Lika-liku Penanganan Hepatitis di Masa Pandemi Covid-19
Hari Hepatitis Sedunia 2021 yang mengangkat tema ”Hepatitis Can’t Wait” menjadi refleksi penting untuk segera menangani hepatitis di masa pandemi Covid-19.
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati
·3 menit baca
Peringatan Hari Hepatitis Internasional 28 Juli 2021 mengangkat tema ”Hepatitis Can’t Wait”. Laksana berkejaran dengan waktu, penanganan hepatitis di masa pandemi menghadapi tantangan keberadaannya sebagai komorbid Covid-19 serta layanan kesehatan yang kian terkonsentrasi menangani wabah korona.
Hepatitis merupakan penyakit peradangan organ hati yang diakibatkan oleh virus hepatitis, perlemakan, konsumsi obat-obatan, alkohol, serta parasit atau virus lain. Ragam hepatitis yang dikenal sekarang adalah A, B, C, D, dan E. Dari kelima jenis tersebut, hepatitis A, B, dan C masih menjadi endemis di Indonesia.
Tahapan penderita hepatitis dapat digolongkan dari yang ringan hingga kronis. Tahap paling rendah adalah hati dalam kondisi sehat walau terdapat virus, kemudian hepatitis akut, dan kronis. Pada fase yang lebih parah bahkan bisa mengakibatkan sirosis hingga kanker hati yang dapat berujung pada kematian.
Kebanyakan orang yang terpapar tidak menyadari tengah menderita hepatitis karena penyakit ini tidak menunjukkan gejala khusus dalam tubuh. Karakteristik penyakit yang demikian menempatkan hepatitis masuk dalam kategori ”silent killer”.
Meninjau karakter penyakit dan akibatnya yang dapat mengakibatkan kematian, upaya penanggulangan hepatitis harus dimulai sejak hulu melalui deteksi dini. Harapannya, dengan deteksi dini, dampak penyakit yang semakin parah dapat ditangani sejak awal.
Gerakan deteksi dini yang dimulai sejak enam tahun lalu semakin gencar dilakukan sejak 2020 dan menjadi tema Hari Hepatitis Internasional saat itu, yaitu ”Find the Missing Millions”. Tema itu dipilih mengingat pada 2020 sudah terjadi pandemi Covid-19 dan menyedot fokus layanan kesehatan untuk menanggulangi penularan virus korona.
Namun, bukan hanya karena wabah Covid-19 semata, urgensi deteksi dini juga dipicu tren melonjaknya paparan hepatitis sebelum pandemi terjadi. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dibuat Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa pada 2013 prevalensi hepatitis di Indonesia berada di angka 0,2.
Namun, prevalensi tersebut meningkat menjadi 0,4 pada 2018. Angka prevalensi dianggap baik apabila semakin mendekati nol. Artinya, risiko penularan hepatitis di Indonesia telah berlipat ganda. Peningkatan kasus ini menjadi kewaspadaan bagi Pemerintah Indonesia dalam menangani infeksi hepatitis.
Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi hepatitis B di Indonesia mencapai 7,1 persen atau berjumlah sekitar 18 juta penduduk. Tiga hal yang patut dicermati dalam skema penanganan hepatitis ini adalah sosialisasi bahaya penularan, penguatan deteksi dini, serta antisipasi hepatitis sebagai kormobid Covid-19.
Edukasi bahaya penularan merupakan langkah dasar menekan infeksi hepatitis. Sosialisasi masif perlu diberikan kepada masyarakat mengingat ada lima jenis hepatitis yang memiliki karakteristik penularan dan pencegahannya. Pengenalan bahaya penularan ini juga diperlukan untuk mencegah meluasnya hepatitis menjadi kejadian luar biasa.
Hepatitis A dan E menular melalui fecal oral atau mulut. Biasanya virus terbawa dalam makanan atau minuman yang tercemar virus. Bisa juga menular melalui penggunaan alat makan secara bersama-sama yang pencuciannya kurang bersih.
Jenis hepatitis A terutama sering muncul sebagai kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia. Salah satunya terjadi di Kabupaten Jember, Jawa Timur, pada akhir Desember 2019. Dalam kurun waktu empat bulan terakumulasi penularan sebanyak 217 kasus dan dinyatakan sebagai KLB oleh Pemerintah Kabupaten Jember.
Karakter penularan lain ditunjukkan oleh hepatitis B, C, dan E. Ketiga jenis hepatitis ini menular melalui kontaminasi cairan tubuh yang terdapat dalam darah, air mani, dan cairan vagina. Penularan juga dapat terjadi antara ibu dan anak dalam kandungan.
