Layanan kesehatan publik menjadi isu krusial di Indonesia. Perjalanan sistem Jaminan Kesehatan Nasional menunjukkan sejarah yang cukup panjang. Problem defisit keuangan menjadi tantangan dalam mengelola sistem ini.
Oleh
KENDAR UMI KULSUM
·6 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Warga mengurus kelengkapan administrasi untuk mendapatkan tanggungan biaya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di RS Siloam Semanggi, Jakarta, Senin (12/11/2018). JKN-KIS mempertemukan mereka yang membutuhkan pengobatan, tetapi kurang mampu secara ekonomi dengan mereka yang sehat tetapi memiliki kemampuan ekonomi. Subsidi silang ini menjadi semangat asuransi sosial.
Untuk mewujudkan sebuah pelayanan kesehatan yang baik dibutuhkan sebuah sistem atau perangkat jasa pelayanan kesehatan. Konsep keberlangsungan jasa pelayanan kesehatan ini sudah tentu membutuhkan dukungan personel yang besar, teknologi kesehatan yang tinggi, dan keahlian tenaga kesehatan yang memadai.
Dalam jurnal Health Financing in Indonesia (Bank Dunia, 2009) dipaparkan bahwa cikal-bakal jaminan biaya untuk kesehatan masyarakat sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Pada 1938, pegawai pemerintah dan keluarganya mendapat santunan biaya perawatan rumah sakit dari pemerintah kolonial.
Berlanjut pada masa awal Indonesia merdeka, Menteri Kesehatan Prof GA Siwabessy menyelenggarakan program asuransi kesehatan semesta atau universal health insurance seperti yang telah diterapkan di negara maju. Saat itu kepesertaannya adalah pegawai negeri sipil dan keluarganya.
Memasuki pemerintahan Presiden Soeharto, pada 1968 terbit Keputusan Presiden Nomor 230 Tahun 1968 tentang program jaminan kesehatan bagi pegawai negeri dan penerima pensiun serta ABRI, dengan membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK).
Dalam perkembangannya, pada 1984 pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah yang mengubah status BPDPK menjadi BUMN, yaitu Perum Husada Bakti (PHB) yang menjamin kesehatan bagi PNS, pensiunan PNS, veteran, perintis kemerdekaan, dan anggota keluarganya.
Kemudian, muncul Peraturan Presiden No 69/1991 menggantikan Keppres No 230/1968 yang menyatakan bahwa peserta asuransi kesehatan ada dua kategori, yaitu wajib bagi PNS dan kepesertaan sukarela untuk karyawan BUMN.
TANGKAPAN LAYAR VIDEO SEKRETARIAT PRESIDEN
Presiden Joko Widodo melantik Dewan Pengawas dan Dewan Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan periode 2021-2026 di Istana Negara, Jakarta, Senin (22/02/2021)
Asuransi kesehatan
Pada 1992 terbit Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Regulasi ini membuka keran program asuransi kesehatan komersial atau swasta di Indonesia sebagai program asuransi jiwa dan kerugian.
Kemudian keluar Peraturan Pemerintah No 6/1992 yang mengubah Perum Husada Bakti menjadi PT Askes (Persero), yang menambahkan satu program Askes Komersial untuk menjaring karyawan BUMN. Prinsipnya seperti Asuransi Kesehatan Sosial, tetapi premi dibayar penuh oleh karyawan dengan persentase sesuai dengan gaji dan tidak ada subsidi premi dari pemerintah ataupun pemberi kerja.
Selanjutnya muncul Undang-Undang No 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja serta PP No 14/1992 dan PP No 36/1994 yang mewajibkan perusahaan dan tenaga kerja untuk mengikuti program Jamsostek.
Kepesertaan dalam program ini bersifat wajib dengan iuran yang ditetapkan secara proporsional.
Setelah masa krisis ekonomi tahun 1997-1998, muncul kebijakan Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang memberikan bantuan untuk masyarakat miskin, salah satunya menyasar pada sektor kesehatan masyarakat. Pemerintah juga memberikan bantuan bagi pelayanan kesehatan dengan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat.
Pada 2004, pemerintah mengeluarkan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin (PJKMM) yang kemudian dikenal dengan Askeskin untuk menjangkau 60 warga miskin dan iurannya dibayarkan oleh pemerintah pusat.
Transformasi sistem
Pemerintah kemudian menyempurnakan pelayanan kesehatan bagi warga negara Indonesia dengan program Jaminan Kesehatan Sosial Masyarakat (Jamkesmas). Jamkesmas diselenggarakan oleh pemerintah sejak 2008 untuk masyarakat miskin seluruh Indonesia yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah.
Jamkesmas resmi menggantikan Askeskin yang dilakukan untuk menaikkan mutu pelayanan kesehatan bagi fakir miskin, meningkatkan akuntabilitas, dan transparansi program.
Jika Jamkesmas dikelola oleh pemerintah pusat, pelayanan kesehatan di daerah dibentuk Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Pengelolaan Jamkesda diserahkan pada PT Askes (Persero) dengan nama Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Umum (PJKMU). Program ini dibentuk di 200 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah mengeluarkan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Pada 2011, pemerintah menetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan menunjuk PT Askes (Persero) untuk menjadi penyelenggara program jaminan sosial dengan skema asuransi sosial di bidang kesehatan dan namanya diubah menjadi BPJS Kesehatan.
