Jika ditilik lebih jauh, kegagalan kita memanggungkan teh sebagai minuman kelas dunia berpangkal pada kemiskinan narasi. Padahal, Indonesia tak kekurangan narasi untuk memasarkan sekaligus mendongkrak haga teh.
Oleh
Mohammad Hilmi Faiq
·4 menit baca
Di pagi yang cerah, saya menyesap hangat teh purple haze koleksi Teh Canning Tea, sembari memberi makan ikan koi di kolam, Jumat (21/5/2021). Sejenak menikmati gerakan lincah ikan-ikan berebut makan sambil membiarkan beragam sensasi aroma dan hangat teh memenuhi rongga perasa lalu turun ke dada. Sungguh pagi yang indah.
Purple haze memberi kesan segar karena ada sedikit rasa grassy, lalu hangat lantaran ada rasa kopi yang menyusup pelan-pelan di antara sensasi buah. Sesaat, sensasi teh dan warna ini mengingatkan saya pada Kasmaran, yang menyuguhkan teh aromatik bercampur aroma bebungaan nan lembut, produksi Sila Tea. Dua-duanya cocok memanjakan lidah di pagi hari.
Saya lalu membuka telepon dan mendapati sebuah pesan video dari Sekretaris Eksekutif Asosiasi Teh Indonesia Atik Dharmadi yang menggambarkan belasan pemetik teh berbaris melingkar lengkap dengan pakaian rangkap-rangkap untuk mengusir dingin. Dengan latar belakang perkebunan teh yang masih dipuncaki kabut tipis, mereka menyanyikan lagu ”Indonesia Raya”. Pengirim video itu menambah takarir, ”Para pemetik teh bersetia pada teh dan Indonesia. Mari kita apresiasi kesetiaan mereka sebaik-baiknya.”
Video tadi menggambarkan dengan gamblang kondisi para petani dan pemetik teh yang jauh dari sejahtera. Di Kampung Cijeruk, sebuah kampung di Sukabumi, Jawa Barat, masih ada pemetik teh berupah Rp 4.600 hingga Rp 8.000 per hari. Upah yang bahkan tak cukup untuk membeli satu saset teh purple haze. Jutaan petani dan pemetik teh sudah lama hidup dalam kemiskinan.
Mereka adalah titik paling hulu dalam rantai produksi dan distribusi. Mereka menerima dampak paling nyata dari kegagalan kita memanggungkan teh sebagai minuman kelas dunia. Jika ditilik lebih jauh, kegagalan itu berpangkal pada kemiskinan narasi terhadap teh.
Coba sekarang kita teliti, berapa banyak orang yang paham tentang narasi atau dongeng menyangkut keagungan teh, nyaris tidak ada.
Mengapa narasi amat penting? Penerima Nobel sekaligus penulis ternama Robert J Shiller mengingatkan bahwa perasaan mempunyai peran penting dalam memengaruhi tindakan. Nah, narasi itulah yang mampu menampung perasaan atau emosi yang kemudian memengaruhi seseorang untuk membuat keputusan. Dalam hal ini keputusan untuk mengonsumsi teh atau tidak.
Dengan kata lain, tanpa narasi, sebagus apa pun komoditas yang kita tawarkan kalah dengan barang yang tidak berkualitas, tetapi memiliki narasi yang bagus. Anda mungkin ingat banyak orang berbondong-bondong ke Pantai Air Manis karena mendengar kabar ada patung Malin Kundang. Padahal, itu hanya seonggok semen. Ini contoh kelihaian membuat narasi.
Dalam konteks teh, kita tak kekurangan narasi. Kita punya sejarah upacara penyajian teh di Keraton Yogyakarta. Ada juga cerita gamelan Sari Oneng Parakan Salak yang pernah dibawa Belanda keliling Eropa memasarkan teh. Belanda menarasikan gamelan sebagai bagian penting dalam kebudayaan teh. Kemiskinan narasi mencerminkan kedangkalan imajinasi.
Syukurlah ada beberapa orang yang melangkah dan menciptakan narasi baru tentang teh. Misalnya, narasi tentang kesehatan, nasionalisme, kebinekaan, dan kearifan lokal. Mereka adalah pegiat teh yang sebagian besar anak muda.
Di garda depan ada ahli teh Ratna Somantri dan Iriana Ekasari, dua dari beberapa orang muda yang penuh semangat memajukan teh Indonesia dengan narasi-narasi baru. Termasuk memunculkan teh artisan yang dicampur dengan beragam dedaunan dan bebungaan. Sayang sekali suara mereka berdua berikut orang-orang yang sealiran ini tidak mendapat ruang yang cukup dalam lanskap industri teh kita.
Gambaran sederhananya, dalam kapasitas ekspor kita yang mencapai 49.038 ton tahun 2018 (cenderung turun dari 105.581 ton tahun 2000), jumlah teh artisan dengan narasi-narasi baru ini tak lebih dari setengah persennya. Kecil sekali. ”Mungkin setahun tidak lebih dari 200 ton, berupa teh murni yang bermutu premium maupun yang dicampur dengan empon-empon,” kata Iriana.
Joseph Goebbels, orang kepercayaan Adolf Hitler, lewat teknik Big Lie atau Argumentum ad nauseam menyebut bahwa kebohongan yang disampaikan berulang-ulang lama-lama dianggap sebagai kebenaran. Orang banyak fokus pada lema ”kebohongan”. Padahal, kata kucinya ada pada ”disampaikan berulang-ulang”.
Apa pun itu, kebohongan atau kebenaran, jika disampaikan berulang-ulang, lama-lama mudah diingat orang. Lama-lama orang akan minder jika tidak menjadi bagian. Nah, narasi tentang teh kita perlu diberi tempat yang cukup dan dipropagandakan secara berulang-ulang sehingga orang minder kalau tidak ngeteh.
Jika itu terwujud, harga teh akan naik. Tidak lagi Rp 25.000 sampai Rp 30.000 per kilogram sebagaimana harga di pelelangan. Harganya bisa sampai sepuluh kali lipatnya. Lalu, para petani dan pemetik teh akan turut menikmati hasilnya. Tentu tidak akan ada lagi pemetik teh berpakaian lusuh dan wajah kusut. Wajah mereka akan lebih ceria dan lebih semangat menyanyikan ”Indonesia Raya” karena hidup lebih sejahtera. Saya pun pasti lebih jenak menikmati teh sambil memberi makan ikan.