Program JKN sangat diandalkan rakyat Indonesia, tetapi bila dalam proses pelaksanaannya tidak konsisten dengan UU SJSN, akan sulit tercapai cakupan kepesertaan kesehatan semesta di JKN yang ditargetkan 98 persen.
Oleh
TIMBOEL SIREGAR
·5 menit baca
Pelaksanaan jaminan sosial kesehatan yang diselenggarakan BPJS Kesehatan telah berada di tahun kedelapan. Sudah banyak masyarakat yang mengakses fasilitas kesehatan dengan penjaminan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Dengan peningkatan kepesertaan JKN sebesar 67,99 persen dari tahun 2014 hingga 2019, pemanfaatan JKN pun mengalami peningkatan signifikan. Kunjungan rawat jalan tingkat pertama (RJTP) naik 170 persen, kunjungan rawat jalan tingkat lanjut (RJTL) meningkat 297,6 persen, dan kasus rawat inap tingkat lanjut (RITL) naik 161,9 persen.
Dalam buku Statistik JKN 2015-2019 yang dirilis 18 Oktober 2021 lalu oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dinyatakan bahwa tren akses dan konsumsi pelayanan JKN meningkat dalam lima tahun pada pelayanan RJTP, RJTL, dan RITL, tetapi cenderung stabil/menurun pada rawat inap tingkat pertama (RITP).
Peningkatan efektivitas JKN juga terjadi merata pada seluruh wilayah Indonesia, dengan pertumbuhan paling tinggi di wilayah timur (untuk RJTP); dan program JKN semakin mendekat dan menjangkau seluruh penduduk Indonesia.
Dengan capaian yang baik ini, tentunya pelaksanaan program JKN harus terus ditingkatkan untuk mencapai tujuan hadirnya jaminan sosial, yaitu menurunnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi dan sosial (Atkinson, 2015). Salah satu acuan pelaksanaan JKN adalah UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN).
Selama delapan tahun ini ada beberapa pasal di UU SJSN yang masih belum dilaksanakan dan ada pasal yang cenderung diabaikan.
Pasal 24 Ayat (1) UU SJSN, yang diperkuat oleh Pasal 11 Ayat (d) UU BPJS, belum dijalankan selama ini karena besaran biaya ke fasilitas kesehatan (faskes) ditentukan oleh Menteri Kesehatan semata, tanpa didahului oleh kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi faskes. Akibatnya, sudah beberapa tahun ini besaran biaya tak naik, ada rumah sakit yang belum mau bekerja sama dan masih terjadi fraud.
Manfaat jaminan kesehatan yang diamanatkan Pasal 22 Ayat (1) UU SJSN, kecenderungannya menurun saat ini, seperti penghapusan manfaat JKN kepada korban tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban perdagangan orang dan korban terorisme di Perpres No 82 Tahun 2018, maupun dinaikkannya denda sebesar 100 persen di Perpres No 64 Tahun 2020 menyebabkan peserta JKN yang menunggak iuran semakin sulit mengakses rawat inap di rumah sakit.
Pemerintah berencana melakukan peninjauan manfaat jaminan kesehatan sesuai kebutuhan dasar kesehatan, mengacu isi Pasal 54A Perpres No 64 Tahun 2020.
Manfaat kesehatan berpotensi menurun karena kebutuhan dasar kesehatan yang akan diterapkan hanya untuk mendukung keberlangsungan pendanaan jaminan kesehatan, bukan ditujukan untuk mendukung kebutuhan kesehatan peserta JKN.
Manfaat kesehatan peserta JKN harus disesuaikan dengan kondisi keuangan JKN, dan ini yang akan berpotensi menurunkan manfaat kesehatan yang diterima peserta JKN.
Dihapuskannya beberapa obat dari formularium nasional (fornas), seperti Bevacizumab dan Cetuximab, obat kanker untuk target terapi bagi pasien kanker kolorektal stadium 4, merupakan salah satu bentuk pengingkaran amanat Pasal 22 Ayat (1) tersebut.
Daftar obat di fornas cenderung disesuaikan dengan kemampuan dana jaminan sosial kesehatan dan harga obat, bukan untuk memenuhi kebutuhan pasien JKN. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan No HK.01.07/MENKES/6485/2021 tentang Fornas tahun 2021, tidak ada satu pun obat baru (inovatif) untuk kanker paru yang disetujui masuk JKN.
Padahal, banyak penyintas kanker paru di Indonesia menantikan perlindungan dan akses ke pengobatan inovatif lewat program JKN sehingga dapat meningkatkan harapan perpanjangan hidup dan perbaikan kualitas hidup, terutama penyintas kanker paru tipe EGFR negatif yang selama ini hanya mendapatkan kemoterapi lewat program JKN.
Keputusan Menteri Sosial (Kepmensos) No 92/HUK/2021 tentang Penetapan Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Tahun 2021, yang menghapus 9 juta orang miskin sebagai peserta JKN, merupakan kebijakan yang bertentangan dengan Pasal 14 UU SJSN. Pasal 14 mengamanatkan pemerintah mendaftarkan dan membayarkan iuran masyarakat miskin ke BPJS Kesehatan.
Proses perubahan data PBI adalah hal rutin yang dilakukan Kementerian Sosial. Ketentuan perubahan data ini diatur di Peraturan Pemerintah (PP) No 76 Tahun 2015, yaitu dengan penghapusan, penggantian, atau penambahan.
Namun, sejak 1 Januari 2021 hingga terbitnya Kepmensos No 92 ini, yang dilakukan hanya penghapusan, tanpa penggantian dan penambahan, padahal di masa pandemi Covid-19 ini angka kemiskinan dan pengangguran meningkat.
Penghapusan sembilan juta orang miskin di Kepmensos No 92 tidak didasarkan pada proses pendataan yang obyektif.
Salah satu alasan penghapusan adalah peserta PBI tersebut tidak memiliki nomor induk kependudukan (NIK) sehingga 2.541.801 orang miskin yang tidak memiliki NIK harus dikeluarkan dari master file JKN.
Mengapa peserta PBI tanpa NIK harus dikeluarkan, padahal di segmen kepesertaan lainnya ada 237.020 peserta yang belum memiliki NIK dan mereka tidak dihapus dari program JKN.
Masyarakat miskin dijauhkan dari program JKN.
Penghapusan sepihak ini pun tidak disertai pemberitahuan kepada masyarakat miskin yang dikeluarkan sehingga mereka tidak tahu tentang penghapusan ini, dan mereka tidak memiliki kesempatan menolak penonaktifan ini karena kemiskinan mereka. Masyarakat miskin dijauhkan dari program JKN.
Program JKN sangat diandalkan rakyat Indonesia, tetapi bila dalam proses pelaksanaannya tidak konsisten dengan UU SJSN, akan sulit tercapai cakupan kepesertaan kesehatan semesta di JKN yang ditargetkan 98 persen dari seluruh rakyat Indonesia, kualitas pelayanan akan menurun termasuk obat yang dikeluarkan dari fornas, dan defisit berpotensi terjadi lagi.
Pembenahan pelaksanaan program JKN untuk peningkatan kualitas layanan harus terus dilakukan secara konsisten sehingga cita-cita hadirnya jaminan sosial untuk kesejahteraan rakyat benar-benar terealisasi.