Trauma Diskriminasi Panjang Para Penghayat Kepercayaan
Para penghayat kepercayaan rentan disisihkan karena masih ada stigma bahwa kepercayaan mereka adalah aliran sesat. Mereka kerap mengalami trauma karena mengalami diskriminasi berkepanjangan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Dianggap penganut aliran sesat bukan hal baru bagi penghayat Kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Diskriminasi sudah menjadi ”teman” para penghayat selama puluhan tahun. Mereka berharap situasi ini segera berubah.
Bertahun-tahun lalu, Ketua Puan Hayati Pusat Dian Jennie Cahyawati menikah secara agama. Sebagai penghayat kepercayaan, itu satu-satunya cara menikah secara legal. Pernikahan berbasis Kepercayaan terhadap Ketuhanan YME belum diakui saat itu. Pernikahan terpaksa dilakukan sambil mengucap kalimat yang tidak ia imani.
”Hal ini banyak dilakukan penghayat kepercayaan, termasuk saya. Itu sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi pada 2017,” kata Dian, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (26/5/2021). Saat itu, MK memutuskan untuk mencantumkan kepercayaan para penghayat di KTP elektronik.
Sulitnya mencatat pernikahan secara legal itu satu hal. Masih ada sederetan memori kelam para penghayat, mulai dari pembakaran tempat ibadah, penyegelan, perisakan di sekolah, hingga penolakan masyarakat.
Ada enam kali penolakan pemakaman jenazah penghayat kepercayaan pada periode 2010-2016. Mereka ditolak karena dianggap berbeda oleh masyarakat. (Dian Jennie Cahyawati)
Dian mencatat ada enam kali penolakan pemakaman jenazah penghayat kepercayaan pada periode 2010-2016. Mereka ditolak karena dianggap berbeda oleh masyarakat.
Hal serupa terjadi di lingkungan sosial. Mereka rentan disisihkan karena masih ada stigma bahwa kepercayaan mereka adalah aliran sesat.
”Stigma negatif di masyarakat masih kuat sehingga butuh keberanian untuk menghadapinya. Hingga kini, masih banyak penghayat kepercayaan yang belum siap mengisi kolom kepercayaan di KTP,” kata Dian.
Sejumlah keluarga pun ragu mewariskan nilai-nilai kepercayaan kepada generasi penerusnya. Di sisi lain, generasi muda pun bimbang menerima tongkat estafet tersebut. Sebab, masa depan mereka belum tentu terjamin dengan status sebagai penghayat kepercayaan.
”Saya pernah melaksanakan pendidikan kepercayaan di sanggar. Yang mengikutinya dari anak-anak sampai dewasa hanya 40 persen, sedangkan 60 persen lainnya mengikuti agama lain,” ucapnya.
Diskriminasi di lingkungan kerja juga dialami para penghayat. Dian menceritakan, ada penghayat yang tidak bisa naik pangkat karena kepercayaan yang dianutnya. Hal ini tidak hanya menyangkal hasil kerja individu, tetapi juga merugikan secara ekonomi.
Diskriminasi ini terjadi sejak beberapa dekade silam. Kenangan-kenangan buruk telanjur tertanam di benak para penghayat kepercayaan. Rasa inferior muncul, tumbuh subur, dan membuahkan ketakutan. Tidak sedikit penghayat kepercayaan yang akhirnya menyimpan rapat identitasnya.
Ketua Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) Pusat Naen Soeryono, Sabtu (29/5/2021), mengatakan, sejumlah penghayat Sapta Darma kesulitan melamar pekerjaan. Hal ini berlaku juga saat mendaftar di instansi pemerintah.
”Saya bilang, ’Sudahlah. Mengalah saja tidak apa-apa,’. Pemuda-pemuda Sapta Darma mengisi kolom agama di KTP karena masalah itu,” tutur Naen.
Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan, mengatasi diskriminasi harus dilakukan secara struktural dan kultural. Secara struktural, pemerintah perlu memastikan seluruh aparat negara paham dan mengakui keberadaan penghayat kepercayaan.
Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi untuk mencantumkan data penghayat kepercayaan di KTP elektronik pada 2017. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan penghayat kepercayaan dan pemeluk agama setara.
Secara kultural, literasi masyarakat tentang kelompok penghayat perlu ditingkatkan. Pertemuan antara masyarakat dan penghayat kepercayaan pun perlu diperbanyak agar terjadi dialog.
”Peran pemimpin-pemimpin daerah juga penting. Pemimpin diharapkan punya pandangan politik bahwa siapa pun mereka, apa pun keyakinannya, mereka adalah warga negara Indonesia. Pemimpin daerah bisa jadi representasi kehadiran negara,” kata Halili.