Teh Sore di Teras Kolonialisme
Ketika ia akhirnya bersarang dalam perutmu, beruntung jika tetes kawa daun tidak bermetamorfosis menjadi kebencian, tetapi kesadaran baru tentang rasa keadilan.
Minum teh sore hari di teras rumah sambil memandang matahari terbenam, lalu ibu bercerita tentang banyak hal dalam menjalani hidup, bisa jadi sesuatu yang amat mengesankan. Bukan tidak mungkin cerita ibu sampai kepada pengalaman masa mudanya ketika bertemu ayah. Pelan-pelan, biasanya, ibu menghirup teh dari cangkir porselen yang berhias bunga. Ketika matahari cuma menyisakan samar sinar jingga di langit barat, hirupan teh ibu menyusup ke dasar ingatanmu. Dan, itulah yang terkenang ketika kita sama-sama dewasa kelak, bukan?
Dalam buku Leaf It to Tea: Exploring the Fascinating Culture of Indonesia Teas and Herbal Infusions, pegiat kuliner Santhi Serad bercerita, betapa kenangan semacam itu telah mendorong kecintaannya pada teh dan tanaman herbal lainnya. Mungkin, katanya, peristiwa itu tampak sederhana, tetapi ia telah menanamkan kecintaan yang dalam terhadap berbagai kekayaan yang dimiliki Indonesia. ”Itu juga yang mendorong aku menulis buku tentang teh. Aku jadikan kado ulang tahun pernikahan Mama dan Papa yang ke-43,” katanya suatu hari. Kami sedang dalam perjalanan menuju Jailolo, Maluku Utara, untuk mengeksplorasi potensi kuliner lokal.
Menurut cerita, awalnya tradisi ini dimulai oleh seorang bangsawan perempuan yang ingin minum teh antara pukul 16.00 dan pukul 17.00 sambil bersantai di teras
Sesungguhnya peristiwa minum teh di sore hari telah menjadi ritual yang ”sakral” bagi para bangsawan Inggris. Sampai kini mungkin kau masih kerap mendengar Ratu Elizabeth II suka minum teh jenis Earl Grey atau Assam dalam porselen asal China yang klasik. Tradisi yang kemudian disebut sebagai tea time ini telah dimulai sejak abad ke-17 saat daun teh dianggap sebagai daun ”ajaib” karena bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Menurut cerita, awalnya tradisi ini dimulai oleh seorang bangsawan perempuan yang ingin minum teh antara pukul 16.00 dan pukul 17.00 sambil bersantai di teras. Teh yang diseduh dalam poci keramik pada suhu tertentu kemudian dituangkan dalam cangkir porselen asal China.
Di sela menghirup daun teh, yang sebagian besar didatangkan dari tanah jajahan Inggris, seperti India dan Sri Lanka, para bangsawan menikmati kue-kue gurih dan manis. Kebiasaan itu kemudian perlahan-lahan menjadi tradisi dan gaya hidup di kalangan kaum bangsawan di Eropa, terutama Inggris, sampai hari ini. Bahwa menyeruput teh tak sekadar minum, tetapi bersangkut-paut dengan pergaulan, tata krama, dan bahkan kelas sosial.
Baca: Teh Dalam Negeri Mengais-ngais Narasi
Sebagaimana dilansir oleh Thedailybeast.com, Pangeran Harry dan Meghan Markle, setelah mengumumkan pertunangan mereka pada akhir November 2017, keduanya menemui Ratu Elizabeth II untuk minum teh bersama di Istana Buckingham. Acara minum teh bersama Ratu ini menjadi sebentuk perhatian khusus kepada orang-orang yang terpilih untuk kemudian dikenal secara lebih personal. Jadi, teh menjadi wahana ”mohon doa dan restu” kepada seseorang yang dihormati karena kedudukannya yang penting dalam strata sosial dan budaya.
Sebelum benar-benar menjadi ritual yang ”sakral” di Kerajaan Inggris Raya, menurut cerita, teh pertama kali ditemukan oleh Kaisar Shen Nong dari China, yang sampai kini dianggap sebagai bapak pertanian dan kedokteran. Pada tahun 2373 SM, kaisar sedang berkeliling mencari tanaman obat baru. Karena merasa lelah, kaisar beristirahat di bawah sebuah pohon besar. Para pembantunya merebus air dengan maksud menyiapkan obat lelah bagi kaisar. Tanpa diduga beberapa lembar daun melayang dan jatuh tepat di wadah minum kaisar. Bukan membuangnya, kaisar malah merebus daun-daun melayang tadi dan kemudian meminum airnya. Daun yang terasa agak pahit dan sepat itu, kata cerita, justru membuat tubuh kaisar segera pulih dari rasa lelah. Daun yang kaya akan nutrisi itu kemudian disebut sebagai daun teh.
