Biyang Bulan Meniti Misteri
Kalau kupu-kupu kekal karena kepaknya, Biyang Bulan mengekalkan diri lewat bahasa keindahan, seperti bunga-bunga yang kini mekar di dada ratusan muridnya. Regenerasi legong telah menjelma ke dalam tubuh mereka.
Dija bulan ne sing ngenah uli ibi
Ia jani pules re mejalan ejoh gati
Uli dija bulane majalan, Kaki
Uli tanggu kangin teked kauh keto cening
Pidan lakar bangun bulane tur mai
Lamun ilang kenyelne ia teka lakar buin
Aneh, ketika mendapat kabar Biyang Bulan pergi, syair gending anak-anak Bali saat bermain di halaman tadi seperti mengambang. Kata-katanya melayang seperti untaian daun jatuh. Syair lagu ini sebenarnya memiliki arti harafiah:
//mengapa bulan tidak muncul sejak kemarin/ia tertidur karena telah menempuh perjalanan jauh/dari mana bulan mulai berjalan, kakek/dari ufuk timur sampai ufuk barat cucuku/kapankah bulan akan bangun dan bersama kita/ketika lelahnya sirna ia akan datang kembali//.
Anak Agung Ayu Bulantrisna Djelantik seperti bulan yang melintas dan memancarkan cahayanya kepada bumi.
Aku justru membayangkan, Biyang Bulan sedang mengepakkan sayap meniti misteri di kejauhan langit. Bunga-bunga awan yang memerah di senja hari dan suara burung menjadi orkestrasi yang mengantarkan kepergiannya.
Sayup-sayup suara gamelan menggerakkan tubuhnya, lalu seledet (gerak) matanya yang tajam seperti mengempaskan angin, yang mendorong mega-mega berarak seperti karnaval yang agung. Kibasan kipas di tangannya membuat cahaya matahari seperti berkelap-kelip, terus menuju kejauhan yang entah….
Anak Agung Ayu Bulantrisna Djelantik seperti bulan yang melintas dan memancarkan cahayanya kepada bumi. Setelah bulan purnama berlalu, dalam sistem penanggalan Bali disebut panglong. Gending rare (lagu anak-anak) tadi berjudul ”Panglong”, sesungguhnya mengungkapkan kegundahan anak-anak karena melihat bulan tak kunjung muncul di langit.
Secara simbolik, kehilangan bulan berarti bumi kehilangan sumber cahaya di malam hari. Seorang kakek yang bijaksana akan selalu memberikan penjelasan kepada para cucunya bahwa mungkin bulan sedang lelah dan butuh beristirahat setelah menempuh perjalanan jauh.
Pertanyaan seorang cucu yang kritis tak berhenti di situ. Ia akan bertanya lagi, dari mana bulan memulai perjalanannya dan kapan akan bersama kita kembali? Kakeknya hanya menjawab bulan akan bersama kita kembali ketika lelahnya hilang. Ada semacam optimisme dalam diri para orang tua bahwa hukum alam semesta telah menakdirkan bulan menjadi benda langit yang paling setia menemani bumi di malam hari.
Para murid penari legong legendaris Biyang Bulan, yang menggelar acara ”Mengenang Biyang” secara daring, Minggu (28/2/2021), rata-rata mengenang Biyang sebagai sosok yang tak tergantikan. Biyang, seperti kata muridnya, Miranda Risang Ayu Palar, masih bersama dirinya dan tidak pernah pergi.
Baca Juga: Kontroversi Kiblat Sebuah Kota
”Biyang yang pertama memegang tubuh saya untuk bergerak, tetapi ternyata Biyang juga memegang hati saya…,” katanya. Ada tangis yang tertahan di dadanya. ”Saya tidak janji tidak menangis…,” tambahnya.
Kata Miranda, sebagai guru tari dan guru hidup, Biyang Bulan tak tergantikan. Sosoknya tak hanya hadir sebagai penari, tetapi teman ”curhat” yang menyenangkan. Ia siap mendengarkan perjalanan hidup, cinta, dan pengorbanan orang-orang di sekitarnya.
Murid Biyang Bulan lainnya, Putri Minangsari, menulis puisi khusus untuk mengenang gurunya. //Selamat jumpa di cakrawala kenangan/Mari melarung debu-debu bintang/yang tak surut gemerlapnya/Walau telah menghias tahun demi tahun/yang terang berpurnama Bulan…//
Bulan tak hanya hadir sebagai sosok manusia, tetapi juga metafora yang menghidupkan Biyang sebagai cahaya, cahaya bulan purnama yang tak henti mengorbit bumi. Sebelum benar-benar Bengkel Tari Ayu Bulan berdiri di Bandung tahun 1994, Miranda sudah berguru menari legong kepada Biyang Bulan. Sejak itu ilmu legong gaya Peliatan Ubud diturunkan kepada para murid dan bahkan menjadi langgam legong yang berkembang di luar Bali.
Biyang Bulan sesungguhnya belajar menari lainnya, sebagaimana sering kali dituturkan ayahandanya, Anak Agung Made Djelantik, ketika masih hidup. ”Tetapi mungkin perawakannya yang mungil, menurut para gurunya, cocok untuk tari legong,” tutur Djelantik.
