”Nyama Selam”, Saudara Islam Sekampung di Bali
Tuhan ditempatkan sebagai sebuah senyawa yang imanen. Dia berada pada wilayah kesadaran akal dan budi manusia. Oleh sebab itu, Dia melampaui sekat-sekat pikiran dan dogma-dogma.
Nama Ketut Syahruwardi Abbas secara semantik sangat unik. Ia bisa mengandung berbagai tafsir makna. Setidaknya nama ”ketut” berasal dari himpunan kata yang lazim dipakai dalam nama-nama orang Bali sebagai penanda urutan kelahiran saudara sekandung. Sementara kata ”syahruwardi abbas” barangkali secara fonemik berakar kata pada bahasa Arab. Pertemuan antara nama Bali dan Arab ini menjadi semacam penanda evolusi kultural yang telah berlangsung lama di Desa Pegayaman, Bali. Urutan penyambutan dan pelepasan Idul Fitri seperti ini sepenuhnya diadopsi dari tradisi di Bali.
Bukan sebuah kebetulan Ketut Syahruwardi Abbas menjadi sahabat. Kami sesama jurnalis yang bekerja di sebuah media lokal sekitar awal tahun 1990. Lebih luar biasa lagi, kami ”berguru” pada suhu yang sama: Umbu Landu Paranggi. Dua ikatan penting itulah yang membuat kami semakin merasa bersaudara. Orang-orang Bali sudah lama meletakkan posisi sosial dan kultural warga Desa Pegayaman sebagai nyama selam, saudara yang beragama Islam. Bahkan, penduduk Pegayaman seperti Ketut Syahruwardi Abbas merasa bahwa mereka ”bersuku” Bali, ditandai dengan penggunaan nama, bahasa, dan tradisi yang mereka praktikkan sehari-hari.
Baca juga: Umbu Landu Paranggi, Puisi Paling Surga di Dunia Ini
Lewat Ketut Abbas, aku kemudian berkenalan dengan nama-nama seperti Ketut Raji Jayadi, Putu Ayu Maziah, Nengah Panji Islam, Ketut M Agus Ahlan Mz, Nyoman Muhammad Saleh, Ketut M Asgor Ali, dan Wayan Makzum. Suatu hari aku mengunjungi Pegayaman di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, kira-kira 57 kilometer ke utara Bali tepat di saat Ramadhan dan jelang Idul Fitri. Kira-kira suasananya mirip seperti saat ini, ketika seluruh umat Islam sedang mempersiapkan diri menyambut datangnya Idul Fitri, Kamis (13/5/2021).
Pertama secara semiotik jelas nama-nama tadi menggoda. Bali yang mayoritas penduduknya memeluk Hindu sebagai keyakinan utama, dengan lokalitas penandaan namanya yang khas, menyisakan keunikan di Pegayaman. Sekitar 4.000 lebih warga di desa kecil yang asri ini memeluk Islam sebagai keyakinan, tetapi mengadopsi penanda nama-nama Bali dengan praktik religiositas dan kultural lokal.
Urutan penyambutan dan pelepasan Idul Fitri seperti ini sepenuhnya diadopsi dari tradisi di Bali.
Kedua, saat-saat menjelang Idul Fitri, kata Ketut Abbas, mereka menandai hari dengan nama-nama seperti penapean (tiga hari jelang hari raya), penyajaan (dua hari), penampahan (sehari), dan umanis (sehari sesudah hari raya). Urutan penyambutan dan pelepasan Idul Fitri seperti ini sepenuhnya diadopsi dari tradisi di Bali. Pada saat penapean, seluruh warga membuat tape ketan di rumah masing-masing. Pada saat penyajaan, warga mengolah ketan menjadi jaje uli atau jenis jajan lain. Lalu saat penampahan, warga saling ngejot, berbagi kebahagiaan lewat bahasa kue, baik kepada warga sesama Islam maupun lebih-lebih kepada nyama Bali, saudara Bali.
Ini tak sekadar toleransi, kata Ketut Abbas. Pegayaman bukan sekadar sebuah desa yang kebetulan penduduknya memeluk Islam, tetapi ia telah lahir menjadi ruang kebudayaan, tempat bertemunya Islam dan Bali. ”Karena Islam itu ajaran, bukan kebudayaan, tetapi ketika dia hidup di Bali, maka menjadi Bali. Kami menyerap hampir seluruh kebiasaan dan tradisi yang hidup di Bali karena kami orang Bali, yang kebetulan Islam,” kata Ketut Abbas.
Tradisi berhari raya dengan menggunakan tahapan-tahapan seperti tadi semakin jelas menjadi bahasa kultural yang lebih lentur dalam lingkungan sosial. Jadi, kata Ketut Abbas, maknanya sudah lebih dalam dari praktik toleransi, yang terkadang telah jatuh menjadi bahasa politik negara untuk merawat keberagaman. ”Kita lebih dalam dari sekadar toleransi, ya, kita saudara, nyama selam itu,” kata penyair yang sejak lama menetap di Denpasar itu.
