Perundungan di Tempat Kerja Bisa Mewujud dalam Berbagai Tindakan dan Perilaku
Korban perundungan umumnya akan mengalami tekanan psikologis, kelelahan, trauma, depresi, hingga muncul ide bunuh diri, khususnya bagi korban yang mengalami intimidasi fisik.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·4 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Pekerja berjalan menyusuri trotoar menuju tempat kerja di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (2/6/2021). Pekerja kantoran juga rentan mengalami perundungan di tempat kerja yang berdampak besar pada kesehatan mental dan fisik korban serta mereka yang menyaksikan perundungan.
Perundungan di tempat kerja masih menjadi isu yang terpinggirkan di Indonesia meskipun fenomena ini sering kali terjadi. Padahal, tindakan ini tidak hanya memengaruhi kesehatan mental dan fisik pekerja, tetapi juga bisa memengaruhi kualitas hubungan sosial dan relasi dalam keluarga. Bahkan, perilaku ini bisa mengurangi produktivitas organisasi atau perusahaan.
Perundungan merupakan bagian dari perilaku agresif yang dilakukan berulang dan ada ketidaksetaraan yang membuat korban sulit membela dirinya. Di tempat kerja, perilaku agresif itu dapat berupa tindakan kekerasan yang terus-menerus, komentar yang menyerang atau menggoda, ejekan, hingga dikucilkan dari rekan kerja. Tindakan itu dilakukan dengan didorong keinginan untuk mengendalikan orang lain.
Perundungan di tempat kerja sering disalahartikan sebagai bagian dari tindakan profesional atau disamarkan atas nama budaya kerja yang dimiliki masing-masing organisasi atau perusahaan. Padahal, perundungan dan profesionalitas memiliki batasan yang jelas.
Ika Adita Silviandri dan Avin Fadilla Helmi dalam ”Bulliying di Tempat Kerja di Indonesia” yang dipublikasikan di Buletin Psikologi Volume 26 No 2, 2018, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada menyebut perundungan di tempat kerja memiliki tiga ciri utama, yaitu perilaku yang menetap atau persisten, adanya kesenjangan pengaruh, serta ada kebencian, rasa tidak suka, dan tindakan bermusuhan.
Perilaku yang menetap itu ditandai dengan tindakan yang berulang, dalam jangka waktu tertentu, dan berpola. Adapun kesenjangan pengaruh bisa berupa ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban atau bisa juga berupa penggunaan kekuatan yang tidak sah untu mengganggu batas perilaku dalam organisasi.
Sementara rasa kebencian diwujudkan dalam intensionalitas atau adanya kesengajaan atas tindakan negatif yang diwujudkan dalam perilaku sistematis dan sengaja.
Karena itu, psikolog klinis dan dosen di Sekolah Bisnis dan Manajemen, Institut Teknologi Bandung, Henndy Ginting, Sabtu (4/9/2021), menegaskan evaluasi atas kinerja yang buruk atau memberikan umpan balik atas perilaku tidak disiplin atau pengawasan oleh pimpinan atau rekan kerja tidak bisa diketageorikan sebagai perundungan.
”Namun, kalau menggunakan kata-kata binatang untuk menegur seseorang walau masih terkait pekerjaan, itu melanggar kode etik berdasarkan nilai-nilai normatif dan moral meski kode etik itu tidak tertulis,” katanya.
Karena itu, meski perundungan bersifat subyektif atau bergantung pada persepsi korban dan pelaku, penggunaan kata-kata binatang bisa menjadi perundungan karena telah melewati batas norma.
”Seorang pemimpin akan memberikan umpan balik negatif secara individual, tetapi dia akan memuji anak buahnya di depan publik,” ujarnya menambahkan.
Arash Emamzadeh dalam artikelnya di Psychology Today, 22 April 2021, menyebut perundungan di tempat kerja memiliki banyak bentuk. Perundungan kadang mewujud dalam perilaku manipulasi dan pelecehan yang tidak berkaitan langsung dengan pekerjaan, seperti penolakan sosial, dikucilkan dalam pergaulan rekan kerja, dan dijadikan bahan gosip.
