Penurunan Tengkes Butuh Upaya Besar-besaran
Perguruan tinggi dengan Tri Dharma Pendidikan, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, kini dilibatkan dalam penanganan tengkes. Perlu gerakan masif untuk mengatasi tengkes secara nasional.
JAKARTA, KOMPAS — Penurunan prevalensi stunting atau tengkes yang saat ini di kisaran 27,6 persen menjadi sekitar 14 persen tahun 2024 membutuhkan usaha yang maksimal dan besar-besaran. Pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir dua tahun ini diperkirakan menambah jumlah tengkes di Indonesia.
Untuk itu, pendekatan persuasif dan edukatif harus terus dilakukan. Perguruan tinggi dengan Tri Dharma Pendidikan, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, turut serta mengatasi masalah gagal tumbuh pada anak yang masih tinggi ini.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, fenomena tengkes harus dilawan karena menjadi kendala untuk menyiapkan generasi unggul di masa depan Indonesia. Masih ada 10 provinsi dengan tengkes tinggi meskipun sudah ada upaya signifikan yang dilakukan pemerintah daerah masing-masing. Kondisi tengkes di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Aceh, Gorontalo, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah masih banyak yang harus dikerjakan.
”Provinsi lain juga tidak bebas dari stunting meskipun ada penurunan. Ada yang diduga kuat naik karena pandemi Covid-19. Penangan stunting dialihkan dari Kementerian Kesehatan ke BKKBN. Jadi stunting bukan lagi soal penyakit, tapi pembangunan keluarga. Pendekatan yang lebih proaktif, antisipatif, dan pencegahan lebih dikedepankan,” kata Muhadjir dalam Simposium Nasional 2021: Praktik Baik Percepatan Penurunan Stunting Melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi yang digelar Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bekerja sama dengan Forum Rektor Indonesia (FRI) dan Tanoto Foundation, Selasa (26/10/2021).
Tengkes harus ditelusuri sampai ke hulu dengan menyiapkan keluarga yang siap membangun rumah tangga yang kuat dan bahagia. Ini bisa dimulai dengan memberikan bimbingan atau kursus pranikah.
Penanganan tengkes juga melibatkan upaya untuk pembangunan keluarga. Tengkes harus ditelusuri sampai ke hulu dengan menyiapkan keluarga yang siap membangun rumah tangga yang kuat dan bahagia. Ini bisa dimulai dengan memberikan bimbingan atau kursus pranikah.
Muhadjir menilai kerja sama BKKBN dan perguruan tinggi sangat strategis dari sisi pendekatan persuasif dan edukatif. Dalam kerja sama ini, yang disentuh adalah para mahasiswa dan mahasiswi yang pada akhirnya nanti akan membangun keluarga. Sebab, banyak kasus tengkes justru dimulai dari ketidakpahaman yang cukup tentang hidup sehat sejak masa remaja, semisal diet berlebihan atau diet yang tidak rasional pada remaja putri yang dapat memengaruhi perkembangan rahim dan berpotensi kuat mengalami kelahiran tengkes.
”Juga lewat pengabdian masyarakat untuk pengarahan, bantuan, serta penyelesaian masalah stunting di masyarakat. Tidak perlu penyeragaman, tapi kenekaragam cara masing-masing perguruan tinggi dengan riset dan penanganan teknokratik. Pada dasarnya stunting bukan kasus tunggal, tapi variasi dari berbagai faktor, seperti perbedaan spasial dan kultural juga memengaruhi stunting,” ujar Muhadjir.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan, penanganan tengkes menjadi daya ungkit tinggi dalam mengatasi tantangan terhadap kualitas anak atau generasi emas 2045. Kondisi tengkes di daerah masih senjang, ada yang di atas 30 persen, ada yang di bawah 10 persen.
Menurut Hasto, penurunan angka tengkes ini juga sejalan dengan upaya menurunkan angka kematian ibu (AKI) saat kelahiran yang jumlahnya 305 per 100.000 kelahiran dan angka kematian bayi 24 per 1.000 kelahiran bayi. Di Asia Tenggara ada negara yang sudah mencapai AKI 7 per 100.000 kelahiran.
”Kita semua harus semangat untuk menurunkan stunting hingga 14 persen di tahun 2024 dan juga menurunkan AKI sampai 70 per 100.000 kelahiran,” ujar Hasto.
Pendampingan keluarga
Dalam penanganan tengkes, generasi muda dan keluarga juga menjadi perhatian untuk meningkatkan kualitas SDM. Salah satu sumber tengkes ada pada pasangan usia subur yang baru.