Baca juga: Ada Apa dalam Sate Lilit?
Artefak kebudayaan yang menjadi penanda lain bertemunya Islam dan Bali dalam ruang kebudayaan yang subtil, eksistensi subak di desa yang berhawa sejuk itu. Hampir seluruh warga Pegayaman hidup dari pertanian dan perkebunan, yakni padi, kopi, dan cengkeh. Seluruh pengaturan mekanisme kerja agronomis, sosial, religius, dan kultural di Bali diatur oleh satu lembaga bernama subak. Subak diperkirakan telah muncul berdasarkan prasasti Pandak Bandung yang berangka tahun 1072 M.
UNESCO kemudian mengukuhkan keberadaan lembaga para petani ini pada 29 Juni 2012 dalam sidang ke-36 di St Petersburg, Rusia, sebagai warisan budaya dunia. Subak tak sekadar menjadi lembaga pengatur pembagian air dalam sistem irigasi yang rapi, adil, dan demokratis, tetapi menjadi penerjemahan filosofi Hindu-Bali bernama Tri Hita Karana.
Jika warga Hindu-Bali memiliki Pura Subak, sebagai pusat pusaran spiritualitas pertanian di sawah, warga Islam Pegayaman membangun mushala, yang berdampingan dengan pura.
Tri Hita Karana berupa relasi harmonis yang dibagi dalam tiga tingkatan hubungan: parahyangan (manusia dengan Tuhan), pawongan (manusia dengan manusia), dan palemahan (manusia dengan alam semesta). Seluruh misi ini diejawantahkan dalam praktik pembagian air di antara para petani, pengaturan musim tanam, pembuatan saluran irigasi, serta yang terpenting praktik religi seperti memohon air kepada Dewi Danu dan pemujaan kepada Dewi Sri.
Organisasi yang berbau Hindu-Bali ini, menurut Ketut Abbas, diadopsi sedemikian rupa oleh masyarakat Pegayaman yang beragama Islam. Sebagai bagian dari Bali, mereka harus beradaptasi secara kultural. Jika warga Hindu-Bali memiliki Pura Subak, sebagai pusat pusaran spiritualitas pertanian di sawah, warga Islam Pegayaman membangun mushala, yang berdampingan dengan pura.
”Jadi, jika ada upacara memohon air, misalnya, warga Islam berdoa di mushala dengan ayat-ayat dalam kitab suci kami,” kata Ketut Abbas.
Menurut Ketut Abbas, kesadaran bertemu dalam ruang kebudayaan itu telah membuat ajaran Hindu dan Islam saling berkelindan, dengan misi serupa: mengingat Tuhan sebagai pencipta dan pemberi Yang Maha Pemberi. Pada tingkatan ini sesungguhnya kesadaran ruang kebudayaan telah menjadi sebuah ajaran bersama yang transendental. Hindu dan Islam bertemu bukan karena kesepakatan, melainkan atas dasar kesepahaman dan penghayatan bahwa sifat-sifat Tuhan itu mengatasi wilayah-wilayah kelembagaan seperti subak, termasuk institusi agama.
Tuhan ditempatkan sebagai sebuah senyawa yang imanen. Dia berada pada wilayah kesadaran akal dan budi manusia. Oleh karena itu, Dia melampaui sekat-sekat pikiran dan dogma-dogma yang diajarkan lewat-lewat ayat-ayat atau kepercayaan pada setiap agama.
Baca juga: Meditasi Semesta
Sebab, betapapun, ujar Ketut Abbas, dengan sistem kerja dan praktik religi yang telah berlangsung berabad-abad, subak terbukti berhasil menata lingkungan sosial yang adil dan hormanis. ”Bukankah kehamornisan itu yang membuat kita tekun meniti di jalan agama?” katanya.
Ketut Abbas menuangkan deskripsi keharmonisan itu dalam sebuah sajak bertajuk ”Musim Pegayaman”. //…Embun di daun menetes ke ujung rambut/memaksa pikiran tuangkan segala ingatan/pada ketidakpahaman di gerak pohon/pada segala yang baik buah tangan leluhur/seperti kembang cempaka di ujung halaman/menebar wewangian. Seperti salam sapa/setiap orang yang kujumpa di sudut jalan…//
Sudah pasti puisi tak sekadar deskripsi. Ia meluncur dari kedalaman hati serta sumur-sumur inspirasi. Pegayaman bagi Ketut Abbas adalah sebuah puisi di mana kata dan kata saling bersinggungan untuk membangun dunia imajinasi. Dan pada kekayaan dunia imajinasi itulah kita senantiasa memetik makna hidup yang subtil. Sesuatu yang kemudian menopang semangat hidup bersaudara di antara sesama anak kampung di pedalaman Bali. Bahwa di situ ada agama yang berbeda, ia hadir bukan sebagai sekat pemisah walau secara ajaran memang terkadang ”berseberangan” secara diametral.
