Meditasi Semesta
Hanya ketika tubuhmu kosonglah, kau bisa kembali mengisinya dengan kebaikan dan kebahagiaan, kemudian memancarkannya kepada orang-orang di sekelilingmu. Ajaran "mengosongkan diri" ini tampak sederhana tetapi mendasar.
Sewaktu remaja Bapak ingin aku mewarisi ajaran kebatinan, yang ia tak mau sebutkan namanya. Ajaran itu mengidentifikasi tubuh manusia dengan huruf-huruf suci seperti: Sang, Bang, Tang, Ang, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang. Katanya, huruf-huruf dewata ini terdapat dalam raga manusia dan berposisi sesuai dengan kosmologi tubuh.
Misalnya, huruf “Sang” bertempat di dada sebelah kiri, lalu “Bang” di bawah perut, “Tang” di dada kanan, dan “Ang” di uluhati. Lalu “Nang” di sudut dada kiri, “Mang” sudut perut kiri, “Sing” sudut perut kanan, “Wang” sudut dada kanan, dan “Yang” di bawah uluhati.
Kalau kita dalam sikap meditasi, duduk bersila dengan mata tertutup, pikiran difokuskan untuk menggerakkan huruf-huruf suci tadi, sehingga berputar seperti cakra. Ketika merasa bahwa perputaran huruf-huruf itu telah menyatu, maka ia harus didorong ke atas ubun-ubun dan meluncur sebagai huruf tunggal yang disebut “Aum” atau “Ong Kara”.
Praktek mistik Bali ini, belakangan aku menyebutnya begitu, yang membuat Bapak bisa berkomunikasi dengan dunia ruh atau atma.
Huruf ini tak lain dari simbolisasi dari sifat-sifat ketuhanan, di mana kita siap melakukan “penyatuan” diri dengan Semesta. Dalam kondisi seperti itu, jelas Bapak, kita akan terhubung dengan sesuatu yang “gaib”, alam immaterial yang melampaui kewadagan tubuh.
Praktek mistik Bali ini, belakangan aku menyebutnya begitu, yang membuat Bapak bisa berkomunikasi dengan dunia ruh atau atma. Suatu hari ia cerita bertemu kakak kandungnya atau pamanku yang sudah lama meninggal.
“Tetapi belum masuk surga, Pak De masih ngayah di Pura Besakih,” kata Bapak. Maksudnya, paman masih mengabdi di sekitar Pura Besakih, jadi belum mendapatkan tempat di surga.
Baca juga: Biyang Bulan Meniti Misteri
Pada hari lain, Bapak juga pernah cerita bahwa ia tidak menemukan Pak Ngah, kakak kandung tertuanya, yang meninggal karena diseret arus Selat Bali tahun 1976. Peristiwa tragis itu masih melekat dalam ingatanku. Seluruh Kabupaten Jembrana heboh, karena Pak Ngah tenggelam bersama anak tertuanya, I Wayan Suwala alias Bli Lalok.
Kedua jenazah mereka tidak pernah ditemukan sampai hari ini. Selain itu, hampir bertepatan dengan peristiwa itu, tepatnya 14 Juli 1976, terjadi gempa dahsyat yang meluluhlantakkan kota kami, kota Negara. Ratusan korban tewas dan kami harus mengungsi di tenda-tenda di pinggir jalan.
Seingatku, lebih dari tiga bulan setelah gempa berkuatan 6,2 SR keluargaku harus tidur di tenda yang dibangun di tepi jalan. Menurut catatan, gempa itu menelan korban jiwa sejumlah 559 orang, termasuk seorang sahabatku yang sedang menonton poster film di lobi gedung bioskop Wijaya Theatre.
Baca juga: Kontroversi Kiblat Sebuah Kota
Sesungguhnya bukan soal itu yang ingin kukisahkan kepadamu hari ini, tetapi perihal meditasi untuk menyatukan diri dengan Semesta. Ajaran mistik yang ditekuni Bapak, yang kuwarisi setengah-setengah itu, kupahami sebagai jalan menuju “penyatuan” diri dengan keagungan Semesta. Jadi hakikat meditasi sesungguhnya, menyatukan apa yang disebut dengan Bhuwana Alit (jagat diri) dengan Bhuwana Agung (alam Semesta). Mengapa harus disatukan?
Meditasi akan mencapai tingkat spiritualitas tertinggi ketika Aku-Diri menyatu dengan Aku-Semesta. Aku-Diri dalam mistik Bali (Jawa) adalah representasi dari Aku-Semesta. Huruf-huruf suci: Sang, Bang, Tang, Ang, Nang, Mang, Sing, Wang, dan Yang, tak lain adalah representasi dari kosmologi Semesta, yang diterjemahkan dengan Dewata Nawa Sanga (Sembilan Dewa Penguasa Semesta).
