Tingkatkan Cakupan dan Kualitas Layanan JKN untuk Pasien Kanker
Revisi aturan Jaminan Kesehatan Nasional yang tengah disusun pemerintah perlu meningkatkan cakupan dan kualitas bagi pasien kanker.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi aturan Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN yang tengah disusun pemerintah perlu meningkatkan cakupan dan kualitas bagi pasien kanker. Permasalahan JKN yang dihadapi penyintas kanker setidaknya mencakup tiga hal, yakni fasilitas, akses obat, dan manajemen pembiayaan.
Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany mengemukakan, selama 20-30 tahun terakhir, terjadi perubahan beban penyakit yang cukup besar di negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia, salah satunya kanker.
”Penyakit kronis seperti kanker merupakan penyakit yang bisa memiskinkan seseorang atau rumah tangga. Oleh karena itu, pembiayaan ini harus ditanggung bersama. Itulah konsep dasar dari JKN,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Kamis (28/10/2021).
Merujuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), semua pasien kanker dari kalangan ekonomi bawah sampai atas berhak atas pelayanan dalam JKN. Pasal 2 UU SJSN menyatakan bahwa JKN diselenggarakan berdasarkan asas keadilan sosial.
Penyakit kronis seperti kanker merupakan penyakit yang bisa memiskinkan seseorang atau rumah tangga. Oleh karena itu, pembiayaan ini harus ditanggung bersama. Itulah konsep dasar dari JKN.
Selain itu, dalam Pasal 19 disebutkan bahwa JKN memiliki prinsip asuransi sosial dan ekuitas. Namun, kata Hasbullah, asuransi di JKN berbeda dengan swasta. Sedangkan prinsip ekuitas, yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya.
Hasbullah menepis anggapan yang menyatakan bahwa negara akan bangkrut bila membiayai pengobatan kanker yang mahal. Dari penghitungan yang ia lakukan, setiap orang hanya perlu memberikan iuran Rp 5.000 per tahun atau Rp 417 per bulan untuk menjamin semua penderita kanker mendapatkan hak pengobatan.
Hitungan tersebut ia dapatkan merujuk rata-rata biaya pengobatan kanker yang mencapai Rp 50 juta setahun. Iuran lebih murah mengingat prevalensi penderita kanker hanya 1 dibanding 10.000 orang. Dengan kata lain, secara sederhana iuran Rp 5.000 per orang per tahun didapat dari Rp 50 juta dibagi 10.000 orang.
”Jika semua penderita kanker mendapat pengobatan yang sesuai kebutuhan, kenaikan belanja negara paling tinggi naiknya hanya 0,1 persen produk domestik bruto (PDB). Komitmen jaminan kesehatan di Timor Leste lebih tinggi dari Indonesia sehingga penderita kanker di sana lebih terjamin,” tuturnya.
Hasbullah pun meminta Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk menyediakan informasi semua obat kanker yang dijamin dan syarat-syaratnya. Semua prosedur penjaminan, batas jaminan atau urun biaya obat tertentu, fasilitas rumah sakit, hingga waktu tunggu layanan bagi penderita kanker juga harus jelas.
Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) M Djunaedi mengatakan, fasilitas dari BPJS Kesehatan untuk pasien kanker, antara lain, untuk deteksi dini, papsmear dan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA), konsultasi daring, kemoterapi, dan operasi. Namun, ia juga mengakui adanya permasalahan mulai dari rumah sakit rujukan, ketersedian dokter, obat anti kanker, dan klaim.
”Dokter spesialiasi hematologi onkologi di daerah-daerah tertentu tidak selalu ada. Bahkan, terdapat satu dokter yang harus bekerja di tiga kabupaten sekaligus. Sementara obat untuk kanker di daerah juga tidak selalu tersedia dan sulit didapat,” katanya.
Konsensus
Ketua Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam Indonesia (Perhompedin) Jakarta Ronald A Hukom mengatakan, semua penderita kanker memiliki hak untuk mendapatkan kualitas pelayanan yang baik. Bahkan, kualitas pelayanan ini juga perlu setara dengan negara-negara lain.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019 sudah menyatakan bahwa semua pasien perlu mendapatkan pelayanan dan jaminan keselamatan. Sementara pada 2006, American Society of Clinical Oncology (ASCO) dan European Society for Medical Oncology (ESMO) telah membuat konsensus terkait pelayanan kanker yang berkualitas.
Beberapa pelayanan yang perlu didapat oleh penderita kanker, di antaranya, akses terhadap informasi tentang penyakit yang mereka derita, jaminan privasi, rekam medis, tindakan pencegahan, dan tidak diskriminatif. Konsensus lainnya yang tidak kalah penting adalah partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan terkait pengobatan dan perawatan.
Terkait kasus kanker di Indonesia, Ronald memandang sebagian besar pasien datang ke rumah sakit sudah dalam kondisi stadium lajut dan memiliki kemungkinan sembuh yang kecil. Di sisi lain, dalam proses perawatan pasien sering memerlukan obat ataupun terapi dengan biaya yang sangat mahal.
”Perlu dipastikan ada kerja multidisiplin yang optimal untuk penanganan kanker di berbagai strata rumah sakit. Selain itu, laporan defisit dana BPJS Kesehatan perlu segera diikuti dengan audit pemakaian obat kanker,” ucapnya.