Indonesia Manfaatkan Fase Pemulihan untuk Transisi Ekonomi Hijau
Dari sisi fiskal, transisi ekonomi hijau dilakukan melalui pembebasan dan pengurangan pajak untuk produk-produk ramah lingkungan serta rencana pengenaan tarif emisi karbon.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan memanfaatkan fase pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 untuk kembali mengejar agenda transisi menuju terwujudnya ekonomi rendah karbon. Dukungan instrumen fiskal dan pendanaan global diperlukan untuk mengejar target pengurangan emisi karbon Indonesia hingga 41 persen.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, sejak 2016, pemerintah telah menyampaikan komitmen kontribusi nasional (nationally determined contribution/NDC) untuk penurunan emisi karbon sebesar 29 persen tanpa dukungan internasional dan 41 persen dengan dukungan internasional.
”Dalam waktu dekat, kami akan menggunakan fase pemulihan pascapandemi Covid-19 ini untuk mengejar agenda iklim dan ekonomi keberlanjutan,” kata Suahasil dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas, Minggu (25/7/2021).
Dalam waktu dekat, kami akan menggunakan fase pemulihan ini pascapandemi Covid-19 untuk mengejar agenda iklim dan ekonomi keberlanjutan.
Dari sisi fiskal, transisi ekonomi hijau dilakukan melalui pembebasan dan pengurangan pajak, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pajak impor, serta Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) atas kendaraan listrik.
Tahun depan, pemerintah juga berencana menerapkan pajak karbon sebagai salah satu upaya untuk mengurangi emisi karbon dalam Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Nantinya, produsen listrik berbasis energi fosil, seperti pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG), akan ikut terkena pajak karbon.
Dalam konferensi perubahan iklim internasional dengan tema ”A Just and Affordable Transition toward Net Zero”, Kamis (22/7/2021), Suahasil menyebut transisi Indonesia menjadi negara dengan ekonomi rendah karbon perlu dukungan dana dari berbagai pihak global. Pasalnya, biaya mengurangi emisi karbon sangat mahal.
Menurut Second Biennial Update Report, mitigasi perubahan iklim rata-rata memerlukan dana hingga Rp 266,2 triliun per tahun. Adapun pada periode 2016-2019, rata-rata alokasi anggaran perubahan iklim di APBN mencapai 4,1 persen per tahun.
Suahasil mengatakan, APBN berkontribusi 32,6 persen per tahun dari total kebutuhan biaya mitigasi, dengan realisasi rata-rata mencapai Rp 86,7 triliun. Terdapat dua perspektif penting untuk menuju ekonomi rendah karbon. Pertama terkait pendanaan, termasuk bantuan keuangan global yang berkelanjutan, dan kedua terkait teknologi untuk negara berkembang mengatasi perubahan iklim.
”Untuk itu, pemerintah perlu menjalin kemitraan dengan sektor swasta dan sektor lain agar menghasilkan pembiayaan yang kuat, tak hanya mengandalkan alokasi APBN setiap tahun,” ujarnya.
Dari sisi pembiayaan, pemerintah menerbitkan sukuk berkelanjutan (green sukuk) bertaraf global. Sukuk yang diterbitkan sejak tahun 2018 ini telah diterima oleh banyak investor. Sukuk juga merupakan cara Indonesia memperluas basis investor di luar negeri, utamanya dalam pendanaan hijau.
Hasil dari penerbitan sukuk dipakai untuk membangun transportasi berkelanjutan, mitigasi banjir, memperbaiki akses ke energi dari sumber terbarukan, pengelolaan limbah, serta sejumlah proyek lain di seluruh negeri yang mendukung keberlanjutan.
Dukungan ADB
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Bank Pembangunan Asia (ADB) Masatugu Asakawa mengatakan, lembaganya akan mendukung penuh Pemerintah Indonesia untuk bertransisi menuju ekonomi rendah karbon. Salah satu dukungan ADB adalah dengan menggulirkan pembiayaan energi baru terbarukan (EBT).
”ADB telah menyediakan pembiayaan untuk proyek geotermal dan energi surya. Kami juga berencana untuk mendirikan pusat ekonomi biru di wilayah Indonesia,” lanjutnya.
ADB sedikitnya akan menyediakan 80 miliar dollar AS hingga 2030 untuk membantu upaya negara-negara berkembang dalam melakukan transisi ekonomi. Asakawa mengatakan, ADB juga akan meningkatkan investasi pada program adaptasi dan ketahanan terhadap perubahan iklim sebesar 9 miliar dollar AS secara kumulatif dari 2019 sampai dengan 2024.
ADB telah menyediakan pembiayaan untuk proyek geotermal dan energi surya. Kami juga berencana untuk mendirikan pusat ekonomi biru di wilayah Indonesia.
Selain itu, lanjut Asakawa, ADB mendorong program sponsor dari sektor swasta untuk mengambangkan mekanisme transisi energi (energy transition mechanism/ETM) di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. ETM akan terdiri atas fasilitas yang mengatalisasi sumber pendanaan berdasarkan donor dan filantropi.
”ETM merupakan metode yang berbasis pasar dan adil untuk mempercepat transisi dari pembangkit tenaga batubara serta memulai pertumbuhan penggunaan energi terbarukan. Mekanisme ini memiliki potensi mengurangi emisi gas rumah kaca negara berkembang,” ujarnya.