Tepatnya 1 Januari 2014, terwujud transformasi dari PT Askes menjadi BPJS Kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Untuk BPJS Kesehatan, semua penduduk Indonesia berkewajiban menjadi anggota JKN-KIS BPJS Kesehatan, termasuk pekerja asing yang telah tinggal selama enam bulan. Peserta JKN-KIS membayar iuran setiap bulan, bergantung pada fasilitas pelayanan yang mereka inginkan dengan besaran iuran bervariasi.
Agar pelayanan kesehatan berjalan merata pada seluruh kelompok masyarakat, pemerintah memberikan subsidi pembayaran iuran kepada kelompok masyarakat tidak mampu yang disebut Penerima Bantuan Iuran. Hal yang sama berlaku untuk para veteran perang, pensiunan, serta anak dan janda pada veteran perang. Mereka berhak mendapat fasilitas BPJS Kesehatan dengan iuran ditanggung pemerintah.
Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Warga mendaftarkan diri untuk mendapat layanan medis dengan BPJS Kesehatan di RSUD Kota Yogyakarta, Umbulharjo, Yogyakarta, Senin (24/8/2020). Mulai Juli 2020, pengguna layanan BPJS Kesehatan di rumah sakit itu berangsur naik 20 persen dibanding saat awal pandemi Covid-19 mulai merebak. Saat ini setiap hari sekitar 200 warga menggunakan layanan BPJS Kesehatan di rumah sakit itu. Selama pandemi berbagai layanan di rumah sakit tersebut terus berlangsung dengan menerapkan protokol kesehatan ketat.
Iuran kesehatan
Besar iuran per Januari 2021 untuk manfaat pelayanan kelas I sebesar Rp 150.000 dan untuk kelas II sebesar Rp 100.000, sementara untuk pelayanan kelas III sebesar Rp 35.000. Sebenarnya untuk kelas III iuran naik menjadi Rp 42.000, tetapi pemerintah memberikan subsidi Rp 7.000.
Kenaikan iuran kelas III mandiri menimbulkan penolakan karena dianggap memberatkan masyarakat dan tidak tepat dilakukan dalam situasi pandemi Covid-19. Sebab, peserta kelas III mandiri adalah kelompok masyarakat yang sangat rentan berubah kemampuannya dalam membayar iuran.
Beragam usaha dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menyediakan layanan kesehatan yang memadai bagi warganya, tetapi tidak semuanya dapat terpenuhi dengan ideal, bahkan terkadang persoalan finansial menjadi kendala utama dalam asuransi kesehatan masyarakat.
Pada Oktober 2019, BPJS Kesehatan terus mengalami defisit karena pendapatan iuran yang diperoleh tidak sesuai dengan manfaat yang dibayarkan sehingga saat itu diprediksikan akan mengalami defisit Rp 32,8 triliun pada Desember 2019 dan meningkat menjadi Rp 39,5 triliun pada 2020. Oleh karena itu, BPJS Kesehatan membentuk tim khusus untuk membahas program berkelanjutan JKN-KIS (Kompas, 20 Oktober 2019).
Untuk menjamin keberlanjutan program tersebut, keluarlah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam Pasal 34 perpres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 5 Mei 2020 itu disebutkan, mulai 1 Juli 2020, iuran JKN-KIS bagi peserta kelas satu naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 150.000 per bulan.
Iuran peserta kelas dua naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 100.000 per bulan. Sementara iuran peserta kelas tiga segmen peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja (BP) menjadi Rp 42.000 per bulan. Pemerintah memberikan subsidi Rp 16.500 kepada peserta PBPU dan BP sehingga pembayaran iuran hanya Rp 25.500 per bulan.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Petugas melayani warga yang hendak mengurus administrasi di Kantor BPJS Kesehatan cabang Jakarta Selatan di Pancoran, Kamis (14/5/2020).
Defisit anggaran
Berdasarkan data BPJS Kesehatan per November 2020, tunggakan iuran peserta JKN-KIS Rp 11 triliun dari 14,5 juta peserta dan sekitar 60 persennya merupakan tunggakan dari segmen peserta mandiri kelas tiga. Oleh karena itu, secara perlahan pemerintah mengurangi subsidi untuk PBPU dan BP sehingga pada 2021 iurannya menjadi Rp 35.000 karena subsidi menjadi hanya Rp 7.000.
Di sisi lain, pemerintah membantu warga yang terdampak Covid-19 sebesar Rp 110,2 triliun, antara lain Rp 45,1 triliun untuk program kartu sembako, Rp 28,7 triliun untuk Program Keluarga Harapan, Rp 12,07 triliun untuk bantuan sosial tunai, dan Rp 14,4 triliun bagi bantuan langsung tunai desa.
Strategi menaikkan iuran untuk mengurangi defisit sepertinya cukup efektif, BPJS yang sejak 2017 tercatat selalu gagal bayar, pada hasil audit 2020 surplus Rp 18,74 triliun. Akan tetapi, hal itu tidak hanya disebabkan oleh kenaikan iuran karena sejak 2016 pemerintah juga telah memberikan suntikan dana Rp 20,59 triliun.
Negara wajib memberikan jaminan kesehatan bagi warga negaranya. Prinsip gotong royong dalam pembiayaan premi asuransi kesehatan merupakan upaya yang patut diapresiasi untuk memberikan jaminan kesehatan bagi warga negara. (LITBANG KOMPAS)