Toleransi sejatinya menjadi bagian dari hidup masyarakat. Jika beberapa waktu terakhir ada masalah terkait keberagaman, hal itu lebih banyak dipicu oleh masalah lain, seperti politik.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Negara buat semua. Itulah salah satu petikan pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Negara buat semua, berarti semua warganya berhak mendapatkan pelayanan yang sama dari pemerintah. Hal itu ditegaskan dalam konstitusi bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Sejumlah upaya dibuat untuk mewujudkan hal itu. Pada 2017, misalnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Putusan itu membuat penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bisa mencantumkan kepercayaannya di kartu tanda penduduk. Namun, putusan itu belum dilaksanakan merata.
Masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, umpamanya, masih khawatir perkawinan mereka tidak diakui negara. Ketiadaan pengakuan ini bakal membuat mereka kesulitan mengurus kartu keluarga dan akta kelahiran jika memiliki anak. Dampak selanjutnya, mereka akan kesulitan mendapatkan fasilitas layanan negara lainnya (Kompas, 31/5/2021).
Perlakuan yang sama, tanpa melihat perbedaan, seperti terkait agama atau kepercayaan, sebenarnya banyak dipraktikkan masyarakat Indonesia. Di Kuningan terlihat, antara lain, dari warga Sunda Wiwitan yang bisa hidup bersama dengan masyarakat lain. Dalam konteks lebih luas, fenomena ini bisa dilihat dari masyarakat yang saling membantu saat pandemi. Toleransi sejatinya menjadi bagian dari hidup masyarakat.
Jika beberapa waktu terakhir ada masalah terkait keberagaman, hal itu lebih banyak dipicu oleh masalah lain, seperti politik. Sejumlah kontestasi politik memperlihatkan, isu perbedaan sering digunakan oleh politisi yang miskin ide dan kualitas untuk menggaet dukungan dari warga. Isu perbedaan juga sering dipakai oleh elite untuk menutupi ketidakmampuan mereka memenuhi janjinya kepada rakyat.
Kondisi itu semakin diperparah oleh perkembangan media sosial yang tak diikuti literasi yang cukup sehingga membuat sebagian masyarakat seperti hidup dalam kepompong.
Terkait hal itu, saat perayaan Hari Ulang Tahun Ke-9 Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1954, Soekarno mengingatkan, tanpa toleransi, demokrasi akan karam. Hal ini karena demokrasi adalah penjelmaan dari toleransi.
Saat itu, Soekarno juga mengingatkan, pemilu jangan menjadi arena pertempuran politik yang membahayakan keutuhan bangsa. Ia menyatakan, gejala karamnya semangat toleransi sudah muncul. Pidato itu disampaikan Soekarno sekitar satu tahun menjelang Pemilu 1955.
Pemilu 2024 masih sekitar tiga tahun lagi. Namun, melihat manuver sejumlah elite pada saat ini, rasanya pemilu sudah sangat dekat. Seperti dikatakan Soekarno, jangan pertaruhkan mimpi bersama kita sebagai bangsa untuk kepentingan politik. Indonesia untuk semua warganya.