Sejak peristiwa itu, daun teh menjadi daun paling dicari di seluruh daratan China. Pada abad ke-7, teh sudah menyebar sampai ke Korea dan Jepang. Bahkan, di kedua negara ini, tanaman teh diperlakukan sebagai tanaman yang menyusup ke dalam tata cara upacara yang berkelas. Ritual minum teh di Jepang, misalnya, disebut sebagai sado atau chado yang artinya jalan teh. Ritual ini dimulai dengan menumbuk teh hijau menjadi serbuk halus sebelum kemudian diseduh dalam mangkok mewah. Tata cara ritual minum teh di Jepang perlahan mejadi tradisi penghormatan terhadap para tamu yang dijamu oleh tuan rumah. Tata cara ini pula berkaitan erat dengan tata krama seorang tuan rumah untuk memperlakukan tamu-tamunya dengan penuh rasa takzim. Prinsip utamanya, kehormatan seorang tuan rumah diukur dari seberapa khusyuknya ia menyajikan teh kepada para tamunya.
Di luar soal betapa teh telah mencerminkan tingkat ”kebangsawanan” orang-orang Inggris dan ”keberadaban” bangsa Jepang, di Tanah Air sejarah teh seolah menyisakan keperihan. Sejak diberlakukan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa oleh pemerintah kolonial Belanda (1830-1870) oleh Gubernur Jenderal Johannes van Den Bosch, rakyat di tanah jajahan berada dalam kesengsaraan. Mereka harus menyediakan seperlima sampai setengah tanah-tanahnya ditanami tanaman wajib, seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Sebagaimana kemudian telah dicatat sejarah, tanam paksa membuat banyak rakyat (Hindia Belanda) menderita. Mereka dipaksa untuk bertani sampai jauh dari rumahnya di bawah todongan senjata tentara kolonial. Banyak yang kemudian sakit dan mati kelaparan. Selain sawah-sawah mereka di desa telantar, kelaparan pun kemudian merebak sampai ke pelosok-pelosok dusun karena ketiadaan padi.
Baca juga: Ekspedisi Teh Nusantara
Sebagaimana dicatat oleh Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya, selama empat dekade pemberlakuan cultuurstelsel, pemerintah kolonial Belanda telah mengeduk keuntungan 800 juta gulden lebih. Selain berhasil mengembalikan kondisi ekonomi pemerintah kolonial pascaperang Diponegoro (1825-1830), Belanda juga memboyong kekayaan bumi Nusantara ke negerinya. Banyak pembangunan di negeri Kincir Angin justru dibiayai dengan keringat dan darah rakyat di negeri jajahan. Salah satu jejak cultuurstelsel yang sampai kini melekat pada bangsa ini, antara lain, ialah kebiasaan minum teh kawa daun di daerah Sumatera Barat.
Menurut pemerhati budaya Tya Setiawati, hampir di seluruh daratan Sumatera Barat ditanami kopi dan teh, tanaman yang memiliki nilai ekspor tinggi, sebagaimana diharuskan oleh pemerintah kolonial. Rakyat Sumatera Barat harus mematuhi perintah jika tidak mau dihukum cambuk atau ditembak mati tentara. Dalam waktu beberapa tahun sejak cultuurstelsel diberlakukan, seluruh daratan menghijau oleh tanaman kopi dan teh.
Sialnya, semua buah kopi yang sudah ranum tak boleh sebiji pun dikonsumsi oleh rakyat. ”Rakyat tidak tahu rasa kopi yang mereka tanam sendiri karena seluruhnya untuk pemerintah kolonial,” kata Tya.
Dari kota Padang Panjang, kami kemudian bergerak ke pegunungan bernama Kota Baru. Di sisi ruas jalan mengarah ke Bukittinggi itu terdapat beberapa lapak pedagang yang menjajakan teh kawa daun. ”Ini buktinya orang Sumatera Barat cuma mengais-ngais daun kopi karena tidak mungkin menikmati kopi dari bijinya. Padahal, pada saat tanam paksa itu, daerah ini menjadi lumbung kopi nasional,” ujar pegiat teater ini.
Teh kawa daun sebenarnya berarti teh daun kopi, yang pertama-tama digadang-gadang sebagai pengganti kopi.
Kami berombongan, bersama anak-anak Teater Sakata, sebelum pandemi Covid-19 terjadi, akhirnya duduk bersila menunggu seduhan teh kawa daun dari Edi. Edi, pemuda asal Batusangkar, sudah beberapa tahun terakhir berjualan teh kawa daun di ruas jalan itu. Mungkin kau penasaran tentang teh kawa daun itu, kan? Teh kawa daun sebenarnya berarti teh daun kopi, yang pertama-tama digadang-gadang sebagai pengganti kopi. Masyarakat yang tak kebagian biji kopi, pada zaman dulu, tambah Tya, tak kehabisan akal. Mereka masih bisa mencecap rasa kopi dari daunnya.
