Pelaku perundungan senang apabila menemukan orang yang terlihat rentan, lemah, bingung, kikuk, dan tidak percaya diri. Mari jangan biarkan perundungan terjadi pada kita dengan melatih percaya diri dan keberanian kita.
Oleh
Kristi Poerwandari
·4 menit baca
Kita melihat, mendengar, atau membaca berbagai berita atau informasi mengenai kekerasan dalam macam-macam bentuknya. Mungkin kita juga pernah mengalaminya sendiri. Berita terakhir yang membuat hati pilu adalah laporan kasus perundungan seksual yang dialami seorang karyawan Komisi Penyiaran Indonesia Pusat dari rekan-rekan kerjanya.
Pendampingan di lapangan dan penelitian-penelitian telah menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kekerasan, apalagi yang melibatkan hal seksual, sering berdampak parah kepada korbannya hingga jangka panjang.
Sekadar ilustrasi, Ybarra, Mitchell, Kosciw, Korchmaros (2015) mengolah data dari survei daring yang dilakukan di Amerika Serikat. Mereka berhasil mengolah lebih dari 5.500 data dari partisipan berusia 13 hingga 18 tahun. Temuannya antara lain bahwa korban perundungan dua kali lipat lebih sering teridentifikasi menghayati keinginan atau ide-ide bunuh diri dibandingkan mereka yang tidak mengalami. Mereka juga lebih banyak memperlihatkan gejala depresi dan harga diri yang rendah. Kita belum lagi membahas refleksi pendampingan dan temuan penelitian untuk kasus-kasus lain.
Prevensi dan intervensi kekerasan amat memerlukan kepedulian, sikap tanggap, dan komitmen berbagai pihak, serta perlu dilakukan serentak dari berbagai sisi. Seringnya masyarakat menyalahkan korban sesungguhnya menunjukkan ketidakpedulian dan ketidaksiapan banyak pihak—termasuk birokrasi dan institusi—menghadapi persoalan ini. Karena kompleksitasnya, hal tersebut mungkin dapat kita bahas dalam kesempatan lain.
Karena ruang yang terbatas, kali ini kita akan membahas bagaimana individu dapat mengambil langkah untuk menjaga diri demi meminimalkan terjadinya kekerasan. Mungkin kasus berbeda memerlukan langkah yang berbeda dan untuk sekarang kita akan membahas pencegahan kekerasan dalam relasi personal (utamanya dalam konteks pacaran dan perkawinan) serta perundungan.
Mencegah KDRT
”Kehilangan yang paling buruk adalah kehilangan diri sendiri karena itu tidak bisa tergantikan oleh apa pun,” demikian ungkapan seorang penyintas. Belum lama ini Yayasan Jaringan Relawan Independen (JaRI) mengadakan lomba menulis tentang ”Merdeka dari kekerasan”.
Sejumlah 53 tulisan terpilih mayoritas ditulis oleh penyintas sendiri dan sebagian kecil ditulis oleh orang terdekat yang mengetahui. Naskah sangat menyentuh, memberikan gambaran nyata dan membuat kita dapat banyak belajar tentang kompleksnya persoalan yang dihadapi korban atau penyintas.
Saya ingin mengutip tulisan salah satu penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang berbagi refleksinya mengenai bagaimana dapat mencegah hal tersebut terjadi. Butir-butir yang disampaikannya adalah kita perlu mengenali pasangan dengan lebih dalam, utamanya bagaimana dia mengekspresikan kemarahan.
Hal ini sangat sering kita lupakan apabila sedang berbunga-bunga jatuh cinta atau apabila kita takut terlambat menikah karena usia yang terus merangkak naik. Ibu ini mengingatkan kita untuk menabung sejak saat belum menikah agar dapat terus mandiri dan untuk berjaga-jaga kalau-kalau terjebak dalam hubungan yang tidak sehat. Ketika menikah, sebaiknya juga tetap bekerja untuk menjaga pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga.
Membuat perjanjian pranikah akan baik, termasuk membahas butir pencegahan KDRT. Apabila pasangan berlaku kasar, sebaiknya menunda mempunyai anak. Kita tidak dapat berkompromi dengan kekerasan. Karenanya, jika mengalami, seyogianya segera melakukan tindakan agar hal itu tidak berulang.
Baik juga untuk menjaga hubungan dengan keluarga dan teman-teman dekat sehingga dapat memperoleh dukungan sosial dari mereka. Jika telah merasa kewalahan atau tak mampu menghadapi, sebaiknya juga mencari pertolongan profesional. Secara khusus, ia menyampaikan ada layanan konseling online yang biayanya tidak mahal.
Menghindari perundungan
Ada tulisan dari Nancy Lin (2021) How to Avoid Being a Victim of Bullying, yang saya coba pilihkan dan ringkas. Lin mengingatkan, pelaku perundungan senang jika menemukan orang yang terlihat rentan, lemah, bingung, kikuk, dan tidak percaya diri. Apabila korban diam saja atau terlihat ketakutan, mereka makin senang dan kelakuannya makin menjadi-jadi.
Jadi, sebaiknya tidak menunjukkan kerentanan, tetapi mengesankan sikap percaya diri. Bagaimana caranya? Dengan berdiri dan berjalan tegak, berkontak mata, bicara tenang, dan mengobrol dengan santai saja. Pikirkan apa saja yang dapat membuat kita lebih percaya diri (misal soal busana) dan kita dapat berlatih tampil percaya diri di depan cermin.
Orang akan lebih mudah melakukan perundungan ketika kita sendiri. Jadi, meski kita seorang yang pemalu atau introvert, akan baik untuk belajar menjalin pertemanan dan saling memberi dukungan dengan teman lain serta beraktivitas bersama orang lain.
Apabila perundungan tetap terjadi, bersikaplah tenang dan hadapilah dengan tegak. Tetap tunjukkan kepercayaan diri, tatap mata pelaku, dan katakan dengan jelas dan tenang, misalnya: ”stop, cukup”, ”jangan lakukan itu”, atau ”jangan ganggu saya”. Apabila ia terus saja mengganggu, tetap tunjukkan sikap tenang dan tinggalkan lokasi dengan tegak.
Kita dapat melakukan langkah-langkah lain untuk menguatkan diri, misalnya berlatih dan memvisualisasikan cara-cara efektif menghadapi pelaku perundungan. Jika dapat mengambil kursus bela diri, akan lebih baik. Apabila hal tersebut sulit dilakukan, setidaknya kita dapat mempraktikkan cara verbal dan bahasa tubuh yang efektif untuk mengomunikasikan sikap percaya diri.
Pada akhirnya, apabila orang lain terus mengganggu, jangan biarkan mereka menghancurkan kehidupan kita. Mintalah bantuan pihak yang dapat dipercaya, laporkan kepada pihak otoritas (di sekolah atau di tempat kerja), dan jangan menyalahkan diri atas apa yang terjadi.
Kekerasan dan perundungan terjadi bukan karena kesalahan korban. Lembaga dan tokoh otoritas harus merespons dengan lebih baik untuk mencegah dan meminimalkan kejadiannya.