Dalam jangka panjang Indonesia harus membangun industri rendah karbon, antara lain dengan memanfaatkan sumber energi terbarukan yang bebas emisi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Uni Eropa kembali berkomitmen lingkungan dengan menerapkan mekanisme penyesuaian batas karbon (CBAM). Dampaknya pada negara eksportir dan Indonesia.
Upaya pembatasan karbon terkait dengan perubahan iklim, yang makin terlihat dampak buruknya di seluruh dunia. Saat ini, tidak hanya Indonesia yang mengalami hujan berlebihan saat seharusnya sudah memasuki musim kemarau.
Eropa dikejutkan dengan banjir dahsyat di musim panas, yang melanda wilayah Jerman bagian barat dan Belgia bagian timur. Banjir juga melanda Zhengzhou, ibukota Provinsi Henan di China tengah. Di India, banjir melanda kawasan Mumbai dan Goa, serta memicu tanah longsor.
Sebaliknya, Amerika Serikat (AS) dan Kanada dilanda gelombang panas dan menjadi salah satu faktor penyebab kematian 719 warga British Columbia, Kanada. Di Amerika Serikat, gelombang panas mendera 31 juta penduduk di sedikitnya delapan negara bagian termasuk Arizona, California, Nevada, dan Utah (Kompas, 26/7/2021).
Bumi memang berubah cepat, terutama sejak Revolusi Industri abad ke-18, ketika temuan teknologi membuat industri bergerak lebih cepat dan berproduksi lebih banyak. Namun, di sisi lain, Revolusi Industri membuat manusia mengekstrasi bahan bakar fosil secara masif, menghasilkan emisi karbon yang terjebak di atmosfer, akibatnya menaikkan suhu Bumi, dan akhirnya memicu perubahan iklim.
”Lingkungan menyusut saat kapital tumbuh. Namun, pertumbuhan pasar tidak mampu mengatasi dampak krisisnya", tulis Vandana Shiva dalam bukunya, Soil Not Oil, Environment Justice in an Age of Climate Crisis (2008). Ia menunjukkan dampak ketergantungan manusia terhadap sumber energi fosil yang tidak terbarukan, terutama minyak bumi.
Upaya mengatasi dampak buruk sebenarnya mulai berlangsung di KTT Stockholm 1972 dan menjadi topik serius dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro, 1992. Implementasi yang mengikat untuk mengurangi emisi karbon negara maju berwujud dalam Protokol Kyoto, 1997, kemudian diperluas untuk seluruh negara dalam Kesepakatan Paris 2015.
Eropa dikejutkan dengan banjir dahsyat di musim panas, yang melanda wilayah Jerman bagian barat dan Belgia bagian timur.
Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon (CBAM) yang ditetapkan Uni Eropa adalah bagian dari upaya pengurangan emisi karbon ini. Dalam skema CBAM, karbon yang terkandung dalam produk yang masuk Uni Eropa akan diukur. Bila melewati standar, eksportir kena denda. Indonesia termasuk 10 negara berkembang yang terdampak CBAM.
Di satu sisi, CBAM tampak ideal karena memikirkan upaya mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim. Di sisi lain, mekanisme ini bisa menjadi sistem perdagangan yang tidak adil dan tidak setara antara Uni Eropa dan negara berkembang. Oleh karena itu, Indonesia harus memanfaatkan ruang diplomasi untuk bernegosiasi, sekalipun terbatas.
Namun demikian, dalam jangka panjang Indonesia memang harus membangun industri rendah karbon. Termasuk, memanfaatkan sumber energi terbarukan yang bebas emisi.