14 Tahun Disahkan, Deklarasi Hak Masyarakat Adat Belum Berjalan di Indonesia
Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat atau UNDRIP sudah disahkan sejak 14 tahun lalu dan sampai saat ini instrumennya belum ada di Indonesia. Pemerintah terus ditagih untuk memenuhi hak-hak masyarakat adat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sampai saat ini Indonesia belum menghadirkan instrumen yang tertuang dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Adat atau UNDRIP meskipun deklarasi tersebut sudah ada sejak 14 tahun lalu. Aliansi masyarakat adat terus menagih janji pemerintah Indonesia yang dulu menjadi bagian dari pengambilan keputusan saat pengesahan UNDRIP untuk memenuhi hak-hak masyarakat adat.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengemukakan, UNDRIP merupakan salah satu tonggak sejarah perjuangan masyarakat adat yang panjang secara global. Deklarasi ini sangat penting di tengah minimnya instrumen hak asasi manusia (HAM) tentang masyarakat adat dari PBB dan dunia.
”UNDRIP ini mengontekstualisasikan seluruh standar dan instrumen HAM yang ada, kemudian membuatnya relevan dengan masyarakat adat. Jadi, UNDRIP ini memuat standar minimum hak masyarakat adat, yaitu menentukan nasib sendiri secara kolektif,” ujarnya dalam diskusi daring memperingati 14 tahun UNDRIP di Indonesia, Senin (13/9/2021).
Menurut Rukka, UNDRIP sudah mengatur dengan kompleks instrumen tentang masyarakat adat termasuk hak-haknya, seperti wilayah adat beserta sumber daya alamnya, pendidikan, peran perempuan, hingga kewarganegaraan. Namun, instrumen yang tertuang dalam UNDRIP tersebut sampai saat ini belum dapat dihadirkan di Indonesia.
Pemerintah Indonesia ini sedang membuat RUU Masyarakat Adat yang sebenarnya bertentangan dengan undang-undang lainnya dan juga konstitusi.
Padahal, kata Rukka, delegasi dari Pemerintah Indonesia selalu hadir saat deklarasi tersebut disusun pada 14 tahun lalu. Akan tetapi, pasifnya delegasi Indonesia saat itu membuat mereka tidak mampu menyampaikan segala pembahasan tentang masyarakat adat yang terjadi di tingkat global ke dalam negeri.
”Hal yang terjadi kemudian, yaitu munculnya pandangan umum negara masih diwarnai pandangan 60 tahun yang lalu. Artinya, memang perkembangan diskusi dari grup kerja sampai sidang umum ketika deklarasi ini disahkan telah disangkal pemerintah Indonesia padahal mereka terlibat di situ,” tuturnya.
Ia menegaskan, seluruh pihak harus menagih janji pemerintah Indonesia yang dulu menjadi bagian dari pengambilan keputusan dalam Sidang Umum PBB tentang masyarakat adat.
Apabila kesusahan menyusun regulasi untuk memberikan pengakuan kepada masyarakat adat, pemerintah dan DPR dapat mengacu semua instrumen yang telah tertuang dalam UNDRIP.
Pada kenyataannya, isi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Adat saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan dokumen awal yang dibuat pada 2012. Bahkan, perubahan RUU ini dipandang sangat jauh dari prinsip HAM dan UNDRIP.
”Pasal-pasal dalam RUU tentang evaluasi itu justru sangat bertentangan dengan prinsip HAM masyarakat adat yang sebenarnya sudah ikut diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Jadi, Pemerintah Indonesia ini sedang membuat RUU Masyarakat Adat yang sebenarnya bertentangan dengan undang-undang lainnya dan juga konstitusi,” ungkapnya.
Deputi II Sekjen AMAN Urusan Politik Erasmus Cahyadi mengatakan, RUU Masyarakat Adat mendesak untuk disahkan karena selama ini masyarakat adat menjadi kelompok yang terdiskriminasi dan dilegitimasi. Masalah lainnya, seperti kriminalisasi dan konflik tenurial wilayah, juga masih dihadapi masyarakat adat. AMAN mencatat, selama pandemi tahun 2020 terdapat 40 kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat.
Menurut Erasmus, RUU ini masih belum sempurna karena sejumlah instrumen dalam masyarakat adat yang kompleks kerap diseragamkan dengan ketentuan undang-undang lainnya. Hak-hak masyarakat adat, terutama tanah dan sumber daya alam, juga tidak diakui meskipun dalam UU Pokok Agraria telah jelas bahwa negara mengakui hak ulayat.
”Jadi, sebenarnya ada tiga syarat utama dalam konstruksi hukum kita tentang masyarakat adat, yaitu syarat politik, sosiologis, dan hukum. Ketiga syarat inilah yang diterjemahkan oleh banyak sekali peraturan sektoral. Namun, sebenarnya tidak hanya hukum yang mendiskriminasi, tetapi juga praktik keseharian masyarakat luas,” katanya.
Peran media
Pemimpin Umum Project Multatuli Evi Mariani memandang bahwa secara umum media kurang memberitakan isu tentang RUU Masyarakat Adat. Hanya terdapat beberapa media arus utama yang selalu memberitakan isu ini, sedangkan media-media lain memberitakan isu masyarakat adat saat terdapat konflik.
”Dalam menulis pemberitaan konflik, media juga sering kali tidak mendengarkan masyarakat adat, tetapi pihak pemicu konflik. Perspektif media dan wartawan terhadap masyarakat adat juga masih banyak yang harus dibenahi agar lebih adil,” katanya.
Evi mengatakan, seluruh pihak, termasuk media, harus mengambil peran agar isu masyarakat adat menarik untuk diperbincangkan. Peran media ini sangat penting sehingga ke depan semakin banyak orang yang mendukung pengesahan RUU Masyarakat dan hak-hak mereka juga akan semakin cepat terpenuhi.