimpinan Polri.
Trimedya Panjaitan, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Wakil Ketua MKD DPR RI