Produk Hukum Belum Berpihak kepada Masyarakat Adat
Produk hukum yang memberikan perlindungan dan pemenuhan secara utuh pada hak masyarakat adat belum tersedia. Rancangan UU Masyarakat Hukum Adat yang kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional agar dikawal.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem legislasi di Indonesia dinilai tidak berpihak kepada masyarakat adat. Produk hukum yang memberikan perlindungan dan pemenuhan secara utuh pada hak-hak masyarakat adat belum tersedia sampai saat ini. Sekalipun Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional 2021, substansi yang diusulkan harus terus dikawal.
Koordinator Eksekutif Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma) Indonesia, Agung Wibowo, menyampaikan, ketidakberpihakan pemerintah dan DPR dalam legislasi nasional setidaknya terlihat dari empat kebijakan yang berkaitan dengan masyarakat adat. Kebijakan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK), UU No 3/2020 tentang Perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, dan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Menurut dia, terdapat inkonsistensi dalil untuk menentukan prioritas pada produk legislasi yang dihasilkan. Dalam pernyataan publik yang dikumpulkan Huma, alasan DPR menghapus RUU PKS dari Prolegnas 2020 adalah karena pembahasannya sulit dan ada fraksi yang menolak.
”Padahal, pada rapat paripurna UU CK juga ditolak oleh dua fraksi,” tuturnya dalam acara peluncuran virtual ”Outlook Huma: Sikap Pemerintah dan DPR dalam Legislasi Nasional terkait Hak Masyarakat Adat di Tahun 2020” yang diikuti dari Jakarta, Selasa (19/1/2021).
UU Cipta Kerja dan revisi UU Minerba justu dinilai berdampak buruk bagi masyarakat adat. Dua kebijakan tersebut dapat memperlebar ketimpangan penguasaan sumber daya alam (SDA) antara industri dan masyarakat adat. Tidak hanya itu, perampasan wilayah adat dan kerusakan lingkungan semakin dimudahkan serta berpotensi mengkriminalisasikan masyarakat adat yang terlibat dalam konflik SDA.
Agung menyatakan, RUU Masyarakat Adat dan RUU PKS yang sangat dibutuhkan masyarakat adat justru tidak kunjung dimajukan ke pembahasan tingkat pertama. Pembahasan UU CK dan UU Minerba terlihat terburu-buru dan mengandung banyak indikasi pelanggaran formal.
Pembahasan UU CK bahkan tetap dilakukan saat reses. Anggota DPR juga tidak memegang draf saat paripurna. Sampai setelah pengesahan, draf pun masih disempurnakan.
Ketimpangan relasi kuasa dan ketidakadilan negara dalam menyelesaikan konflik sangat dirasakan oleh masyarakat adat dari kebijakan ini.
”Terjadi paradoks dalam legislasi nasional kita. Pemerintah dan DPR telah menunjukkan itikad tidak baik dalam upaya perlindungan hak masyarakat adat dengan mengesahkan UU yang bermasalah. Masuknya kembali RUU PKS dan RUU MA pada Prolegnas perlu dikawal karena pembahasannya masih sarat dengan kepentingan politik dan isu sektoralisme,” ucapnya.
Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Perempuan AMAN) Devi Anggraini mengatakan, perempuan masyarakat adat rentan mengalami kekerasan seksual. Kebijakan nasional saat ini cenderung mendiskriminalisasi perempuan masyarakat adat yang berdampak pada kehidupan mereka yang tecermin dari kehilangan hak atas tanah, hak atas pengetahuan, dan identitas politik.
”Lebih jauh lagi, sebenarnya perempuan adat itu juga kehilangan martabatnya. Penguasaan sumber daya alam dari kelompok tertentu menyebabkan perempuan adat rentan terhadap perdagangan manusia, baik untuk tenaga kerja ke luar negeri maupuan dalam negeri. Mereka juga rentan terhadap penyebaran penyakit HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi,” katanya.
Dosen dari Departemen Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) I Gusti Agung Made Wardhana menyampaikan, jika dilihat dari konteks keadilan lingkungan, UU Cipta Kerja dan UU Minerba memberikan keuntungan terbesar atau distribusi kebutuhan terbesar kepada perusahaan-perusahaan tambang dan pelaku ekonomi besar. Ketimpangan relasi juga muncul dari UU Minerba.
Dalam undang-undang tersebut menyatakan, masyarakat yang terkena dampak langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dari perusahaan atau penanggung jawab kegiatan. Itu menandakan, upaya untuk mereduksi konflik antara masyarakat dan perusahaan tambang hanya dinilai sebagai konflik keperdataan.
Wadhana menambahkan, masyarakat yang ingin mengajukan ganti rugi juga harus membuktikan bahwa ada kesalahan dari pengusaha tambang dalam kegiatan usahanya. Padahal, masyarakat adat tidak memiliki pengetahuan tentang proses bisnis pertambangan.
Masyarakat pun diarahkan melakukan negosiasi dengan perusahaan. Kenyataan di lapangan justru mustahil untuk menciptakan hasil negosiasi yang adil.
”Ketimpangan relasi kuasa dan ketidakadilan negara dalam menyelesaikan konflik sangat dirasakan oleh masyarakat adat dari kebijakan ini. Karena itu, perlu upaya yang besar untuk mendorong pengakuan perlindungan dan pemenuhan HAM melalui RUU Masyarakat Adat,” ujarnya.