Penyembuhan Hepatitis C Kronik
Terapi pengobatan hepatitis C saat ini memiliki kesembuhan 90 persen. Terapi pengobatan ini diharapkan bisa diakses oleh para penderita sehingga Indonesia bisa mencapai bebas dari penyakit menular ini.
Saya sudah berumah tangga selama 15 tahun dan mempunyai dua anak berumur 14 dan 12 tahun. Suami saya terinfeksi HIV dan hepatitis C ketika dia masih remaja.
Dia beruntung dapat keluar dari kecanduan narkoba suntikan sewaktu masih SMU. Dia bangkit kembali dan berhasil menamatkan kuliah di perguruan tinggi.
Terapi HIV dengan obat antiretroviral dijalaninya dengan baik sehingga jumlah virus HIV-nya sudah tak terdeteksi. Dia dapat berumah tangga dan kami mempunyai anak dua orang. Baik saya sebagai istri maupun kedua anaknya tidak tertular HIV.
Namun, yang masih mengganjal adalah hepatitis C-nya. Kami mengetahui dari informasi kesehatan bahwa hepatitis C mudah menular melalui pemakaian jarum suntik bersama. Hepatitis C berlainan dengan hepatitis B, lebih sering menjadi kronik dan dalam jangka waktu 15 sampai 20 tahun dapat menjadi sirosis hati, bahkan kanker hati.
Sampai saat ini, pemerintah telah mengobati lebih dari 6.000 orang dengan hepatitis C. Hasilnya lebih dari 90 persen sembuh.
Sewaktu suami saya berumur 30 tahun, kami menabung untuk menjalani terapi hepatitis C. Ternyata waktu itu terapinya amat mahal, puluhan juta rupiah.
Kami mendengar bahwa pemerintah menyediakan terapi hepatitis C menggunakan suntikan interferon. Kami mendapat penjelasan bahwa hasilnya belum terlalu baik dan efek sampingnya lumayan berat. Kami berunding, dan suami saya ingin sekali sembuh dan ikut dalam terapi interferon ini.
Namun, setelah selesai terapi interferon, suami saya termasuk yang hasilnya kurang baik. Virus hepatitis C-nya masih ada dan cukup banyak. Suami saya merasa terpukul dan kemudian memutuskan sementara menunggu terapi yang lebih efektif.
Kemudian datanglah obat antivirus hepatitis C yang dapat diminum dan efek sampingnya ringan. Angka keberhasilan terapinya jauh lebih baik daripada interferon. Suami saya sangat bersemangat.
Meski obat tersebut belum tersedia di Indonesia dan harus diimpor dari India, dia ingin mengikuti terapi baru tersebut. Kami mencoba menghitung keseluruhan biaya terapi, termasuk pemeriksaan laboratorium dan penggunaan obat selama enam bulan. Jumlahnya waktu itu lebih dari Rp 30 juta. Tabungan kami belum mencukupi sehingga suami saya menunda terapi sambil mengumpulkan uang.
Tak berapa lama kami mendapat kabar yang menggembirakan bahwa pemerintah mempunyai program terapi hepatitis C gratis. Program ini masih terbatas pada sejumlah provinsi saja. Kami merasa amat senang dan segera mendaftarkan diri. Ternyata bukan hanya obatnya yang gratis, tetapi pemeriksaan laboratorium virus yang mahal itu pun juga ditanggung oleh program ini.
Suami saya mengikuti terapi ini dan dia dapat menjalaninya dengan baik. Dia tak merasakan efek samping yang berarti. Hasil terapi juga amat menggembirakan. Virus hepatitis C di tubuh suami saya bersih.
Baca juga: Lika-liku Penanganan Hepatitis di Masa Pandemi Covid-19
Namun, untuk meyakinkan benar-benar bersih, dokter menyuruh mengulang pemeriksaan jumlah virus hepatitis C tiga bulan lagi dan syukurlah hasilnya tetap bersih. Suami saya dinyatakan sembuh dari hepatitis C. Namun, dokter memberi informasi bahwa infeksi ulang dapat terjadi jika suami saya melakukan tindakan bersiko, seperti menggunakan jarum suntik bersama seperti zaman dulu.
Sebagai seorang bapak dari dua anak remaja, suami saya sudah merasa bertanggung jawab terhadap kesehatannya dan kesehatan kami sekeluarga. Sekarang suami saya bekerja, hepatitis C-nya sembuh, HIV-nya terkendali dengan obat antiretroviral yang cukup diminum sekali sehari. Kami menjadi lebih bersemangat menghadapi masa depan.