Para remaja juga dapat menyumbang terjadinya tengkes. Karena itu, mereka harus disiapkan menjeadi generasi baik agar tidak putus sekolah dan mendapat pekerjaan layak, tidak menikah di usia muda, serta memahami perlunya mengatur jarak kelahiran anak. Generasi muda ini harus menjadi bonus demografi yang berkualitas.
”Nanti ada pendampingan keluarga, dan perguruan tinggi siap hadir di tengah rakyat untuk mendukung dan memberi solusi supaya tidak ada lagi kelahiran bayi stunting meskipun lingkungan dan sanitasi belum seratus persen tersedia,” ujar Hasto.
Baca juga: ASI Eksklusif Cegah Risiko Tengkes
Menurut Muhadjir, sejak kondisi pranikah, selama hamil, dan setelah melahirkan sebelum 1.000 hari kehidupan pertama membutuhkan intervensi agar ibu-ibu tidak lagi melahirkan bayi tengkes. Melalui pendampingan keluarga dan kehadiran perguruan tinggi, ibu-ibu diharapkan bisa melahirkan bayi yang sehat meskipun kondisi lingkungan dan sanitasi belum seratus persen layak.
Sudah ada 11 perguruan tinggi yang terlibat dalam upaya penanganan tengkes, dan ke depan akan bertambah lagi. Lewat program Kuliah Kerja Nyata dan Kampus Merdeka, perguruan tinggi terlibat dalam pendampingan keluarga dan membantu pemerintah daerah untuk melakukan pendataan yang baik.
Wakil Ketua FRI Maskuri mengatakan, penanganan tengkes harus lintas birokrasi dan ilmu. Banyak upaya yang bisa dilakukan, seperti menengok pangan lokal dan teknologi pengolahan pangan lokal. Perguruan tinggi memiliki kapasitas untuk berinovasi sesuai kebutuhan.
Menurut Maskuri, ada hak tiga semester bagi mahasiswa untuk belajar di luar kampus dengan adanya kebijakan Kampus Merdeka, Karena itu, ini jadi kesempatan bagi mahasiswa dan dosen untuk terlibat dalam penanganan tengkes.
Sementara itu, CEO Global Tanoto Foundation J Satrijo Tanudjojo menyampaikan, pada tahun 2018 angka tengkes di Indonsia mencapa 37,2 persen, kemudian turun di kisaran 27,6 persen saat ini.
”Ini sebuah kemajuan dan menunjukkan semangat bersama untuk memerangi stunting. Namun, untuk penurunan sesuai target yang ditetapkan Presiden Joko Widodo, perlu komitmen kuat dan kerja sama dari pemerintah, swasta, organisasi kemasyarakatan, hingga perguruan tinggi,” ujar Satrijo.
Kolaborasi perguruan tinggi dengan BKKBN untuk mengatasi stunting lewat Tri Dharma Perguruan Tinggi melibatkan perguruan tinggi di bawah Kemendikbudristek, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, hingga Kementerian Pertanian. Ada lebih dari 4.500 perguruan tinggi yang tersebar di berbagai tempat yang bisa dilibatkan.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, Teknologi, Kemendikbudristek Nizam mengatakan, dengan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka, pendidikan tinggi semakin dekat dengan realitas kehidupan masyarakat dan ikut mencari solusi. Para mahasiswa juga didorong belajar di luar kampus dan mempraktikkan keilmuannya.
Ada beragam program kegiatan mahasiswa untuk mewujudkan Kampus Merdeka yang bisa disinergikan untuk mengatasi tengkes. Lewat program Kampus Mengajar, mahasiswa bisa mengedukasi literasi siswa tentang tengkes, gizi, dan kesehatan.
”Perguruan tinggi lewat Tri Dharmanya juga harus dikontribusikan untuk membantu masyarakat dan negara dalam mengatasi masalah proritas yang harus dituntaskan, sepeti stunting,” kata Nizam.
Kepala Pusat Pendidikan SDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Sugiyanto mengatakan, ada 38 politeknik kesehatan di bawah Kemenkes. Berbagai program studi dan kegiatan, seperti kesehatan ibu anak, Keluarga Berencana, reproduksi, hingga perbaikan gizi masyarakat, relevan untuk dimanfaatkan dalam mengatasi tengkes.
Baca juga: Mencapai Target Ambisius Penurunan Tengkes
Sekretaris Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Anas Yalitoba menambahkan, aspek ketersediaan pangan juga bisa mendukung penanganan tengkes. Ada pendampingan bagi kelompok masyarakat untuk memanfaatkan pekarangan pangan lestari. Di tingkat desa juga mulai dikembangkan lumbung pangan desa.