Cegah Tengkes Sebelum Genting
Sejauh ini pemerintah telah memiliki strategi nasional memerangi tengkes. Namun itu saja tak cukup. Kolaborasi antara pemerintah dan swasta menjadi salah satu kunci keberhasilan pencegahan tengkes.
Tahun 2018, saya mengenal istilah stunting (tengkes) untuk pertama kali, saat saya pindah profesi dari bisnis ke filantropi.
Kata ini mirip stuntman sehingga saya pikir artinya tidak jauh dari itu. Ternyata saya salah. Tengkes bukanlah seperti yang saya pikirkan. Tengkes terjadi manakala anak balita gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, terutama yang terjadi pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).
Tengkes bukan hanya berdampak pada perkembangan fisik penderita. Lebih dari itu, perkembangan otak ikut terganggu. Jika tidak ditangani pada usia balita, dampak tengkes bersifat permanen.
Tengkes sebenarnya bukanlah hal baru di Indonesia. Masalah tersebut kemungkinan sudah muncul sejak kebijakan Tanam Paksa oleh kolonial. Namun faktanya, tidak banyak masyarakat kita yang paham mengenai masalah tersebut, bahkan sampai hari ini.
Saat ini Indonesia masuk dalam lima negara dengan kasus tengkes tertinggi di dunia. Meskipun statistik menunjukkan prevalensi tengkes turun dari 37,2 persen di tahun 2013 menjadi 27,7 persen di tahun 2019, tetapi delapan juta anak balita masih menderita tengkes.
Ketika presiden Bank Dunia berkunjung ke Indonesia pada 2015, salah satu pokok bahasan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah kasus tengkes di Indonesia. Pertemuan tersebut sekaligus menjadi catatan betapa gawat masalah yang dihadapi Indonesia.
Atas kondisi itu, Presiden Jokowi langsung mengambil langkah perbaikan melalui peluncuran Strategi Nasional untuk Percepatan Pencegahan Stunting (Stranas Stunting) pada 2017 untuk memberikan layanan terpadu di 514 kabupaten/kota.
Baca juga :
> Membangun Keluarga Prosumen, Mencegah Generasi Tengkes
> Penurunan Tengkes Butuh Upaya Besar-besaran
Penanggulangan tengkes di negara Lain
Beranjak dari Indonesia, sebenarnya ada negara lain yang menghadapi kondisi yang sama dengan negara kita, yakni Peru dan Vietnam.
Di Peru, tingkat tengkes cukup tinggi pada periode 2000an. Seiring dengan tingginya kasus ini, pemimpin dan para pemangku kepentingan di negara tersebut menggulirkan inisiatif, yakni evolusi gizi yang berfokus pada pengurangan angka tengkes.
Atas inisiatif tersebut, Peru berhasil menurunkan prevalensi tengkes dari 31,3 persen di tahun 2000 menjadi 12,2 persen pada 2019.
Demikian pula dengan Vietnam. Komitmen pemimpin puncak negara dan pemerintah pusat dalam program-program intervensi ke seluruh lapisan masyarakat telah memberikan hasil signifikan. Angka tengkes di Vietnam tercatat 52,5 persen pada 1994, turun menjadi 22,3 persen pada 2020.
Di dua negara yang dinilai berhasil mengatasi tengkes itu, langkah pertama adalah rasa kepemilikan (ownership) dan komitmen dari lembaga nomor wahid pemerintahan. Itu sekarang kita sudah punya.
Mereka juga mengangkat masalah tengkes menjadi masalah nasional dengan strategi nasional yang jelas. Itu pun kita juga sudah melakukan. Kalau Peru dan Vietnam bisa, kita pun pasti bisa.
Pencegahan tengkes akan lebih efektif dan berkelanjutan apabila dilakukan sejak dini.
Kemitraan pemerintah-swasta
Saat Strategi Nasional Stunting dicanangkan Presiden, sayangnya tidak semua kabupaten/kota bisa merumuskannya hingga di tingkat lokal.
Pada 2020, data menunjukkan, dari 514 kabupaten/kota, hanya 77 yang sudah mempunyai peraturan daerah untuk pencegahan tengkes, strategi komunikasi perubahan perilaku, dan rencana aksi.
Penerapan delapan aksi konvergensi di tingkat kabupaten/kota dan desa juga belum berjalan dengan baik.
Baca juga:
> ASI Eksklusif Cegah Risiko Tengkes
> Mencapai Target Ambisius Penurunan Tengkes
Melihat kondisi ini, Tanoto Foundation berinisiatif untuk bekerja sama dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan melakukan pendampingan terhadap tujuh kabupaten untuk menyusun hingga mengimplementasikan strategi komunikasi untuk percepatan penurunan tengkes dengan mendorong perubahan perilaku masyarakat yang sesuai dengan konteks lokal.
Tingginya tingkat prevalensi tengkes di golongan masyarakat prasejahtera (48,4 persen berdasarkan Riskesdas 2013) mendorong kami bekerja sama dengan Kementerian Sosial untuk menyusun modul ”Pencegahan dan Penanganan Stunting” yang digunakan dalam sesi Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga dengan keluarga penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH).
Pencegahan tengkes akan lebih efektif dan berkelanjutan apabila dilakukan sejak dini. Tingkat anemia remaja putri di angka 32 persen (Riskesdas 2018) masih terlalu tinggi. Remaja sebagai calon orangtua dan agen perubahan mempunyai peran penting.
Dengan dukungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Tanoto Foundation meluncurkan buku Cegah Stunting Sebelum Genting: Peran Remaja dalam Pencegahan Stunting yang dipublikasikan oleh Kompas Gramedia Group. Ada beberapa contoh keterlibatan swasta untuk mendukung pemerintah dalam program percepatan penurunan tengkes.
Pendekatan penta helix secara komprehensif, selaras dan terintegrasi dalam penanganan tengkes melibatkan lima aktor penting, yakni pemerintah, swasta, masyarakat, akademisi dan media sangat diperlukan untuk mempercepat dan memperluas implementasi program, meningkatkan kapasitas dari pelaksana program, mendukung inovasi, riset dan uji coba praktik baik, serta melakukan kampanye peningkatan pemahaman tentang stunting dan cara pencegahannya ke semua lapisan masyarakat.
Bagaimanapun, kolaborasi antara pemerintah dan swasta menjadi salah satu kunci keberhasilan pencegahan tengkes.
Seiring dengan terbitnya Perpres No 72 Tahun 2021 di mana Presiden menunjuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai koordinator pelaksana percepatan penurunan tengkes, tentu akan membutuhkan lebih banyak lagi kemitraan pemerintah-swasta guna menurunkan prevalensi tengkes Indonesia ke angka 14 persen pada 2024.
Bagaimanapun, kolaborasi antara pemerintah dan swasta menjadi salah satu kunci keberhasilan pencegahan tengkes. Sejauh ini pemerintah telah memiliki strategi nasional memerangi tengkes. Namun, itu saja tidak cukup. Yang diperlukan adalah kita semua menyingsingkan lengan baju, mengerjakan bagian kita masing-masing untuk bersama-sama memerangi tengkes.
J Satrijo Tanudjojo, CEO Global, Tanoto Foundation