Pertanyaan saya, apakah terapi hepatitis C ini akan dapat dilaksanakan di Indonesia seperti terapi HIV, semua orang dapat menikmati obat tersebut tidak hanya di beberapa daerah tertentu saja? Terima kasih atas penjelasan Dokter.
N di J
Pada 2000 di negeri kita marak penggunaan narkoba suntikan di kalangan remaja. Banyak remaja tidak menyadari bahwa menggunakan narkoba suntikan dengan menggunakan jarum suntik bersama bersiko menularkan hepatitis C dan HIV. Semula remaja menggunakan narkoba suntikan karena mengikuti teman-teman. Namun, kemudian mereka mengalami adiksi (kecanduan) sehingga sulit melepaskan diri.
Kita kenal waktu itu banyak klinik dan rumah rehabilitasi yang berusaha membantu remaja keluar dari adiksi narkoba. Perjuangan untuk lepas dari adiksi tersebut merupakan perjuangan berat dan melelahkan. Cukup sering remaja yang sudah berhenti menyuntik narkoba kambuh kembali karena faktor psikologis atau pengaruh teman sebaya.
Untunglah suami Anda dapat lepas dari adiksi dan berhasil melanjutkan sekolah sehingga dapat lulus dari perguruan tinggi. Tak banyak yang bernasib baik seperti itu. Jumlah remaja yang meninggal atau cacat akibat penyuntikan narkoba di negeri kita cukup banyak.
Baca juga : Cegah Penularan, Vaksinasi Hepatitis pada Tenaga Kesehatan Dimulai 2022
Obat antiretroviral (ARV) di negeri kita telah diberikan dengan program subsidi penuh atau gratis sejak tahun 2005. Sampai sekarang sudah lebih dari 130.000 orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mendapat obat ARV ini.
Sementara itu, jumlah ODHA di Indonesia yang diperkirakan memerlukan obat ini sekitar 400 ribu orang lebih. Jadi, kita harus melakukan tes HIV secara aktif agar dapat menemukan orang yang terinfeksi HIV dan orang tersebut segera diberi obat ARV.
Obat ARV harus diminum secara teratur agar virus HIV dapat ditekan serendah mungkin sampai tak terdeteksi. Jika keadaan ini dapat dicapai maka orang dengan HIV tersebut akan berada dalam keadaan baik, tak punya infeksi oportunistik. Selain itu, dia juga dapat menikah dan punya anak tanpa menularkan kepada pasangan.
Tujuan terapi HIV adalah menekan virus agar seterusnya tak terdeteksi. Namun, jika obat ARV dihentikan, virus HIV dapat muncul kembali. Karena itulah, kita bukan mengenal istilah sembuh pada infeksi HIV, melainkan digunakan istilah terkendali.
Terapi hepatitis C kronik memang bertujuan menyembuhkan hepatitis C. Artinya, virus hepatitis C pada akhir terapi tidak ditemukan. Meski obat sudah dihentikan, virus tetap tidak ditemukan. Karena itulah, hasil terapi hepatitis C dianggap sebagai penyembuhan.
Terapi menggunakan obat antivirus hepatitis C yang ada sekarang ini memiliki efektivitas amat tinggi. Keberhasilan terapi mencapai lebih dari 90 persen.
Pada terapi suntikan interferon dulu keberhasilan terapi hanya sekitar 50 persen dan efek samping obat interferon cukup berat sehingga banyak yang berhenti di tengah jalan.
Sampai saat ini, pemerintah telah mengobati lebih dari 6.000 orang dengan hepatitis C. Hasilnya lebih dari 90 persen sembuh. Karena itu, terapi ini akan diteruskan oleh pemerintah dan seperti harapan Anda juga akan diperluas ke seluruh Indonesia.
Baca juga: Pengobatan Penyakit Hepatitis Tak Dapat Ditunda
Jumlah penderita hepatitis C kronik cukup banyak di negeri ini. Kita berharap agar program terapi hepatitis C ini dapat dipahami oleh masyarakat serta mereka yang memerlukannya dapat menjalaninya sehingga mendapat kesembuhan.
Saya ikut gembira atas kesembuhan hepatitis C suami Anda dan saya juga berharap terapi ARV suami Anda akan dapat dijalankan dengan baik, keadaan virus HIV tak ditemukan dapat terus bertahan. Saya berharap Anda sekeluarga akan tetap peduli pada kesehatan dan dapat menjaga kesehatan seluruh anggota keluarga dengan baik pada era pandemi Covid-19 ini.