Namun, perundungan juga bisa terkait langsung dengan pekerjaan, seperti menahan atau tidak menyampaikan informasi sepenuhnya, memberi tugas yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, memberi pekerjaan dengan beban yang tidak masuk akal, menetapkan tenggat kerja yang tidak mungkin, serta menghalangi peluang promosi atau naik jabatan.
Bahkan, perundungan juga bisa terjadi dengan mengubah aturan main kerja secara serampangan atau acak serta melakukan tindakan yang menghalangi keberfungsian pekerja dengan menganggu atau melecehkan mereka secara terus-menerus.
Perundungan kadang mewujud dalam perilaku manipulasi dan pelecehan yang tidak berkaitan langsung dengan pekerjaan, seperti penolakan sosial, dikucilkan dalam pergaulan rekan kerja, dan dijadikan bahan gosip.
”Perundungan di tempat kerja dengan menggunakan taktik langsung, seperti mengancam, melempar barang, dan menyerang secara fisik, lebih jarang terjadi,” tulisnya.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Para pemuda yang tergabung dalam Komunitas Sudah Dong menggelar ”Aksi Solidaritas Anti Bullying” di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (23/7). Gerakan tersebut diharapkan bisa mengedukasi masyarakat untuk mencegah terjadinya perundungan atau ”bullying” diberbagai tempat ataupun media sosial.
Dampak mental dan fisik
Semua tindakan dehumanisasi itu berdampak besar bagi kesehatan mental dan fisik korban serta mereka yang menyaksikan perundungan tersebut. Korban umumnya akan mengalami tekanan psikologis, kelelahan, memicu trauma, depresi, hingga memunculkan ide bunuh diri, khususnya bagi korban yang mengalami intimidasi fisik.
Sementara rekan kerja yang melihat perundungan itu bisa mengalami depresi. Tak hanya itu, perundungan juga bisa berdampak pada ketegangan atau tidak solidnya hubungan dengan rekan kerja yang lain atau menjadi lebih waspada. Perilaku ini juga bisa memicu renggangnya hubungan dalam keluarga karena menjadikan keluarga sebagai pelampiasan atas beban yang dialami di tempat kerja.
Berbagai dampak perundungan pada kesehatan mental itu bisa memicu berbagai masalah kesehatan fisik. Perundungan kerja bisa membuat otot tegang, gangguan pada sistem muskuloskeletal (otot, jaringan ikat, srafa, tulang, dan sendi), memicu nyeri pada leher dan punggung, hingga meningkatkan risiko sejumpah penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung, stroke, dan diabetes melitus.
Namun, perundungan juga bisa terkait langsung dengan pekerjaan, seperti menahan atau tidak menyampaikan informasi sepenuhnya, memberi tugas yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, memberi pekerjaan dengan beban yang tidak masuk akal, menetapkan tenggat kerja yang tidak mungkin, serta menghalangi peluang promosi atau naik jabatan.
Perundungan di tempat kerja, lanjut Emamzadeh, otomatis akan mengikis sumber daya emosional pekerja. Akibatnya, kepuasan kerja mereka akan rendah hingga membuat kinerja mereka tidak optimal, bahkan cenderung menurun.
Selain itu, perundungan di tempat kerja juga akan meningkatkan potensi pengunduran diri atau pensiun dini pekerja. Semua itu akan memengaruhi performa organisasi atau perusahaan secara keseluruhan yang tentunya akan merugikan secara ekonomi.
Karena itu, perundungan di tempat kerja harus dicegah sejak dini. Korban perlu dilindungi dan dibela, bukan justru disalahkan atau dipojokkan. Sementara pelaku perlu disanksi secara tegas, tidak perlu menutupi perilaku mereka demi nama baik organisasi. Bagaimanapun, perundungan di tempat kerja adalah masalah laten yang berdampak buruk bagi semua pihak.