Dari ragam penularan ini, infeksi vertikal dari ibu kepada janin menjadi salah satu fokus pencegahan. Pasalnya, pembawa virus hepatitis yang tidak terdeteksi dapat menurunkan penyakit kepada anak. Ibu hamil yang terpapar virus hepatitis B memiliki peluang besar menularkan kepada anak (95 persen). Hal ini mendasari prioritas Germas untuk melakukan pelacakan dini hepatitis B terhadap ibu hamil.
Perkuat deteksi dini
Upaya deteksi dini sudah dilakukan Pemerintah Indonesia sejak 2015. Secara nasional, capaian program pelacakan ini selalu berada di atas target tahunan. Sebagai contoh, pada 2020, target pelaksanaan deteksi dini hepatitis B (DDHB) pada ibu hamil ditetapkan 85 persen. Capaian pelacakan yang dilakukan berhasil mencapai 91 persen.
Keberhasilan ini menggambarkan nyaris semua kota/kabupaten sudah menyediakan layanan DDHB. Merujuk data Kementerian Kesehatan, pada 2020 ibu hamil yang diperiksa mencapai 2,68 juta orang.
Program deteksi dini hepatitis pada ibu hamil terus dilakukan hingga saat ini. Sebanyak 905.307 ibu hamil sudah diperiksa hingga semester-1 2021. Dari jumlah yang diperiksa, terdapat 15.403 ibu hamil yang reaktif hepatitis dan menjalani penanganan lanjutan.
Namun, upaya pemeriksaan dini hepatitis pada tahun ini menemui sejumlah kendala. Jika dibandingkan dengan pemeriksaan pada semester 1-2020, jumlah ibu hamil yang diperiksa pada semester-1 2021 mengalami penurunan 29 persen.
Penurunan ini, menurut David Handojo Mulyono dari Lembaga Eijkman dan Ketua Komite Ahli Hepatitis, disebabkan oleh dua aspek. Pertama, karena tertundanya kunjungan ibu hamil ke fasilitas kesehatan untuk menjalani pemeriksaan. Aspek kedua, dari sisi penyedia layanan kesehatan. Selama pandemi, banyak penyedia layanan kesehatan membatasi jam kerja dan mengalihkan lebih banyak tugas tenaga kesehatan untuk melayani pasien Covid-19.
Selain itu, masih ada pekerjaan rumah terkait fasilitas deteksi dini di beberapa wilayah yang perlu diberi perhatian lebih. Laporan Profil Kesehatan Indonesia 2019 mengindikasikan beberapa provinsi masih belum sepenuhnya tuntas melakukan deteksi dini hepatitis. Terdapat lima provinsi yang memiliki capaian lebih dari rata-rata nasional, yaitu Maluku, NTT, Papua Barat, dan Sumatera Utara.
Capaian pelacakan terendah berada di Sumatrea Utara, yaitu 54,6 persen saja. Dari 33 kabupaten/kota di Sumut, baru 18 daerah yang menyediakan layanan deteksi dini hepatitis B. Akibatnya, dari sekitar 300.000 ibu hamil yang menjadi target sasaran program, hanya 7 persen yang dapat dicapai. Dengan demikian, terbuka lebar celah penularan virus hepatitis dari ibu kepada anak di wilayah ini.
Komorbid Covid-19
Sejumlah kendala di masa pandemi Covid-19 membuat laju pemeriksaan hepatitis menjadi sedikit terhambat. Padahal, upaya cepat pemeriksaan ini penting dilakukan mengingat potensi risiko yang dihadapi pasien hepatitis saat terpapar virus korona. Satgas Penanganan Covid-19 menyebutkan, hepatitis merupakan salah satu penyakit penyerta (komorbid) yang ditemukan dalam kasus penularan Covid-19 di Indonesia.
Bahaya Covid-19 ini karena virus korona tidak hanya menyerang paru-paru, tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lain, termasuk hati. Tulisan yang dimuat di jurnal hepatologi berjudul ”Covid-19: Abnormal Liver Function Tests” (2020) menunjukkan, kerusakan organ hati dapat terjadi akibat paparan langsung oleh virus korona dan dampak obat-obatan yang dikonsumsi selama menjalani pengobatan.
Kondisi penanganan hepatitis yang berdampingan dengan datangnya wabah Covid-19 menunjukkan gentingnya pencegahan dari sisi waktu. Hari Hepatitis Sedunia 2021 yang mengangkat tema ”Hepatitis Can’t Wait” menjadi catatan penting untuk segera menangani hepatitis.
Kampanye tersebut sekaligus menjadi bentuk apresiasi kepada berbagai pihak yang selama ini sudah berjuang keras mencegah hepatitis. Solidaritas dan kerja sama berbagai pihak, baik itu pemerintah, masyarakat, lembaga swadaya, maupun lembaga donor, menjadi sarana bersama untuk semakin cepat menahan meluasnya hepatitis di tengah mewabahnya Covid-19. (LITBANG KOMPAS)