Ambil Peluang dari Penerapan Kebijakan Karbon Uni Eropa
Pelaku industri Indonesia bisa mengambil peluang dari penerapan mekanisme penyesuaian batas karbon di Uni Eropa. Transisi harus dimulai dari sekarang, khususnya untuk produk-produk ekspor unggulan Indonesia ke Uni Eropa.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Uni Eropa berencana menerapkan mekanisme penyesuaian batas karbon atau carbon border adjustment mechanism/CBAM mulai 2023. Kebijakan itu diyakini berdampak terhadap ekspor Indonesia ke Uni Eropa. Namun, Indonesia dinilai bisa mengambil peluang darinya.
CBAM adalah pengukuran harga karbon yang terkandung dalam barang yang diimpor Uni Eropa (UE) sesuai Sistem Perdagangan Emisi Uni Eropa. Importir UE akan membeli sertifikat karbon sesuai harga karbon yang seharusnya dibayarkan seandainya barang diproduksi di bawah aturan penetapan harga karbon UE.
Sebaliknya, ketika produsen non-UE dapat menunjukkan bahwa mereka telah membayar harga untuk karbon yang digunakan dalam produksi, biaya terkait dapat dikurangkan sepenuhnya untuk importir UE.
Harga sertifikat dihitung berdasarkan harga lelang rata-rata mingguan tunjangan Sistem Perdagangan Emisi UE yang dinyatakan dalam euro per ton emisi CO2. Sistem pelaporan bagi importir akan mulai berlaku pada 2023 untuk produk dalam skema CBAM.
CBAM sebut sebagai tindakan yang bertujuan mendukung ambisi UE pada mitigasi iklim. Dalam skema CBAM, produk yang dikategorikan berisiko tinggi sebagai sumber kebocoran karbon terdiri dari besi dan baja, semen, pupuk, aluminium, serta pembangkit listrik.
Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) dalam laporan berjudul ”A European Union Carbon Border Adjustment Mechanism: Implications for developing countries” menyebutkan, Indonesia berada di daftar 10 besar negara berkembang yang terdampak penerapan CBAM. Dalam ekspor semen, Indonesia akan menanggung tarif ekuivalen 8,5 persen, ekspor besi dan baja 4,3 persen, aluminium 3,1 persen, dan pupuk 2 persen.
Menurut ekonom Fakultas Bisnis dan Ekonomi Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, ruang diplomasi perdagangan untuk menawar penerapan CBAM terbatas karena menyangkut kebijakan jangka panjang UE, khususnya terkait ambisi menjadi benua pertama yang mencapai iklim netral pada 2050.
”Namun, Indonesia dapat mengambil peluang dari penerapan kebijakan itu untuk membangun industri rendah karbon, ramah lingkungan, dan memenuhi prinsip ekonomi berkelanjutan melalui investasi, khususnya dengan UE. Skema investasi itu dimungkinkan terwujud dalam I-EU CEPA (Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dengan Uni Eropa) yang sedang dibahas,” tuturnya saat dihubungi, Minggu (25/7/2021).
Upaya membangun industri rendah karbon, kata Fithra, akan menjadi sinyal positif yang menunjukkan pergerakan Indonesia ke arah perekonomian hijau. Hal ini sejalan dengan tren investor global yang cenderung memilih proyek-proyek berbasis ekonomi lestari.
Indonesia dapat mengambil peluang dari penerapan kebijakan itu untuk membangun industri rendah karbon.
Meskipun demikian, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani khawatir penerapan CBAM dapat mengubah daya saing dan struktur ekspor nasional ke kawasan UE 3-5 tahun ke depan. CBAM berpotensi menyasar seluruh produk manufaktur yang proses produksinya menyumbang emisi karbon.
Mempertimbangkan kebijakan CBAM berlaku secara nondiskriminatif terhadap semua mitra dagang UE serta tidak kontradiksi dengan regulasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) hingga saat ini, dia menilai, Indonesia sulit berupaya untuk mengubahnya. ”Oleh sebab itu, yang bisa Indonesia lakukan ialah transisi teknologi produksi dari konvensional ke rendah karbon. Transisi harus dimulai dari sekarang hingga 2023, khususnya untuk produk-produk ekspor unggulan ke UE,” katanya.
Komisi Eropa menyatakan, Kesepakatan Hijau Eropa menetapkan jalur yang jelas untuk mewujudkan target ambisius UE mengurangi emisi karbon 55 persen dibandingkan dengan tingkat tahun 1990 pada 2030. ”Kami mengusulkan CBAM yang akan menyelaraskan harga karbon pada impor dengan yang berlaku di UE. Dengan menghormati komitmen kami kepada WTO, kebijakan ini akan memastikan ambisi iklim kami tidak dirusak oleh perusahaan asing yang tunduk pada persyaratan lingkungan yang lebih longgar. Selain itu, CBAM juga akan mendorong standar yang lebih hijau di luar perbatasan kami,” sebut Komisi Eropa dalam siaran persnya.