Baca: Mengembalikan Kejayaan Teh Nusantara
Edi mengatakan, sebelum daun kopi siap diseruput sebagai teh, harus disangrai setidaknya selama 12 jam. ”Setelah benar-benar kering, barulah bisa direbus dalam air sampai mendidih. Nah, airnya itu yang disajikan sebagai teh. Lebih nikmat kalau diminum bersama lemang,” katanya. Benar saja, hampir semua lapak di daerah itu menyediakan lemang bakar, nasi ketan bersantan yang dibakar dalam sebumbung bambu.
Lemang itu juga, kata Tya, dulu menjadi bekal rakyat yang akan berangkat untuk melakukan tanam paksa. ”Makan lemang pagi hari bisa tahan seharian tidak perlu makan lagi,” katanya. Jadi, ketika kau nanti menyeruput teh kawa daun dan lemang di Kota Baru atau di wilayah-wilayah seperti Tanah Datar, Bukittinggi, dan Payakumbuh, kau seolah sedang menghirup teh di teras kolonialisme. Pelan-pelan penderitaan rakyat, yang tak tercatat dalam sejarah itu, tercecap di lidah kemudian mengalir lewat tenggorokan sebelum akhirnya mencapai lambung.
Realitas yang kau cecap dan rasakan dalam secawan kawa daun nyaris berkebalikan 180 derajat dengan kenikmatan menghirup teh di beranda Istana Buckingham oleh para kaum bangsawan. Ritual minum teh di Jepang telah lama menjadi ukuran kelas sosial seorang tuan rumah dalam menjamu para tetamunya. Sementara di wilayah jajahan seperti Indonesia (dulu Hindia Belanda), rakyat ”berhalusinasi” telah menghirup kopi, padahal semua bijinya dikirim ke negeri asal kolonialisme. Biji-biji kopi yang dihasilkan dari ”proyek” tanam paksa telah dipergunakan untuk melunasi utang-utang VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dan membangun berbagai fasilitas di negeri Belanda.
Apakah adil, kerja keras para petani dari berbagai belahan Nusantara, yang tak jarang diperjuangkan dengan darah, hasilnya justru dinikmati oleh rakyat kolonialis di negeri Belanda?
Teh kawa daun pada mulanya dianggap sebagai pengganti kopi. Coba kau bayangkan dari posisimu berdiri sekarang ini. Negeri yang digenjot untuk menghasilkan kopi dengan jalan kekerasan, lalu setelah kopi-kopi itu ranum, tak sebiji pun boleh di jatuh ke tangan para penanamnya. Apakah itu adil? Bahkan konon, jika para petani ketahuan menyembunyikan sebiji kopi, ia akan dihukum dengan dikucilkan ke desa yang jauh dan bekerja lebih keras lagi. Tak jarang di antara mereka tidak kembali ke kampung halamannya, entah mati atau menetap di tempat lain. Selamanya tak ada kabar.
Baca: Generasi Pemetik Teh yang Tak Lagi Bersemi di Lereng Gunung Kawi
Apakah adil, kerja keras para petani dari berbagai belahan Nusantara, yang tak jarang diperjuangkan dengan darah, hasilnya justru dinikmati oleh rakyat kolonialis di negeri Belanda? Tidak ada kata keadilan pada era kolonial, yang ada hanyalah nafsu menguasai dan mengeduk keuntungan sebesar-besarnya dari daerah koloni, termasuk mengeksploitasi rakyat untuk kemakmuran di negeri sendiri. Indonesia adalah salah satu korban kebiadaban kolonialisme selama berabad-abad. Barangkali teh kawa daun telah menjelma sebagai wahana pemutar waktu. Dalam setiap cawan tempurung yang kau hirup terdapat berjuta-juta keperihan rakyat yang tiba-tiba berjejal-jejal memasuki tenggorokanmu. Ketika ia akhirnya bersarang dalam perutmu, beruntung jika tetes kawa daun tidak bermetamorfosis menjadi kebencian, tetapi kesadaran baru tentang rasa keadilan.
Cukup adilkah jika kita menikmati secangkir teh di teras sebuah kafe tepi laut sambil mengantar matahari pulang? Apalagi di samping kita sedang duduk manis seseorang yang kita cintai, rasanya lengkap sudah kebahagiaan di dunia ini, bukan? Sementara di sisi lain, rakyat ”berhalusinasi” sedang menyeruput kopi dari selembar daun di pinggir jalan? Ah, aku benar-benar tak tahu, jangan-jangan apa yang sedang kutuliskan ini semuanya ”halu” belaka. Tapi, rasanya bukan….