HIV masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Pandemi Covid-19 menyebabkan layanan pengobatan HIV terganggu. Perlu terobosan untuk menjamin akses pengobatan dan mengatasi masalah ekonomi orang dengan HIV.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Human immunodeficiency virus atau HIV masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia yang utama dan merenggut setidaknya 36,3 juta nyawa.
Virus itu menyebabkan acquired immuno deficiency syndrome (AIDS), yakni kumpulan gejala defisiensi kekebalan tubuh pada manusia. Orang yang terinfeksi HIV disebut sebagai orang dengan HIV (ODHIV).
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga akhir 2020, ada 37,7 juta ODHIV dengan jumlah infeksi baru mencapai 1,5 juta orang per tahun. Kematian karena HIV tercatat 680.000 orang per tahun.
Sampai Maret 2021, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, dari perkiraan 543.100 ODHIV di Indonesia, sebanyak 427.201 orang (78,7 persen) sudah ditemukan. Dari jumlah itu, 144.632 orang (26,6 persen) mendapat pengobatan rutin dan baru 7,7 persen yang jumlah virus di tubuhnya tidak terdeteksi lagi.
Capaian ini sangat jauh dari target global yang lama, yakni akselerasi pelayanan HIV 90-90-90 pada tahun 2030. Artinya, 90 persen ODHIV tahu statusnya, 90 persen yang tahu statusnya menjalani pengobatan, dan 90 persen yang berobat, virus dalam tubuhnya sudah tidak terdeteksi.
Target baru yang dideklarasikan pada Pertemuan Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang HIV/AIDS, Juni lalu, adalah 95-95-95. Untuk mencapai hal itu, seluruh pemangku kepentingan di Indonesia harus bekerja keras.
Sampai kini belum ada obat untuk menyembuhkan infeksi HIV. Yang ada obat antiretroviral (ARV) untuk mencegah penyakit oportunis dan menekan jumlah virus, sehingga mengurangi risiko penularan. Obat ARV harus diminum seumur hidup. Jika putus obat, virus dalam tubuh akan bereplikasi serta bermutasi sehingga menimbulkan potensi resistensi terhadap obat.
Di Indonesia obat ARV disediakan gratis oleh pemerintah. Biaya pemeriksaan ditanggung bagi pemilik kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
Obat ARV harus diminum seumur hidup. Jika putus obat, virus dalam tubuh akan bereplikasi serta bermutasi sehingga menimbulkan potensi resistensi terhadap obat.
Di masa pandemi, pembatasan mobilitas guna menekan penularan dan bergesernya fokus layanan kesehatan untuk menangani Covid-19 menyebabkan layanan terkait HIV terganggu. Jam layanan dibatasi, klinik lapangan, dan penjangkauan ditiadakan.
Data Kemenkes, pada 2020, ada 72.133 ODHIV putus obat. Selain jenuh minum obat, ada masalah sosial ekonomi. Umumnya mereka bekerja di sektor informal, berdagang kecil-kecilan atau bekerja di salon. Pandemi menghantam keras sumber penghasilan mereka. Jangankan biaya transportasi ke fasilitas kesehatan, untuk makan sehari-hari saja sulit.
Bantuan sosial hanya diberikan kepada orang yang memiliki KTP. Padahal, kebanyakan populasi kunci adalah kaum terpinggirkan dan tidak memiliki KTP. Bisa hilang ketika diperdagangkan (pada pekerja seks) atau dibuang oleh keluarga (pada transpuan ataupun pecandu narkoba). Karena itu perlu terobosan agar populasi kunci mendapatkan KTP sehingga bisa mengakses layanan kesehatan dan bantuan sosial.
WHO menganjurkan pemberian obat ARV untuk 3-6 bulan agar ODHIV tidak harus sering pergi ke fasilitas kesehatan, Kemenkes mengatur pemberian obat untuk 2 bulan. Namun, keterbatasan pasokan obat membuat hal itu tidak bisa dilakukan di banyak daerah. Pemerintah pusat dan daerah perlu memastikan akses ODHIV terhadap tes, konsultasi dan pengobatan.