Stigma masih jadi batu rintangan yang amat besar untuk dihadapi orang-orang dengan HIV. Bahkan, stigma pun bisa berasal dari tenaga kesehatan yang harusnya ramah terhadap pasien.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Berdamai dengan diri sendiri atas status HIV yang dimiliki bukan perkara yang mudah bagi Ayu Oktariani (35). Stigma dan diskriminasi ekstrem sempat menjadi makanannya sehari-hari terutama saat awal ia terdiagnosis HIV pada 2009 lalu. Diskriminasi tersebut bahkan didapatkan dari tenaga kesehatan tempat ia berobat dulu.
”Ketika saya melakukan tes Mantoux untuk mengetahui infeksi tuberkulosis (TB), suster yang tahu status HIV saya sampai mengatakan bahwa saya tidak boleh menikah lagi karena saya bisa menularkan HIV ke orang lain. Padahal, kondisi saat itu suami saya sedang kritis karena terlambat ditangani sebelum akhirnya meninggal,” katanya.
Ketika awal terdiagnosis HIV, Ayu memiliki penyakit infeksi lain, seperti TB, hepatitis, dan herpes. Ia pun harus menjalani perawatan untuk penyakit tersebut sebelum mendapatkan pengobatan HIV.
Stigma dari tenaga kesehatan semakin membuat Ayu terpuruk. Ketakutan akan kematian juga sempat menghantui. Kondisi kesehatannya terus menurun. Berat badannya drop sampai hanya berkisar 35 kilogram dengan tingkat CD4 (kadar sel darah putih) 105 sel per milimeter kubik darah. Normalnya, kadar CD4 antara 500-1.200 sel per milimeter kubik.
Ketika itu, obat ARV atau antiretroviral hanya didapatkan pasien HIV yang sudah dalam kondisi buruk. Berbeda dengan sekarang, obat ARV bisa langsung diberikan pada setiap orang yang terdiagnosis HIV positif apa pun kondisinya. Obat ini amat penting karena bisa mengendalikan virus di dalam tubuh sampai tersupresi atau tidak terdeteksi lagi. Kualitas hidup orang dengan HIV pun bisa meningkat.
Ayu yang saat ini menjadi Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) menyampaikan, tidak banyak informasi yang bisa didapatkan saat awal ia terdiagnosis HIV. Manfaat obat ARV sampai efek samping yang ditimbulkan juga tidak disampaikan secara utuh oleh petugas kesehatan.
”Literasi terkait pengobatan sampai saat ini masih minim. Hal ini yang terkadang membuat orang dengan HIV tidak melanjutkan pengobatan atau bahkan kebingungan dengan efek samping yang dialami,” tuturnya.
Ketika saya melakukan tes Mantoux untuk mengetahui infeksi tuberkulosis (TB), suster yang tahu status HIV saya sampai mengatakan bahwa saya tidak boleh menikah lagi karena saya bisa menularkan HIV ke orang lain. Padahal, kondisi saat itu suami saya sedang kritis karena terlambat ditangani sebelum akhirnya meninggal.
Padahal, dengan pengobatan teratur, infeksi HIV bisa terkontrol. ”Tidak ada bedanya dengan penyakit hipertensi yang juga harus minum obat seumur hidup. Bedanya, orang dengan HIV yang minum obat itu masih mendapatkan stigma dan diskriminasi. Ini harus dihilangkan,” kata Ayu.
Ayu ingin memperlihatkan kepada orang lain bahwa kondisinya bisa membaik dengan mengonsumsi obat secara rutin. Ia pun membuktikan dengan mengonsumsi ARV rutin, orang dengan HIV bisa produktif menjalani berbagai aktivitas. Ketika berdaya, orang lain tidak akan meremehkan orang dengan HIV, termasuk perempuan dengan HIV.
Saat ini, ia sudah menikah dengan laki-laki yang tidak terinfeksi HIV dan ia tidak juga menularkan HIV kepada suaminya. Dengan kondisi viral load yang tersupresi, perempuan dengan HIV tetap bisa hamil tanpa harus menularkan HIV ke anak yang dikandungnya.
Ayu berharap negara bisa hadir untuk memastikan hak bagi orang dengan HIV. Hak itu tidak hanya pada akses obat, tetapi juga literasi terkait pengobatan. Edukasi dan informasi juga harus terus disampaikan secara masif. Selain untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi, edukasi ini juga penting untuk mencegah penularan HIV di masyarakat.
”Kasus baru infeksi HIV yang masih bertambah, juga diskriminasi yang masih terjadi sampai saat ini menandakan ada yang salah dengan sistem kesehatan di negara kita. Kondisi ini yang terus membuat saya gelisah sehingga harus terus melakukan advokasi dalam penanganan HIV di Indonesia,” ucap Ayu.
Kementerian Kesehatan sampai Maret 2021 mencatat, dari estimasi 543.100 orang dengan HIV di Indonesia, sebanyak 427.201 atau 78,7 persen sudah ditemukan. Dari jumlah itu, sebanyak 26,6 persen atau 144.632 pengidap HIV dalam pengobatan dan baru 7,7 persen orang dengan HIV yang virus di tubuhnya tak lagi terdeteksi atau dalam kondisi viral load tersupresi.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pemerintah terus berupaya meningkatkan akselerasi dan pengobatan bagi orang dengan HIV. Berbagai keterbatasan memang terjadi selama masa pandemi. Karena itu, perlu ada strategi khusus dalam upaya penanganan kasus HIV di masyarakat.
Koordinasi antara petugas kesehatan di pelayanan kesehatan bersama dengan kelompok pendamping atau lembaga swadaya masyarakat perlu diperkuat. Setiap daerah pun perlu melakukan inovasi. Di DKI Jakarta, misalnya, inovasi dilakukan dengan mengirim ARV untuk orang dengan dengan jasa kurir.
Inovasi Jak-Transportase juga sudah dikembangkan untuk pengiriman spesimen viral load. Selain itu, ada pula program Sehati atau Strategi Hilang dan Tautkan Kembali yang bertujuan untuk menelusuri orang dengan HIV yang putus pengobatan (lost follow up) dan orang dengan HIV baru.
”Inovasi ini diharapkan bisa diperluas ke daerah-daerah lain sehingga upaya pengendalian penularan HIV tetap bisa berjalan selama masa pandemi,” tutur Nadia.