Situasi pandemi Covid-19 di Indonesia memperburuk persoalan tumbuh kembang anak, terutama tengkes. Padahal pemerintah berambisi mempercepat penurunan angka tengkes secara nasional.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 telah berdampak pada berbagai segi kehidupan masyarakat, mulai dari kesehatan, sosial, hingga ekonomi. Hal tersebut dapat memperburuk permasalahan gizi pada anak, secara langsung maupun tidak. Permasalahan gizi ini sangat berdampak pada kondisi tengkes di Indonesia.
Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 menargetkan, angka prevalensi tengkes atau stunting (gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis) bisa turun menjadi 14 persen pada 2024. Target tersebut dinilai amat ambisius, sebab prevalensi tengkes pada 2019 tercatat 27,7 persen.
Meski prevalensi tersebut turun dari 37,2 persen pada 2013, berbagai kondisi di tengah masyarakat dan ditambah dengan situasi pandemi saat ini membuat target tersebut sulit dicapai. Penanganan tengkes bukan perkara yang mudah karena butuh intervensi yang kuat secara multidimensi.
Sejumlah strategi telah disusun pemerintah untuk mempercepat penurunan angka tengkes. Melalui strategi nasional percepatan tengkes, ada dua strategi utama, yakni strategi spesifik mencakup pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil dan remaja putri serta imunisasi. Selain itu, ada strategi sensitif meliputi penyediaan air bersih dan sanitasi serta bantuan pangan pada kelompok sasaran.
Seluruh strategi tersebut perlu dijalankan beriringan dengan melibatkan lintas sektor, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, swasta, media, dan masyarakat umum. Upaya yang dilakukan juga harus optimal dengan komitmen yang kuat.
Kondisi pandemi Covid-19 telah berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2020 mencapai 27,55 juta orang, meningkat 2,76 juta orang dibandingkan September 2019. Dengan penularan Covid-19 yang sempat melonjak pada Juli 2021, dikhawatirkan membuat angka kemiskinan tersebut semakin tinggi.
Sejumlah pelayanan yang berkaitan dengan pencegahan tengkes juga terkendala selama pandemi. Layanan pada masyarakat pun terganggu, seperti posyandu, kelas ibu hamil, bina keluarga balita dan pendidikan anak usia dini.
Percepatan penurunan tengkes
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Hasto Wardoyo di Jakarta, Jumat (3/9/2021), menyampaikan, semua pihak harus bergerak lebih cepat untuk menurunkan angka tengkes di Indonesia. Target penurunan yang telah ditetapkan pemerintah cukup tinggi.
”Menangani stunting tidak lagi bisa hanya wacana. Waktu kita tinggal 2,5 tahun untuk menurunkan angka stunting dari 27 persen ke 14 persen pada 2024. Jadi kita bisa membenarkan kalau para ahli memproyeksikan pada akhir tahun 2020, angka stunting mencapai 32,5 persen,” ucapnya.
Untuk memperkuat upaya penanganan tengkes, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Dalam aturan tersebut terdapat lima pilar utama dalam penanganan tengkes, yakni meningkatkan komitmen dan visi kepemimpinan pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta peningkatan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat.
Beberapa pilar lainnya dalam penanganan tengkes meliputi meningkatkan konvergensi intervensi spesifik dan sensitif, meningkatkan ketahanan pangan dan gizi masyarakat, serta memperkuat dan mengembangkan sistem, data, informasi, dan inovasi.
Menurut Hasto, BKKBN telah ditunjuk oleh Presiden untuk menjadi Ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting. Sejumlah rencana pun sedang dipersiapkan, terutama untuk menentukan daerah prioritas dalam percepatan penanganan tengkes. Untuk sementara, provinsi prioritas meliputi Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara. Seluruh provinsi di Pulau Jawa juga akan menjadi prioritas karena memiliki populasi penduduk yang besar.
Menangani stunting tidak lagi bisa hanya wacana. Waktu kita tinggal 2,5 tahun untuk menurunkan angka stunting dari 27 persen ke 14 persen pada 2024.
Selain itu, prioritas penanganan akan ditujukan pada keluarga dengan memiliki anak pada usia 1.000 hari pertama kelahiran, yaitu mulai dari masa kehamilan sampai anak usia dua tahun, serta keluarga yang memiliki remaja putri.
”BKKBN juga akan menambah beberapa inovasi dalam rencana aksi nasional penurunan stunting. Salah satunya, pembenahan pendataan keluarga by name by address, pendampingan keluarga melalui bidan, PKK, dan kader, serta surveilans dan audit,” katanya.
Hasto menuturkan, setidaknya ada 70 juta keluarga yang terdata dari pendataan keluarga 2021. Dari jumlah itu, sekitar 17 juta keluarga di antaranya masuk dalam indikator keluarga berisiko tinggi tengkes. Dari data ini nantinya menjadi panduan bagi kementerian atau lembaga lain dalam mengintervensi penanganan tengkes.
Tengkes menjadi persoalan serius karena intervensi hanya bisa dilakukan sampai anak usia dua tahun. Setelah usia tersebut, intervensi tidak akan berdampak optimal. Anak dengan tengkes berisiko mengalami gagal dalam tumbuh kembang. Potensi untuk mengalami penyakit tidak menular juga tinggi.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam Rapat Koordinasi Nasional Percepatan Penurunan Tengkes pada pekan lalu menyampaikan, angka tengkes diperkirakan meningkat akibat pandemi, terutama pada masyarakat kelompok miskin. Itu terjadi karena daya beli masyarakat untuk pangan bergizi menurun.
”Upaya-upaya berkelanjutan harus diperkuat. Komitmen seluruh lintas sektor juga harus semakin kuat. Sebab, kunci keberhasilan dalam percepatan penurunan stunting adalah kerja sama dan koordinasi mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten atau kota, sampai ke kecamatan dan desa,” tuturnya.
Muhadjir mengungkapkan, masih banyak daerah memiliki angka tengkes yang tinggi. Daerah dengan angka tengkes tertinggi meliputi, antara lain, di Kabupaten Jeneponto (41,3 persen) dan Kabupaten Bantaeng (21 persen) di Sulawesi Selatan, Kabupaten Minahasa (38,6 persen) di Sulawesi Utara, dan Kabupaten Nias Selatan (57 persen) di Sumatera Utara.
Menurut dia, tingginya angka tengkes tersebut disebabkan kurangnya asupan gizi yang sangat kronis di masyarakat. Cakupan air bersih juga amat rendah. Hal tersebut diperburuk dengan minimnya tenaga kesehatan, terutama ahli gizi yang bertugas memantau tumbuh kembang anak.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa menambahkan, imunisasi dasar lengkap juga penting untuk diperhatikan. Saat ini cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi baru lahir sebesar 57,9 persen. Jumlah itu jauh dari target RPJMN yang sebesar 90 persen pada tahun 2024.
”Kita harus menjadikan upaya penanganan stunting sebagai prioritas pembangunan nasional. Kita sudah menetapkan target yang ambisius. Pemerintah dan masyarakat harus bahu-membahu bersinergi untuk mempercepat penurunan stunting,” ujarnya.