Peraturan dengan Rasa Kolonial dan Pelanggaran HAM
Dalam penetapan suatu hutan adat, pemerintah masih berpedoman pada pendekatan ekonomi atau kemampuan pengolahan lahan ketimbang sebagai tindakan untuk menghormati nilai-nilai kultural yang melekat pada hutan adat.
Oleh
R YANDO ZAKARIA
·5 menit baca
Dalam sebuah tulisan memperingati 20 tahun pemberlakuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU No 41/1999) dua tahun lalu, saya menyatakan bahwa logika hukum yang menghasilkan Pasal 67 Ayat 2 adalah penyelundupan kerangka pikir rezim Orde Baru. Dengan pengaturan yang demikian itu, negara tetap dapat menguasai sumber daya hutan sedemikian rupa. Termasuk, menguasai tanah adat yang secara sepihak ditetapkan sebagai kawasan hutan.
Ternyata kesimpulan saya itu keliru! Nyatanya logika hukum itu sudah ada sejak masa kolonial dulu. Awalnya hanya berlaku bagi Orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen), tetapi belakangan juga berlaku warga dari kalangan Bumiputra.
Kebijakan dimaksud mengatur agar hak keperdataan dua golongan tersebut atas tanah diakui (acte van eigendom), subyek hukumnya terlebih dulu harus mendapatkan keputusan (besluit) dari pemerintah. Dengan keputusan itu, kedudukan sosial kedua golongan penduduk Hindia Belanda itu telah dipersamakan dengan orang Eropa.
Logika hukum itu mirip dengan logika hukum pengakuan negara atas hak masyarakat adat atas tanah adat dan hutan adat yang ada saat ini. Pasal 67 Ayat 1 UU No 41/1999 menyatakan bahwa ”Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak” jika (1) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; (2) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan (3) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Selanjutnya, pada Ayat (2) dinyatakan pula bahwa ”Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah”.
Merugikan masyarakat adat
Pengaturan yang demikian itu telah merugikan masyarakat adat. Pasal yang menyengsarakan itu pun kemudian di-judicial review. Apa lacur. Permohonan itu ditolak Mahkamah Konstitusi. Malah, pasca-Putusan MK No 35/2012 itu, logika hukum yang sama tidak saja berlaku dalam peraturan perundang-undangan di sektor kehutanan saja.
Berbeda dengan beleid sektor agraria sebelumnya, logika ini juga berlaku dalam peraturan perundang-undangan turunan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Misalnya, sebagaimana yang dianut oleh Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Juga dalam berbagai peraturan perundang-undangan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang baru saja diberlakukan pemerintah.
Hak masyarakat adat atas tanah dan hutan baru akan diakui jika keberadaan masyarakat adatnya sebagai subyek hak telah diakui terlebih dulu melalui sebuah peraturan daerah.
Artinya, hak masyarakat adat atas tanah dan hutan (obyek hak) baru akan diakui jika keberadaan masyarakat adatnya sebagai subyek hak telah diakui (baca; ditetapkan) terlebih dulu melalui sebuah peraturan daerah. Penetapan keberadaan suatu masyarakat adat itu tentu saja setelah masyarakat adat dimaksud memenuhi sejumlah syarat yang ditentukan negara berdasarkan keadaan pada masa lampaunya. Serangkai syarat yang antiperubahan, sementara negara sendiri, baik kolonial apalagi nasional, gencar mempromosikan agenda-agenda kemajuan/pembaruan.
Akibatnya, selama 75 tahun Indonesia merdeka, hanya ada 75 hutan adat untuk 75 komunitas adat dengan total seluas 56.900 hektar. Jika dibandingkan dengan jumlah keluarga yang akan mengelola hutan adat tersebut, diperkirakan rata-rata ”redistribusi aset” kepada masyarakat adat melalui mekanisme pengakuan human adat hanya sekitar 2 hektar per keluarga.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa dalam penetapan suatu hutan adat, petugas kebijakan masih berpedoman pada pendekatan ekonomi (kemampuan pengolahan lahan) ketimbang sebagai tindakan untuk menghormati nilai-nilai kultural yang sejatinya melekat pada hutan adat itu.
Cerita tentang tanah adat tidak kalah mirisnya. Hingga kini tanah adat yang sudah ditetapkan sebagai hak komunal hanya sekitar 20.000 hektar (Zakaria, et,al, 2020). Bagaimana dengan pendekatan pengakuan Wilayah Kearifan Tradisional; Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat Pesisi dan Pulau-pulau Kecil; dan juga Desa Adat versi UU Desa 6/2014? Nihil!
Melanggar HAM?
Pada masa kolonial, surat keputusan penyamaan kedudukan hukum kepada orang Bumiputra ataupun Timur Asing itu dapat diberikan bilamana orang yang bersangkutan memenuhi lima syarat. Kelima syarat itu adalah (a) berhasil menunjukkan bahwa dia bisa berbahasa Belanda dengan fasih seperti halnya orang Belanda; (b) berpakaian seperti orang Belanda; (c) bergaul dalam komunitas Belanda; (d) kemungkinan memperlancar usaha perdagangan orang Belanda; dan (e) sedapat mungkin beragama sama dengan orang Belanda. Tidak perlu debat politik di parlemen daerah.
Sementara jika dibandingkan dengan syarat penetapan keberadaan suatu masyarakat adat, syarat tersebut jauh lebih prokemajuan (baca: perubahan). Sebaliknya, merujuk pada syarat-syarat yang harus dipenuhi, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 atau Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Nomor 34 Tahun 2017 cq Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kelola Lingkungan Nomor 1 Tahun 2017, misalnya, suatu masyarakat adat baru bisa diakui jika masyarakat adat itu masih hidup dalam keadaan masa lampaunya.
Sejatinya masyarakat adat adalah pemilik asal semua tanah dalam wilayah NKRI.
Padahal, dengan terbentuknya NKRI, warga masyarakat yang ada di wilayah bekas jajahan Hindia Belanda itu otomatis menjadi WNI sebagaimana diatur dalam Pasal 26 dan 27 UUD 1945. Merujuk pada teori beschikkingsrecht yang dikembangkan Van Vollenhoven, Bapak Ilmu Hukum Adat, sejatinya masyarakat adat adalah pemilik asal semua tanah dalam wilayah NKRI (Inlandsch bezitstrecht) walau mazhab Utrech menganggap hak ulayat itu tetap ada batasnya.
Dengan kata lain, sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Herman Soesangobeng (2012: 210 - 212), hak kepemilikan tanah adalah sama dengan Hak Asasi Warga Negara Indonesia. Masalahnya, lanjut Soesangobeng (2012: 330), karena hakikat makna filosofi, asas, ajaran, dan teori Hukum Pertanahan Adat Indonesia (beschikkingsrecht) yang tidak dipahami dengan baik dan benar oleh para pejabat negara RI, yang terjadi adalah kerancuan tafsir dan kekacauan tindakan penegakan Hukum Agraria Nasional Indonesia. Muaranya adalah terjadi pelanggaran hak asasi WNI atas tanah.
Menurut doktrin HAM ataupun menurut teori hukum alam, hak itu adalah ”alamiah” karena ada atau tidak hak itu ditentukan oleh relasi antarmanusia, bukan keputusan hukum negara. Apalagi hanya ditentukan oleh otoritas yang berkuasa per lima tahun sebelum diganti oleh otoritas baru yang lain.
Jika demikian logika yang sebenarnya, kok sekarang pengakuan hak masyarakat adat atas tanah adat dan hutan adat harus didahului dengan proses penetetapan subyek melalui peraturan daerah yang tidak mudah dan tidak murah itu?