Umbu Landu Paranggi, Puisi Paling Surga di Dunia Ini
Sejak memilih hidup sebagai penyair, Umbu menjadikan puisi jalan keimanan, laku hidup yang menjadikannya ”raja” sekaligus ”budak” dari kata-kata. Ia memperlakukan ”kata” sebagai kerikil dan menggosoknya hingga berkilau.
Sejak Selasa (6/4/2021) dini hari, langit Denpasar muram. Pagi hari bahkan gerimis menitik di sepanjang Jalan Bypass Ngurah Rai. Ada tanda-tanda akan turun hujan. Aku tergiang-ngiang rekaman percakapan penyair Warih Wisatsana dengan mahaguru para penyair, Umbu Landu Paranggi.
”Halo, Bung…,” sapa Warih dari seberang telepon.
Tak ada jawaban walau telepon sudah diserahkan oleh Dwi, seorang asisten, kepada Umbu.
”Kondisi Bung, bagaimana?” tanya Warih lagi.
”Yak…,” terdengar suara Umbu lemah.
”Sehat?”
”Lagi sedang masa transisi, apakah cukup tiga hari ataukah seminggu…(suaranya kabur). Sorga paling sorga paling sorga di dunia saat ini. Saya sedang mempersiapkan diri tinggal di sana apakah tiga hari atau satu minggu…,” kata Umbu. Suaranya patah-patah seperti dipaksakan.
”Tapi Bung sehat?”
”Oh, saya ini masuk Jogja tepat… sudah diajarkan semua. Jadi sudah tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, dikhawatirkan itu kan karena harus menjaga kemerdekaan… okay…,” ujar Umbu. Meskipun sambungan telepon belum terputus, Umbu seperti menahan rasa sakit yang berlarat-larat sehingga ia tak mampu berbicara lagi.
Kata-kata Umbu yang dikirim Warih di hari Sabtu (3/4/2021) sore seperti melayang-layang dan menjelma di lobi gedung rumah sakit. ”Saya sedang mempersiapkan diri tinggal di sana, apakah tiga hari ataukah seminggu….”
Ketika benar-benar tiba di depan RS Bali Mandara, Denpasar, mataku nanar menatap gapura rumah sakit. Bahkan beberapa kali salah masuk jalur menuju tempat parkir di halaman samping gedung. Kata-kata Umbu yang dikirim Warih di hari Sabtu (3/4/2021) sore seperti melayang-layang dan menjelma di lobi gedung rumah sakit. ”Saya sedang mempersiapkan diri tinggal di sana, apakah tiga hari ataukah seminggu….”
Benar, Umbu hanya sempat dirawat tiga hari sejak hari Sabtu malam sampai Selasa dini hari pukul 03.55 Wita ia dinyatakan berpulang. Tindakan cuci darah yang coba dilakukan tim dokter, Senin (5/4/2021), urung dilakukan karena tekanan darahnya tibat-tiba melonjak tinggi.
Sejak itu pula, tim dokter yang merawatnya sudah berbisik kepada para penyair yang mengantarkan Umbu ke rumah sakit. ”Kondisinya kritis, mungkin berat untuk bertahan,” kata seorang dokter, sebagaimana diucapkan oleh penyair Ketut Syahruwardi Abbas.
Jadi, sejak Senin malam sesungguhnya para penyair sudah bersiap diri untuk menerima kenyataan terburuk: Umbu benar-benar pergi untuk selamanya.
Baca juga : Tikus Mati di Lumbung Padi
Meskipun begitu, kami semua tetap berharap ada mukjizat, cahaya yang memberi kehidupan baru bagi Umbu. Rupanya, doa hanyalah upaya untuk menenangkan batin diri sendiri karena takdir sering kali terjadi tanpa kompromi.
Penyair berjuluk ”Presiden Maliboro” itu pernah menulis begini: //dengan mencintai/puisi-puisi ini/sukma dari sukmaku/terbukalah medan laga/sekaligus kubu/hidup takkan pernah aman/kapan dan di mana pun/selamanya terancam bahaya/dan kebenaran sunyi itu/penawar duka bersahaja/selalu risau mengembara/mustahil seperti misteri/bayang-bayang rahasia/bayang-bayang bersilangan/bayang lintas bayang/perlintasanku//dengan mempercayai/kata kata kata/yang kutulis ini/jiwa dari jiwaku/jadilah raja diraja/sekaligus budak belian/sebuah kerajaan/purbani/lebih dari nafasku/bernama senantiasa/nasibmu/umbu landu paranggi (”Sajak Kecil”, 1970).