Para dewa itu adalah Dewa Wisnu (Utara), Dewa Sambhu (Timur Laut), Dewa Iswara (Timur), Maheswara (Tenggara), Dewa Brahma (Selatan), Dewa Rudra (Barat Daya), Dewa Mahadewa (Barat), Dewa Sangkara (Barat Laut), dan Dewa Siwa (Tengah). Sembilan dewata ini, bersemayam sesuai arah mata angin dengan huruf-huruf suci yang pernah diajarkan Bapak.
Kondisi penyatuan Aku-Diri dengan Aku-Semesta, dalam filsafat Jawa disebut sebagai manungguling kawula lan Gusti, bersatunya manusia (diri) dengan Tuhan. Dalam bahasa mistik Bali, penyatuan itu bahkan disebut sebagai tatujon idupe ngalih isin puyung (tujuan hidup itu mencari isi dari kosong). Dari kaca mata logika, bahasa mistik ini mengandung sesuatu yang absurd. Bagaimana mungkin kita mencari isi dari sesuatu yang kosong?
Rasanya pertanyaan absurd ini akan menemukan konteks kulturalnya pada saat umat Hindu Indonesia merayakan Nyepi, tahun baru Saka 1943, yang jatuh nanti pada Minggu (14/03/2021).
Jika kondisi meditasi umumnya dimulai dari jagat diri, pada saat Nyepi, Semesta melakukan meditasi, mengenolkan diri, berjeda dengan segala aktivitas, berhenti sejenak untuk memulai dari titik awal, dan kemudian berhasrat lahir kembali menjadi sesuatu yang baru.
Baca juga: Lawar Penawar Rasa Lapar
Penyair Umbu Landu Paranggi secara menggebu-gebu mengatakan, pandemi akibat serangan Covid-19 sejak awal tahun 2020, tak lain adalah meditasi Semesta. Alam sedang “beristirahat” untuk memperbaharui diri setelah berjuta-juta tahun dieksploitasi untuk memenuhi hasrat hidup semua mahkluk.
“Ini meditasi Semesta yang meminta kita semua berhenti. Ini Nyepi global, sebaiknya kita pintar membaca isyarat ini,” kata Umbu saat menelepon dari Denpasar. Ia tampak sangat sehat dan penuh gairah untuk bercakap-cakap.
Nyepi pada hakikatnya “meliburkan” diri dari segala aktivitas yang membuat manusia dan Semesta selama ini menjadi rutin, gaduh, riuh, dan jenuh. Selama 24 jam, mulai Minggu pukul 06.00 sampai keesokan harinya, Senin (15/03/2021) pukul 06.00, umat melakukan Tapa Brata Panyepian, seperti amati gni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak berpergian), dan amati lelanguan (berpuasa).
Selama 24 jam itu, umat biasanya mengisi hari dengan bercerita atau membaca kitab-kitab yang berisi ajaran-ajaran moral serta bermeditasi dan instrospeksi diri atau mulat sarira.
Sehari sebelum Nyepi, pada siang hari digelar ritual Tawur Agung Kesanga, yakni sebuah ritual pembersihan dunia dari segala hal yang kotor. Sebagaimana hakikat dari ritual tawur, sesungguhnya pembersihan itu penyeimbangan antar unsur yang membentuk seluruh aktivitas spiritual dan material manusia dan alam semesta.
Konsep harmoni ini berpadu erat dengan konsep dualitas yang mempersatukan kekuatan “Purusa” dan “Predana”, “Lingga” dan “Yoni” atau “Ing” dan “Yang”. Keduanya, tidak akan pernah saling mengalahkan, karena relasi antar unsur inilah yang melahirkan berbagai aktivitas dan kreativitas manusia dalam berhadapan dengan alam semesta.
Baca juga: Taman Kecil di Pusaran Kebiadaban
Senja hari, pada detik-detik awal memasuki hari raya Nyepi, dilakukan upacara Pangrupukan, di mana keriuhan justru dikumandangkan. Seluruh rumah tangga memukul kulkul (kentongan bambu), berkeliling membawa sapu lidi dan perakpak (api dari daun kelapa yang dibakar), sambil bernyanyi: makaon jero mundur…(pergilah seluruh penghuni gelap dari rumah ini).
Waktu remaja tanggung, aku suka main perang jedur-jeduran alias meriam bambu. Meriam selalu dipasang di halaman depan rumah menghadap ke jalan. Siapa meriamnya yang berbunyi paling keras dialah pemenangnya.
Secara lebih meriah, Pangrupukan dirayakan dengan gelaran pawai ogoh-ogoh di jalan-jalan kota saat malam hari. Dengan pemaknaan yang hampir serupa, di mana para bhuta (penguasa kegelapan), yang diwujudkan dalam bentuk karakter-karakter yang menyeramkan, diberikan “hadiah upacara” agar tidak mengganggu dalam kehidupan manusia.
