Perundungan Terjadi karena Ketimpangan Relasi Kuasa
Perundungan dinilai terjadi karena ketimpangan relasi kuasa. Adapun perundungan yang dilakukan beramai-ramai terjadi karena pelaku tidak berani menanggung akibatnya sendirian.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu faktor penyebab perundungan adalah adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Orang yang mengetahui terjadi perundungan harus turun tangan dan memberikan ruang aman bagi penyintas.
”Perundungan itu berkaitan dengan relasi kuasa. Individu menjadi rentan karena punya sesuatu yang dianggap sebagai kelemahan sehingga dia menjadi obyek perundungan,” kata Ketua Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia Eunike Sri Tyas Suci, Jumat (3/9/2021).
Ketimpangan relasi membuat pelaku lebih berkuasa, kemudian merasa leluasa menekan dan bertindak sewenang-wenang. Di sisi lain, hal ini membuat korban menjadi tidak berdaya walau pelakunya merupakan teman sebaya atau rekan kerja.
Selain itu, seseorang bisa dirundung karena dinilai tidak memenuhi konstruksi sosial masyarakat. Hal ini bisa terjadi pada siapa saja tanpa memandang usia dan jenis kelamin.
Sebelumnya, seorang karyawan laki-laki Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), MSA (33), melaporkan perundungan dan pelecehan seksual yang dilakukan tujuh rekan kerja laki-laki. Perundungan dialami sejak ia bekerja di KPI pada 2011, seperti dijadikan pesuruh.
MSA juga menerima kekerasan verbal hingga fisik. Pada 2015, pelaku ramai-ramai menyiksa dan mempermalukan secara fisik. Pelaku kemudian mendokumentasikan itu dalam bentuk foto. Hal tersebut membuat korban trauma.
Perundungan dan pelecehan masih berlanjut selama bertahun-tahun kemudian. Hal ini berdampak ke kondisi fisik MSA. Ia pernah jatuh sakit karena stres. Ia juga mengalami perubahan perilaku.
Trauma dan stres berkepanjangan akhirnya membuat kesehatan jiwanya terganggu. Psikiater menyatakan MSA mengalami gangguan stres pascatrauma atau post-traumatic stress disorder (PTSD).
MSA pernah melapor ke polisi dan Komnas HAM, hingga atasannya di kantor, tetapi belum menemukan penyelesaian. Ia akhirnya melapor lagi pada Kamis (2/9/2021). Adapun kesaksiannya soal perundungan dan pelecehan viral di media sosial.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara membenarkan aduan korban yang diajukan melalui surat elektronik pada 2017. Pihaknya akan menangani kasus ini jika korban melapor lagi. Sementara itu, KPI menyatakan akan menindak tegas pelaku apabila terbukti melakukan perundungan dan pelecehan.
Perundungan itu berkaitan dengan relasi kuasa. Individu menjadi rentan karena punya sesuatu yang dianggap sebagai kelemahan sehingga dia menjadi obyek perundungan.
Spesifik
Merespons kasus yang menimpa MSA, Eunike menilai bahwa ini kasus yang spesifik dan tidak biasa karena korban dan pelaku sama-sama lelaki. Selain itu, ini terjadi di kalangan laki-laki yang sudah dewasa.
Menurut dia, usia tidak berbanding lurus dengan kedewasaan psikologis seseorang. Adapun perundungan yang dilakukan beramai-ramai, kata Eunike, terjadi karena pelaku belum tentu berani melakukannya sendirian. Apabila dilakukan sendirian dan ketahuan, pelaku akan menerima akibatnya sendirian pula. Ini biasanya dihindari pelaku.
”Jika dilakukan beramai-ramai, identitas mereka akan tersembunyi menjadi identitas kelompok. Mereka tidak akan teridentifikasi sebagai individu,” ucapnya.
Di sisi lain, perundungan dan pelecehan yang dilakukan para pelaku terhadap MSA dinilai akan menghancurkan kepercayaan diri dan harga diri sebagai laki-laki. Padahal, sebagai laki-laki, harga diri umumnya penting. Hal ini akan memengaruhi perannya sebagai individu, suami, dan ayah.
Libatkan semua
Semua orang yang melihat atau mengetahui adanya perundungan punya kewajiban moral untuk turun tangan atau melapor ke polisi. Semua pihak juga didorong untuk tidak menjadi penonton atau bystander. Eunike mengatakan, hanya butuh satu orang untuk mendobrak kebisuan terhadap perundungan.
”Bisa dengan mencela pelaku di depan umum. Jika argumennya kuat, orang-orang lain akan ikut menolong atau membela. Jika korban tidak mendapat bantuan sama sekali, dalam kondisi ekstrem, korban bisa bunuh diri karena frustrasi,” katanya.
Orang-orang terdekat pun perlu mendukung penyintas untuk proses rehabilitasi. Selain mendengarkan curahan hati, mereka dapat membantu penyintas menangani masalah ini. Adapun polisi didorong untuk lebih sensitif terhadap perundungan dan pelecehan seksual, kemudian memahami bahwa ini dapat menimpa lelaki maupun perempuan.
Sementara itu, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan siap melindungi korban. LPSK juga mempertimbangkan untuk mendatangi korban, salah satunya untuk menjelaskan hak-haknya sebagai korban yang bisa diberikan negara melalui LPSK.