Tes menjadi ujung tombak untuk mencari mereka dengan HIV positif yang diperkirakan di Indonesia ada 543.100 orang. Sayangnya, stigma dari masyarakat pada orang dengan HIV menghambat kesediaan orang menjalani tes.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Perluasan tes untuk menjangkau mereka yang berstatus HIV positif masih saja terbentur dinding stigma dari masyarakat. Padahal, tanpa penjangkauan yang luas dan ditindaklanjuti dengan pengobatan antiretroviral, mereka yang berstatus HIV positif berpotensi menularkan kepada orang lain.
Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Rumah Cemara, Raditya, Senin (26/7/2021), mengatakan, perluasan tes HIV, terutama pada populasi kunci, sangat penting. Tidak hanya untuk mengantisipasi penularan, tetapi agar ditindaklanjuti dengan pengobatan untuk mengendalikan penyakit ini.
Akan tetapi, sering sekali tes tidak maksimal karena stigma dan diskriminasi. ”Stigma terhadap orang dengan HIV masih sangat kuat. Ini salah satu faktor yang membuat orang takut mengikuti tes. Atau, setelah mengetahui positif (HIV), tidak dilanjutkan ke pengobatan karena malu membuka diri,” jelasnya.
Rumah Cemara merupakan organisasi berbasis komunitas yang mendampingi pengguna napza dan orang dengan HIV. Organisasi yang dibentuk pada 2003 ini berjuang menghapus stigma melalui advokasi, kampanye, serta program dukungan kepada komunitas rentan.
Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Jabar M Yudi Koharudin mengatakan, di tengah pandemi Covid-19, pihaknya tetap membuka akses pelayanan HIV dan menyediakan obat antiretroviral (ARV) di 27 kabupaten/kota di Jabar.
Hingga 2020 terdapat 49.474 kasus HIV dan 11.686 kasus AIDS di Jabar. Sementara capaian tes HIV menurut kelompok risiko pada periode Januari-Juni 2021 tercatat 47.645 tes dan 1.253 di antaranya terdeteksi positif.
Saat dihubungi dari Jakarta, akhir pekan lalu, seorang dengan HIV positif di Sentani, Papua, SK (23), mengatakan, meski HIV di Papua sudah menyebar di populasi umum, pemahaman masyarakat akan HIV masih kurang. Akibatnya, stigma diskriminasi juga masih kuat.
”Orang-orang menganggap orang dengan HIV bisa menularkan penyakitnya, tidak peduli apakah virusnya sudah tidak terdeteksi lagi dalam tubuhnya atau belum,” katanya.
Kuatnya stigma juga membuat SK tidak terbuka perihal status HIV-nya kepada orangtuanya. Hanya orang-orang terdekatnya yang mengetahui statusnya itu. Mereka mendukung SK sepenuhnya untuk menjalani pengobatan antiretroviral.
Stigma terhadap orang dengan HIV masih sangat kuat. Ini salah satu faktor yang membuat orang takut mengikuti tes.
Raditya menjelaskan, pihaknya fokus mengikis stigma itu dengan melibatkan orang dengan HIV dalam beragam kegiatan, seperti olahraga dan seni. Cara ini menjadi jalan bagi mereka keluar dari eksklusivitas dan berinteraksi dengan kelompok masyarakat lainnya.
”Kuncinya membuka diri. Tunjukkan kontribusi terhadap lingkungan sekitar tanpa harus menggurui,” ucapnya.
Sementara itu, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak mengatakan, pihaknya telah berupaya menekan infeksi baru. Namun, masih ada sejumlah kendala di lapangan, seperti stigma dan diskriminasi HIV/AIDS di masyarakat yang belum hilang sehingga membuat banyak orang berisiko tidak rutin melakukan tes HIV.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jatim, jumlah pasien HIV baru sampai dengan Juni 2021 sebanyak 2.526 orang. Jumlah temuan pasien HIV baru pada tahun 2020 menurun dibandingkan dengan tahun 2019 karena pandemi Covid-19.
Sementara secara kumulatif, jumlah pasien HIV di Jawa Timur mulai tahun 1989 sampai dengan Juni 2021 sebanyak 70.760 orang. Jumlah itu mencapai 114 persen dari estimasi orang dengan HIV di Jatim yang telah ditentukan berdasarkan Permodelan Nasional Tahun 2020. (TAM/NIK/ETA/ADH)