Sejak mula memilih hidup sebagai penyair, Umbu menjadikan puisi jalan keimanan, laku hidup yang telah menjadikannya ”raja” sekaligus ”budak” dari kata-kata. Ia memperlakukan ”kata” sebagai kerikil dari jalanan dan oleh karenanya ia harus terus membawanya berjalan, kemudian menggosok-gosoknya sampai benar-benar berkilau.
Berjalan dalam pengertian Umbu adalah laku menggelandang dan menjadikan diri penuh misteri sehingga menjadi rumah asri bagi kata-kata. Oleh sebab itulah, dalam puisinya yang paling mashyur Umbu bilang: //dengan mata pena kugali-gali seluruh diriku/dengan helai-helai kertas kututup nganga luka-lukaku/kupancing udara di dalam dengan angin tangkapanku/begitulah, kutulis nyawaMu senyawa-nyawaku// (”Upacara XXII”, 1978).
Kata-kata dan puisi telah menjadi jalan kebatinan untuk terus-menerus menemukan apa yang sering kali dikumandangkannya, sangkan paraning dumadi. ”Hidup ini selalu mempersiapkan diri untuk kembali kepada-Nya. Itu kan memang tujuan hidup sejati. Nah, puisi adalah jalan keindahan untuk menemukan diri yang sejati. Diri yang sejati itulah rasa ketuhanan kita,” kata Umbu kepadaku dalam banyak obrolan kami.
Baca juga : Keledai Dungu Memanggul Beban
Ia rela menjadi ”budak belian” dari kata-kata, dengan hidup bersusah-susah, melampaui penderitaan demi penderitaan, serta hidup bersunyi-sunyi dengan menjauhi segala kemewahan.
Di kamar Umbu selalu berjejal-jejal tumpukan koran-koran bekas, di mana kata-kata ”bergelimpangan” seperti tumpukan kerikil yang suatu hari diasahnya menjadi bait-bait puisi. Tak jarang para muridnya menemukan lintingan-lintingan kertas berisi coretan-coretan, entah itu sketsa atau kata-kata tak beraturan.
Laku Umbu yang di luar kebiasaan ini sering kali memancing komentar miring, yang menganggapnya sebagai bohemian yang terlambat lahir. Masa-masa menggelandang sebagaimana dahulu dilakoni oleh Chairil Anwar oleh banyak pengamat dianggap sudah selesai.
Sekarang waktunya penyair sejajar dengan para intelektual yang biasa bercuap-cuap di media sosial. Tak jarang tuduhan itu menjadi ekstrem dan menganggap Umbu sebagai ”fosil”, manusia yang telah tertimbun dalam lapisan tanah masa silam.
Umbu bergeming. Ia tetap melakukan ”tugasnya” membaca berkilo-kilo puisi yang dikirim oleh para penyair dari seluruh Tanah Air. Sering kali ia bercerita tentang seorang penyair muda yang barusan dikunjunginya di suatu daerah. Biasanya dengan bangga ia katakan bahwa ia telah memberinya hadiah buku-buku puisi dari para penyair Indonesia yang dikaguminya.
Ketika halaman budaya Bali Post Minggu ditutup, Umbu menelepon dari Denpasar. Ia mengatakan tak mau menyerah dan akan berusaha mencari wilayah garapan baru untuk menampung gelegak berpuisi para penulis kita.
Baca juga : ”Ghosting” dan Amukan Calon Arang
Tak berapa lama ia menemui Pemimpin Redaksi Harian Nusa I Ketut Naria bersama Warih Wisatsana. Rupanya, pertemuan itu berbuah baik. Naria memberikan setengah halaman pada hari Minggu sejak lima bulan lalu.
”Silakan kau siapkan mata bajakmu, bajak-bajaklah tanah tersisa dari halaman kehidupan kita. Tak perlu menyerah karena tak ada tanah, tetapi selalu bersiap jika waktu memungkinkan untuk bekerja. Kau siap?” tanya Umbu suatu pagi di bulan Juli 2020. Aku tahu, Umbu selalu begitu, siapa pun menjelang berulang tahun, ia seperti memberi isyarat bahwa selalu peringati hari ulang tahunmu dengan berkarya.
