Membangun Keluarga Prosumen, Mencegah Generasi Tengkes
Cara jitu mengatasi kekurangan gizi karena sebab kepapaan, yaitu dengan membangun keluarga prosumen. Dengan swasembada pangan keluarga, kebutuhan gizi keluarga terpenuhi, kasus tengkes pun bisa dicegah.
Tengkes atau stunting sudah masalah dunia. Terlebih di negara baru berkembang seperti Indonesia. Penyebabnya kekurangan gizi, bahkan sejak anak masih di kandungan. Dampaknya anak bertubuh kerdil, dan tingkat kecerdasannya di bawah sepantarannya. Sinyalemen IQ rata-rata anak Indonesia lebih rendah dari anak dunia, boleh jadi betul.
”Generasi kerupuk”
Kurang cerdas berdampak sosial pada kualitas generasi. Saya membaca nasib anak Indonesia sejak mengasuh rubrik kesehatan koran, tabloid, dan majalah wanita sebelum tahun 1980-an.
Kebanyakan ibu muda kurang menguasai bagaimana sehat membesarkan anak, ibu yang sarjana sekalipun. Ini memprihatinkan. Sejatinya meja makan ibu menentukan nasib generasi. Peran ibu strategis menciptakan anak berkualitas, termasuk agar tidak harus lahir generasi tengkes. Kuncinya mengedukasi ibu.
Baca juga: Mengatasi Persoalan Serius Terkait Tengkes
Kebanyakan ibu belum tahu kalau kualitas anak dibentuk sejak masih di kandungan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 20 persen kasus tengkes terbentuk sejak di kandungan. Maka wawasan gizi ibu hamil menentukan nasib anak juga. Program posyandu, cara mengedukasi ibu.
Agar tidak melahirkan anak tengkes, ibu hamil perlu memeriksakan kehamilan antenatal berkala, menerima pemberian makanan tambahan, dan penyuluhan hamil sehat. Termasuk di sini memotivasi ASI eksklusif bahwa dengan ASI menjamin anak tumbuh optimal, hemat tak perlu belanja susu formula, selain anak tidak rentan terinfeksi. Hanya ASI yang memberikan anak kekebalan alami terhadap infeksi. Sering terinfeksi, penyebab lain anak menjadi tengkes.
Yang acap terjadi, setelah anak disapih, makanan pengganti ASI anak tak memadai. Karena kepapaan, susu diganti air tajin, dan menu harian anak kurang protein. Selain kepapaan, ketidaktahuan (ignorancy) kebanyakan ibu sehingga tak cakap memberi makanan supaya optimal tumbuh kembang anak. Bahwa menu bergizi tidak harus berharga tinggi. Kangkung, belut, lele, sama bergizinya dengan brokoli dan daging.
Untuk bertumbuh, anak butuh protein lima kali lipat lebih banyak dari orang dewasa, atau 5 gram/kg berat badan. Bayi tiga tahun (batita) dengan berat ideal 14 kg, misalnya, butuh 70 gram protein setiap hari, dan itu sama banyak dengan kecukupan protein orang dewasa 70 kg. Keliru kalau dada ayam buat ayah, bayi cuma diberi cekernya.
Diberitakan puluhan ribu anak di Nusa Tenggara Timur (NTT) tergolong tengkes (Kompas, 14/10). Ditenggarai kalau kekurangan air bersih penyebabnya. Karena akses air bersih jauh, anak harus memikul air, disangka penyebab tengkes. Bupati NTT menyebut tengkes dapat diatasi dengan kecukupan protein dari daun kelor, dan NTT punya banyak sapi.
Baca juga: 80.909 Kasus Tengkes di NTT, Air Bersih Penyebab Dominan
Sampai sekarang penyebab tengkes, merujuk Kemenkes, masih tetap sebab kekurangan gizi. Masih banyak ibu kekurangan gizi (maternal tengkes) sehingga bayi lahir kecil (BBLR), kualitas ASI rendah, selain tak cukup pengetahuan ibu bagaimana memberi makanan pengganti ASI. Setelah disapih, anak diberi makan seadanya, sekadar kerupuk atau kecap, dan itu pasti tidak mencukupi protein anak yang butuh protein 5 gram/kg berat badan. Akibat kekurangan asupan protein, rendah saja kualitas otak anak.
Gizi dua tahun pertama anak menentukan kecerdasannya. Tak ada kesempatan kedua merevisinya. Maka mencukupi protein anak sebelum umur dua tahun tidak boleh ditawar. Kita perlu melakukan sesuatu, jangan sampai akibat banyak keluarga papa tetap dalam kondisi tak berdaya, kemudian melahirkan ”generasi kerupuk”. Inilah generasi yang tak mampu bersaing dengan anak sepantaran di dunia. Presiden Jokowi merisaukan fakta ini, sejak tengkes terangkat menjadi masalah nasional.
Rumah tangga ”prosumen”
Kekurangan gizi keluarga di Indonesia rata-rata disebabkan kepapaan, selain kekurangtahuan gizi. Namun kepapaan masih bisa disiasati dengan edukasi, misal membangun rumah tangga ”prosumen” ala futurolog Alfin Toffler. Awal tahun 1980-an ia meramalkan kelak rumah tangga dunia perlu memenuhi kebutuhan makan harian dengan memproduksi sendiri sayur-mayur dan buah-buahan, serta budidaya sumber protein hewani di pekarangan rumah.
Program posyandu dapat disisipkan edukasi bagaimana setiap keluarga papa menanam sayur-mayur hidroponik, pepaya, pisang, jambu di pekarangan, memenuhi kebutuhan sayur-mayur dan buah-buahan untuk keluarga di pekarangan. Ini cara tepat meringankan biaya hidup selain tercukupi protein keluarga.
Kecukupan protein, khususnya protein hewani, diperoleh dari budidaya belut, lele cukup di gentong.
Kecukupan protein, khususnya protein hewani, diperoleh dari budidaya belut, lele cukup di gentong. Program bantuan sosial bagi keluarga kurang mampu, bisa dijadikan modal untuk membeli bibit sayur-mayur, bibit buah, belut, lele, atau itik dan ayam, untuk diambil telurnya.
Dengan cara demikian, kecukupan protein keluarga terpenuhi, dan ibu tidak berisiko menjadi ibu tengkes yang nanti melahirkan anak tengkes. Ini berarti, memaknai bantuan sosial bukan sebagai memberi ikan, melainkan memberi kail.
Cukup dengan modal, katakanlah Rp 500.000 untuk satu keluarga kurang mampu, membangun keluarga ”prosumen”. Kebutuhan gizi keluarga terpenuhi sehingga kasus tengkes bisa dicegah. Kasus tengkes tak mungkin bisa dipulihkan dengan cara apa pun, yang mungkin kita lakukan, dengan mencegahnya.
Baca juga: Berlari Mengejar Target Penurunan Tengkes
Tahun 1970-an pemerintah pernah mengolah ”bubuk ikan” untuk keperluan makanan tambahan bagi anak kekurangan gizi (kwashiorkor). Sesungguhnya ini satu solusi mudah dan tepat guna mengatasi kekurangan protein anak agar tidak menjadi korban tengkes.
Mengapa kita tidak melanjutkan pemberian sumber protein hewani terbaik ini, yang bisa awet disimpan dan dapat didistribusikan ke semua pelosok terpencil tempat anak-anak papa terancam tumbuh kembangnya. Kita kaya akan produk ikan laut, dan teknologi memproduksi ”bubuk ikan” pun sudah kita kuasai.
Handrawan Nadesul, Dokter, Penulis Buku, Motivator Kesehatan