Mereka harus diberi tempat dalam “dunia paralel” manusia dan secara bersama-sama “mengawal” dunia agar tetap berada dalam keseimbangan. Saling menjaga, saling memberi kesempatan hidup, dan saling mengawasi dalam keseimbangan tugas dan wewenang masing-masing, agar kehidupan dunia terus berlangsung dalam kedamaian.
Tepat pada tanggal 1 Caitramasa kalender Saka atau tanggal 1 Kedasa dalam pawukon Jawa dan Bali, dilakukan hari raya Nyepi. Kalender Saka dimulai pada tahun 78 Masehi, karena pada saat itulah Raja Kanishka dari Dinasti Kusana di India berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil yang selama ini selalu berperang.
Kejayaan Dinasti Kusana akhirnya sampai juga ke tanah Jawa tahun 456 Masehi melalui kedatangan Aji Saka di Desa Waru, Rembang, Jawa Tengah. Saat itu pengaruh Hindu telah berlangsung kurang lebih 4,5 abad di Nusantara.
Baca juga: Puisi Amanda Gorman, Mesin Pencuci Daki dan Tirani
Oleh sebab itu, tahun baru Saka sesungguhnya tahun persatuan, kerukunan, perdamaian, dan toleransi. Selain itu, tahun baru Saka adalah juga tahun pembaharuan serta tahun menuju peradaban baru yang lebih menjanjikan kehidupan yang baik.
Peringatan tahun kerukunan, perdamaian, dan penuh toleransi itu di Nusantara dilakukan dengan Nyepi. Nyepi tidak sekadar unik untuk sebuah perayaan tahun baru, tetapi menjadi khas milik Nusantara.
Konsep perayaan persatuan, kerukunan, dan perdamaian di masa Dinasti Kusana di India, bertemu dengan konsep lokal: tatujon idupe ngalih isin puyung, sehingga melahirkan praktek kultural dan keber-agama-an, yang holistik.
Bahwa pada saat Nyepi, ketika alam terlihat begitu tenang dan langit penuh bintang, setitik cahaya kita hayati sebagai pemberi hidup. Alam seolah duduk dalam samadi dan memancarkan cahaya keilahian kepada setiap orang yang sedang bersila, berserah diri untuk bersatu dengan Semesta.
Kata Bapak, puyung itu bukan nol, puyung itu kosong tetapi sesungguhnya berisi. Tubuh dalam meditasi adalah tubuh yang “dikosongkan” dari segala cerita hidup dan aktivitas yang selama ini membuat kita kotor, bahkan menjadi residu dalam diri. Hanya ketika tubuhmu kosonglah, kau bisa kembali mengisinya dengan kebaikan dan kebahagiaan, kemudian memancarkannya kepada orang-orang di sekelilingmu.
Tampaknya sungguh sederhana, bukan? Padahal sesungguhnya ajaran tentang “mengosongkan diri” ini mengarah kepada sesuatu yang hakikat. Hampir semua ajaran mistik Bali dan Jawa mengembangkan pencarian kesejatian untuk menemukan isi dalam kekosongan.
Harap kau jangan berpikir bahwa kosong sama dengan nihilistik. Nihilisme bergerak dari filsafat yang dikembangkan oleh Ivan Turgenev. Banyak orang menghubungkan nihilisme dengan pandangan-pandangan yang dicetuskan oleh Friedrich Nietzche.
Hanya ketika tubuhmu kosonglah, kau bisa kembali mengisinya dengan kebaikan dan kebahagiaan, kemudian memancarkannya kepada orang-orang di sekelilingmu.
Bahwa dunia ini, terutama menyangkut keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki tujuan apa pun. Tidak ada bukti yang mendukung keberadaan Pencipta, moral sejatinya tidak diketahui, termasuk etika sekuler sama sekali tidak mungkin.
Ajaran mistik kosong, bukanlah tanpa tujuan seperti yang dianut oleh kaum nihilis. Kosong adalah hakikat atau kesejatian hidup untuk bertemu dengan Sang Pencipta. Hanya dengan mengosongkan diri dari segala keinginan, manusia bisa “bercakap-cakap” dengan penciptanya.
Bapak memang tidak pernah melihat Ida Sang Hyang Widhi, tetapi ia diberi kesempatan untuk memasuki alam “Atma”, alam puyung seperti mantra dalam sembah pertama ketika kau memuja Tuhan: Om atma tattwatma suddha mam swaha (Tuhan, jiwa kebenaran, bersihkan diri hamba ini…)
Bukankah intisari dari Nyepi adalah membersihkan dirimu sendiri dari residu keseharianmu yang dipenuhi bermacam keinginan? Sesudahnya Semesta pun duduk khusyuk dalam samadi untuk memancarkan energi kehidupan kepada semua mahkluk. Om Santhi, santhi, santhi…Semoga damai bersamamu. Selamat Hari Raya Nyepi dan Tahun Baru Saka 1943.