Ia tak pernah terang-terangan mengucapkan selamat ulang tahun kepada siapa saja. Tetapi, dering telepon yang mendadak senantiasa menjadi isyarat bahwa begitulah caranya untuk mengatakan ”selamat ulang tahun”. Dan karenanya, kau harus bertanggung jawab dengan melahirkan karya atau buku. Tidak penting apakah puisi, esai, cerpen, atau novel, bagi Umbu, laku bersastra telah menjadi cara bagi penyair untuk memperjuangkan nilai.
”Puisi tak sekadar janji, tetapi ialah yang memberimu daya hidup. Kau bisa berkelana ke mana pun kau mau, entah itu jadi buku sastra atau justru resep masakan,” katanya. Setiap perkataan Umbu ibarat sandi, sesuatu yang harus dianalisis dan diberi tafsir sebelum kau benar-benar memahaminya.
Ada apa dengan buku resep? Suatu hari ia dengar aku sedang giat mencoba peruntungan dengan memasak untuk mengisi hari-hari di rumah selama masa pademi Covid-19. Umbu katakan, ”Siapa bilang memasak tak perlu puisi? Memasak perlu imajinasi dan itu dari puisi asal-usulnya….”
Ketika benar-benar tiba di lobi rumah sakit, aku lihat beberapa penyair sedang tertunduk di kantin. Penyair Syahruwardi dan Wayan Sunarta menyambutku. Abbas berkata lirih, ”Aku sudah berusaha, Jar, tetapi inilah jalan yang telah dipilih Umbu.” Abbas salah seorang penyair yang turut serta mengevakuasi Umbu dari rumah tinggalnya di Lembah Pujian, Denpasar Utara.
Baca juga : Meditasi Semesta
Saat itu, kata Abbas, Umbu sudah menceracau. Meski terus menolak untuk dinaikkan ke dalam ambulans, Umbu berteriak-teriak, ”Inilah saatnya, inilah saatnya….” Abbas sendiri kurang paham apa yang dimaksud Umbu, ia menduga Umbu telah memasuki masa depresi akibat demam.
”Ketika sirene ambulans berbunyi, Umbu marah. Ia minta dimatikan saja…,” tutur Abbas.
Petang hari, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, anak bungsu Umbu, tiba di Denpasar setelah terbang dari Kupang. Wajahnya tertunduk lesu. Wulang tampak letih.
”Keinginan pribadi saya, Ayah dimakamkan di Sumba. Bertahun-tahun kami tak sempat merawatnya, beri kesempatan bagi kami merawat tubuhnya,” katanya terbata-bata.
Meski begitu, tambah Wulang, pihak keluarga akan mengadakan pertemuan Selasa malam untuk menentukan apakah jenazah penyair ”berumah di angin” itu akan diterbangkan ke Sumba atau dikremasi di Denpasar.
Saat Mamet Teguh Prayogo, yang biasanya merawat Umbu, berkunjung ke Lembah Pujian, Umbu dengan keras bilang, ”Jangan cari jalan keluar. Bungkus semua kesimpulan, sekarang angkat jangkar, kembangkan layar, ini pelayaran terakhir.” Itu kata-kata Umbu yang diingat oleh Mamet.
Pelan-pelan penggalan sajak Umbu berjudul ”Melodia” mengapung di mataku: //Di rumah kecil papa, tapi bergelora hidup kehidupan dan jiwa/Kadang seperti terpencil, tapi bergairah bersahaja/Harapan dan impian/Yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi/dan kedua tangan//
Ia yakin bahwa di kedalaman rongga kata-kata, ia akan menemukan cahaya Yang Mahasuci, yang senantiasa bernama: puisi!
Umbu sepanjang hidupnya cuma bercita-cita membangun rumah kecil, rumah dari unggun kata-kata, di mana ia bisa berlayar mengarungi ceruk-ceruk terdalamnya. Ia yakin bahwa di kedalaman rongga kata-kata, ia akan menemukan cahaya Yang Mahasuci, yang senantiasa bernama: puisi!
Pukul 17.54 Wita, sore benar-benar rebah. Tak ada matahari. Langit tetap muram seperti ketika aku memasuki rumah sakit pagi tadi. Umbu terbaring tenang di ruang jenazah. Ia diam, tetapi kata-katanya menggema di hati para penyair….