Agama di Pegayaman telah menjadi peneguhan sosial dan kultural. Kuncinya ada pada keterbukaan, ya, keterbukaan untuk menerima satu sama lain dalam kondisi yang nyaris muskil untuk ”disamakan”. ”Bukankah kita punya kesadaran kebudayaan, yang berinduk sama seperti diturunkan para leluhur,” kata Ketut Abbas.
Jurnalis senior lain yang pernah menjadi salah pemimpin redaksi di koran yang sama, di mana aku dan Ketut Abbas bernaung, Gde Aryantha Soethama, menerawang, sejak dulu Bali menjadi wilayah yang amat ”permisif” terhadap penetrasi kebudayaan luar. Selain sebutan nyama selam, ada pula istilah nak jawa. Nak jawa telah diterima selama berabad-abad untuk menyebut pendatang dari luar Pulau Bali. ”Pokoknya asal berasal dari luar Bali disebut nak jawa. Terserah mau dia dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, atau Lombok. Pokoknya disebut nak jawa,” ujar Gde Aryantha.
Ungkapan nak jawa ini, tambah cerpenis dan penulis kebudayaan ini, menjadi dasar pengakuan eksistensi ”orang luar” sebagai saudara.
Ungkapan ini, tambah dia, bukan untuk ”mengasingkan” orang luar, tetapi sekadar menjadi pembeda bahwa sejak dulu orang Bali terbiasa hidup berdampingan dengan orang luar. Walau dalam pengertian nak jawa terdapat konotasi ”mereka yang tidak memeluk Hindu”, orang Bali tidak pernah membuat pembedaan berdasarkan agama. ”Itu dianggap kurang sopan,” kata Gde Aryantha.
Baca juga: Menanam Benih Keindahan
Ungkapan nak jawa ini, tambah cerpenis dan penulis kebudayaan ini, menjadi dasar pengakuan eksistensi ”orang luar” sebagai saudara. Oleh karena itu, muncullah ungkapan seperti nyama selam. ”Tidak disebut sebagaimana aslinya ”Islam”, tetapi ”selam”, semacam penghalusan agar tidak bermakna SARA,” ujar Gde Aryantha.
Pengukuhan terhadap pengakuan sebagai nyama selam itu, diejawantahkan dalam tradisi ngejot, saling berbagi di hari raya. Apa pun yang sedang kita bikin dan miliki di rumah, terutama makanan, sebelum benar-benar disantap, dijadikan “hantaran” dahulu kepada para tetangga. ”Terutama tetangga yang beragama lain sehingga hari raya itu dirayakan bareng,” kata Gde Aryantha.
Tradisi ngejot sendiri, sepengetahuanku, diturunkan dari ajaran saiban, kebiasaan menghaturkan sesaji kecil ke tempat-tempat yang dinilai suci sebagai ungkapan terima kasih atas berkat hari ini dan hari-hari berikutnya. Saiban biasanya disusun dari nasi dan lauk, yang hari ini dinikmati oleh seluruh keluarga. Sebelum anggota keluarga menyantap hidangan itu, dihaturkan dahulu kepada Sang Maha Pemberi.
Tradisi yang diturunkan para leluhur Bali selama berabad-abad ini, telah memberi rasa nyaman ”pendatang” dari Jawa dan Bugis, yang kini menghuni Desa Pegayaman.
Inti ajarannya, apa yang kita nikmati hari ini, tidak mungkin ada tanpa anugerah dari Sang Maha Pemberi. Kau dan aku tahu, bahwa Tuhan tidak membutuhkan apa pun, apalagi pemberian nasi dan lauk dari manusia. Akan tetapi, sesajian itu sebagai bukti bahwa apa yang kau dapatkan hari ini berasal dari kerja kerasmu sebagai manusia serta kemurahan hati Tuhan (alam semesta), yang terus menyediakan makanan secara berlimpah.
Tradisi yang diturunkan para leluhur Bali selama berabad-abad ini, telah memberi rasa nyaman ”pendatang” dari Jawa dan Bugis, yang kini menghuni Desa Pegayaman. Sungguh sudah pada galibnya, orang-orang seperti Ketut Abbas dan warga Pegayaman lainnya, merasa menjadi bagian “dalam” dari akselerasi kebudayaan dan perubahan zaman di Bali. Bahkan, saking pekat dan subtil ”perasaan Bali” itu, para leluhur Pegayaman memberi penanda keturunan mereka dengan nama-nama yang unik, seperti Ketut Syahruwardi Abbas dan Putu Ayu Maziah.
Baca juga: Inkulturasi Sebatang Bambu
Begitu kau nanti membaca nama-nama unik ini, pikiranmu akan langsung mengacu pada sebuah ruang kebudayaan yang telah lama menjadi tempat praktik toleransi dan akulturasi, jauh sebelum kata itu menjadi jargon-jargon politik negara. Kalau kau juga membaca-baca ulang namaku nanti, bukankah juga mencerminkan hal yang serupa?