Prevalensi tengkes di Indonesia pada 2013 sebesar 37,2 persen dan kemudian menurun pada 2019 menjadi 27,67 persen. Ditargetkan pada 2024, prevalensi tengkes ini bisa menurun menjadi 14,5 persen.
Oleh
Nina Susilo
·5 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Percepatan penurunan prevalensi tengkes atau stunting di Indonesia menghadapi tantangan akibat pandemi Covid-19. Penurunan daya beli masyarakat berakibat meningkatnya jumlah warga miskin. Penguatan komitmen dan kolaborasi pemerintah pusat sampai daerah diyakini sebagai solusi untuk mampu mengatasi problem tersebut.
Hal ini menjadi benang merah dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Percepatan Penurunan Stunting 2021 secara daring yang dimulai Senin (23/8/2021) dan akan berlangsung dua hari.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam sambutannya menegaskan, kunci keberhasilan percepatan penurunan prevalensi tengkes adalah komitmen dan kerja kolaborasi. Dengan demikian, intervensi yang dilakukan, baik intervensi gizi spesifik maupun intervensi sensitif, bisa tepat sasaran.
Dengan kolaborasi dan komitmen tinggi, semua sumber daya yang diperlukan dapat dimobilisasi untuk penurunan prevalensi tengkes.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyebutkan, pandemi Covid-19 memberi tantangan dalam percepatan penanganan tengkes. Keluarga miskin yang terdampak akibat menurunnya daya beli bertambah dari 12,4 juta orang pada 2020 menjadi 12,8 juta orang pada Maret 2021.
Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti menyebutkan, pada Maret 2021 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kemiskinan menjadi 10,14 persen. Kenaikan Covid-19 pada Juni 2021 dan pembatasan mobilitas penduduk juga mesti diwaspadai dampaknya. Diperkirakan hal ini menyebabkan kenaikan angka kemiskinan.
Prevalensi tengkes di Indonesia pada 2013 sebesar 37,2 persen dan 2019 sebesar 27,67 persen. Ditargetkan pada 2024, prevalensi ini bisa menurun menjadi 14,5 persen.
Sekalipun angka prevalensi menurun, kata Muhadjir, Bank Dunia pada 2020 masih menempatkan Indonesia di urutan ke-115 dari 151 negara di dunia untuk penanganan tengkes. Selain itu, masih banyak kepala daerah yang melaporkan angka tengkes lebih tinggi dari rata-rata nasional. Misalnya, Kabupaten Jeneponto 41,3 persen, Kabupaten Bantaeng 21 persen, dan Kabupaten Minahasa 38,6 persen, Kabupaten Nias Selatan 57 persen. Kalaupun ada daerah yang sudah di bawah rata-rata nasional, seperti Sukabumi, yakni 21 persen, angka ini masih jauh dari target.
Dengan kondisi saat ini, kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, dalam perhitungan Bank Dunia pada 2020, indeks sumber daya manusia Indonesia pada 2024 hanya 0,54.
”Angka ini menggambarkan anak balita Indonesia saat ini hanya akan mencapai 54 persen dari potensi maksimalnya. Tetapi, kalau bisa diatasi, Indonesia bisa menikmati bonus demografinya,” tutur Suharso. Angka tersebut jauh di bawah Singapura yang mencapai 0,88. Indeks sumber daya manusia ini ditentukan dari peluang hidup anak usia 0-5 tahun serta kualitas pendidikan dan kesehatan.
Dalam pidatonya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebutkan beberapa masalah dalam penanganan tengkes. Kinerja satuan organisasi perangkat daerah dan pemangku kepentingan lain di daerah belum optimal. Semua masih bekerja sendiri-sendiri.
Intervensi gizi spesifik belum benar-benar tepat sasaran. Kebijakan dan program-program tengkes belum sepenuhnya diimplementasikan pada dokumen perencanaan keuangan daerah. Kapasitas pelaksanaan program juga masih lemah dan terbatas. Sementara pengolahan data untuk mengambil keputusan dinilai masih belum akurat dan terintegrasi.
Alokasi anggaran untuk penanganan tengkes di beberapa wilayah juga masih rendah. Pemerintah Provinsi Papua Barat bahkan disebutnya belum mengalokasikan anggaran penanganan tengkes. Adapun DKI Jakarta hanya Rp 0,2 miliar dan Bengkulu Rp 0,35 miliar.
Untuk itu, Kemendagri menjanjikan akan mendampingi untuk pelaksanaan aksi konvergensi penanganan tengkes. ”Pemda yang belum mengalokasikan anggaran penanganan stunting agar betul-betul serius dan menjadikan program prioritas. Kami akan betul-betul memelototi APBD Bapak/Ibu sekalian,” ujar Tito.
Komitmen untuk menurunkan prevalensi tengkes perlu terus diperkuat. Selain itu, konvergensi program-program dinilai sangat perlu.
Dalam pembukaan rakornas, beberapa kepala daerah, seperti Bupati Belitung Timur Burhanuddin, Wali Kota Singkawang Tjhai Chui Mie, Wali Kota Mojokerto Ika Puspita Sari, Bupati Pulau Taliabu Aliong Mus, dan Wali Kota Minahasa Royke O Roring, menyampaikan komitmen untuk mempercepat penurunan prevalensi tengkes.
Selain menyatukan tujuan dan mengintegrasikan program-program yang ada, Wapres Amin meminta pemerintah daerah memetakan kembali semua program, kegiatan, dan anggaran terkait dengan percepatan penurunan tengkes di wilayahnya.
Rencana aksi nasional percepatan penurunan tengkes juga diminta segera disusun. Rencana aksi ini diamanatkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.
Dalam aturan ini, disebutkan penanganan tengkes bertumpu pada lima pilar, yaitu komitmen politik dan kepemimpinan nasional dan daerah; kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku; konvergensi program pusat, daerah, dan masyarakat; ketahanan pangan dan gizi; serta monitoring dan evaluasi.
”Rencana Aksi Nasional harus disusun dan disepakati bersama antarkementerian dan lembaga, didiskusikan bersama pakar dan pemangku kepentingan lainnya, serta disosialisasikan kepada para pihak, baik di tingkat pusat maupun daerah," kata Wapres Amin.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai Ketua Pelaksana Percepatan Penanganan Stunting Hasto Wardoyo juga diminta segera berkoordinasi dengan kementerian/lembaga serta pemerintah daerah untuk memastikan konvergensi antarprogram dapat terealisasi.
”Konvergensi adalah kata yang mudah diucapkan, tetapi sering kali tidak mudah untuk diwujudkan. Untuk mewujudkannya diperlukan upaya keras dari kita semua. Setiap lembaga yang terlibat diminta untuk menghilangkan ego sektoral karena konvergensi membutuhkan kerja kolaborasi antarberbagai pihak,” kata Wapres.
Sejauh ini, program penanganan tengkes dibagi menjadi intervensi gizi spesifik dan intervensi sensitif. Intervensi gizi spesifik adalah intervensi yang berhubungan dengan peningkatan gizi, seperti pemberian makanan tambahan dan suplemen penambah darah. Adapun intervensi gizi sensitif adalah intervensi pendukung seperti penyediaan air bersih dan sanitasi.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin optimistis target penurunan prevalensi tengkes menjadi 14,5 persen pada 2024 akan bisa dicapai. Sebab, pelayanan kesehatan dan gizi secara terstruktur dan berjenjang terus dilakukan mulai dari posyandu hingga rumah sakit.