Mengembalikan Kejayaan Teh Nusantara
Ekspedisi Teh Nusantara ”Kompas” mengungkap para pegiat teh yang berupaya bangkit dari jurang kemerosotan industri teh nasional yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir.
Jika beberapa tahun lalu tren kegemaran minum kopi melahirkan berbagai kedai kopi yang dibungkus dengan narasi masing-masing, hal serupa juga terjadi pada minuman teh. Sama dengan kopi, tanaman teh (Camellia sinensis) juga memiliki sejarah panjang yang bisa diangkat menjadi narasi di balik minuman teh.
Judul | Laporan Jurnalistik Kompas: Ekspedisi Teh Nusantara |
Editor | Muhammad Hilmi Faiq |
Penerbit | Penerbit Buku Kompas |
Tahun terbit | 2021 |
Jumlah halaman | xiii + 146 halaman |
ISBN | 978-623-241-985-8 |
Cerita tentang era kejayaan teh Nusantara pada tahun 1800-an yang menjadi komoditas unggulan berupaya dikembalikan oleh para petani dan pegiat teh. Mereka berkolaborasi untuk menciptakan minuman teh premium dengan berbagai varian rasa yang dijual di kedai-kedai teh. Melalui kolaborasi ini, hubungan antara sektor hulu (petani) dan hilir (penjual) terkoneksi sehingga produksi teh dapat digenjot.
Upaya membangkitkan industri teh merupakan satu dari beberapa laporan jurnalistik Kompas yang ditulis dalam buku Ekspedisi Teh Nusantara (Penebit Buku Kompas, 2021). Ekspedisi dilakukan dengan menyusuri tanaman teh di Jawa dan Sumatera pada pertengahan Juni hingga awal Agustus 2019.
Ekspedisi tidak hanya memotret persoalan terkait industri teh yang kompleks, tetapi juga menggali kearifan lokal dan nilai kemanusiaan yang tumbuh pada komunitas masyarakat perkebunan teh.
Kisah unik tentang para wanita pemetik teh di perkebunan milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII yang kerap bergincu, misalnya, merupakan wujud kearifan lokal dalam upaya penghormatan terhadap sumber kehidupan mereka, yaitu kebun teh.
Contoh lain, tradisi kirab ketel uap di perkebunan teh Kaligua, Kabupaten Brebes, menjadi simbol kesuksesan kolaborasi antara pemerintah dan rakyat sehingga perkebunan teh tersebut bisa melintasi zaman hingga sekarang.
Gambaran kegetiran petani teh juga terungkap dalam ekspedisi ini. Kisah tentang bagaimana keluarga pemetik teh yang amat bergantung pada industri ini.
Pendapatan mereka yang berkisar Rp 600.000-Rp 800.000 per bulan harus bisa mereka bagi untuk kehidupan sehari-hari. Belum lagi keterbataan akses pendidikan bagi anak-anak mereka yang menyebabkan sebagian dari mereka putus sekolah.
Kesulitan juga dihadapi para pemilik perkebunan rakyat. Kualitas pupuk yang buruk, jalur distribusi yang dikuasai tengkulak, hingga harga yang tak kunjung membaik masih menjadi masalah pelik hingga kini.
Di balik segala hambatan dan persoalan yang ada, para pemetik ataupun pemilik perkebunan menganggap perkebunan teh sebagai ruang hidup yang bisa memberikan ketenangan dan kebersahajaan jika dibandingkan pergi ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Perkebunan teh juga menjadi tempat terbentuknya komunitas yang harmonis dari beragam kelompok etnis, seperti yang terjadi di Simalungun dan Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Upaya perlawanan terhadap jeratan tengkulak dan monopoli perusahaan-perusahaan besar, serta berbagai inovasi untuk mengerek kembali produksi teh Nusantara, menjadi bagian dari bab-bab lain buku berjumlah 146 halaman ini. Laporan Jurnalistik Kompas ini menunjukkan masih ada geliat semangat untuk mengembalikan kejayaan teh Nusantara. (Litbang Kompas)