Aku ingat kami sedang berbincang di pesanggrahan raja-raja Karangasem di Tirtagangga. Usia Djelantik waktu itu hampir 80 tahun. Ia muncul dari ruang belakang seperti kabut yang menebar di sekeliling kami.
Baca Juga: Lawar Penawar Rasa Lapar
Suara tongkatnya yang membentur lantai dan bergerak mendekat membuatku membayangkan raja-raja pada masa lalu ketika menemui rakyatnya. Dengan wibawa yang tersisa pada garis-garis mukanya, Djelantik mengumbar senyum lalu berkata, ”Legong itu seperti kabut. Ia diturunkan dari langit dan tetap jadi misteri.”
Keturunan terakhir raja Karangasem ini ingin bercerita tentang asal mula tari legong sebagai tarian yang diturunkan oleh dewata. Bahkan, sebelum benar-benar menjadi tarian rakyat, legong hanya ditarikan di bangsal-bangsal kerajaan, sebagai persembahan kepada raja.
Ketika berkisah tentang legong, Djelantik senantiasa mengaitkan legong dengan putri tertuanya, Bulantrisna, yang waktu itu sudah menjadi penari terkenal di Bandung dan Jakarta. Setiap saat, Bulan menari di depan tamu-tamu agung Istana Negara.
Tentu saja cerita Djelantik membuat hasratku makin besar untuk bertemu Bulantrisna suatu hari. Kira-kira pada pertengahan tahun 1990-an, aku yang masih seorang reporter muda mendapat kiriman buku tentang Djelantik. Sungguh mengejutkan di dalam buku itu terselip tulisan tangan Bulantrisna buatku. Kusebut saja sebagai ”surat cinta” seorang penari kawakan kepada seorang reporter muda yang haus mendalami kebudayaannya sendiri.
Samar-samar aku coba mengingat isi ”surat cinta” Bulantrisna kepadaku. Intinya, ia berterima kasih telah berulang kali menulis tentang ayahandanya dan tari legong. Legong itu, katanya, seperti fusion antara tari gambuh dan tari sanghyang. Jika sanghyang memberikan dasar-dasar gerak abstrak, gambuh memberikan narasi sehingga legong menjelma menjadi tarian yang tidak saja indah, tetapi menjadi penuh dengan abstraksi makna hidup.
Bulantrisna mencontohkan tari legong seperti kupu-kupu. Kepakan sayap penari seolah mengimajinasikan seekor kupu-kupu yang terbang mencari pegangan, sebelum akhirnya sirna dari muka bumi. Sesungguhnya, tulis Bulantrisna, kupu-kupu dalam legong itu diwakili oleh gerakan kipas di tangan penari yang berkelap-kelip ditimpa cahaya. ”Jadi sangat abstrak, terkadang absurd seperti kehidupan kupu-kupu,” tulisnya.
Baca Juga: Teman kecil di Pusaran Kebiadaban
Terus-terang waktu itu, ajaran tentang legong itu tak begitu menarik minatku. Pada bagian lain ”surat cintanya” kepadaku, Bulantrisna mengkritik tulisan-tulisanku tentang ayahandanya dan tari legong, yang dianggapnya kurang mendalam dan terkadang ”sok tahu”. Aku terperanjat membaca bagian ini. Sejak itu, kupikir suatu hari nanti aku harus bertemu dengan penari istana yang dipanggil Biyang Bulan oleh para muridnya itu.
Aku lupa tepatnya, kapan kami akhirnya bertemu dan berdiskusi banyak hal tentang legong dan Bali, sebagai wilayah di mana akar kebudayaan kami bertumbuh. Tiba-tiba saja Biyang Bulan sudah begitu saja masuk dalam lingkaran persahabatan, yang tiap saat kami perbarui dengan saling bertukar gagasan.
Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, anakku, Angelina Arcana, benar-benar berguru menari kepada Biyang dan muridnya. ”Biyang itu kalau ngajar tubuh kita dipegang, dibengkok-bengkokkan. Jadi, seperti guru-guru tari zaman dulu di Bali,” kata anakku.
Ketika Biyang Bulan benar-benar pergi pada Rabu (24/2/2021) pukul 00.30 dini hari, aku sedikit mengerti tentang hal ihwal kupu-kupu. Seekor kupu-kupu sudah paham dan menerima takdir hidupnya yang hanya berkisar 2-4 minggu.
Mereka menghadapi akhir hidupnya dengan cara beramai-ramai datang ke sebuah lembah untuk menjemput kematian. Barangkali itulah cara indah untuk menuju lembah kematian: mengepakkan sayap terakhir untuk menuliskan jejak pada telur-telur yang telah menggantung di berbagai pohon bunga.
Kupu-kupu tahu, suatu hari telur-telur itu akan menjadi ulat, larva kupu-kupu sebelum menjalani proses ”hibernasi” sebagai kepompong dan kemudian lahir sebagai kupu-kupu muda. Menjelang akhir hayatnya, cerita Ni Nyoman Trianawati, murid pertama di Bengkel Tari Ayu Bulan Bandung, Biyang Bulan meninggalkan amanah agar para muridnya menyelesaikan penulisan buku ”Pengantar Legong”.
Baca Juga: Puisi Amanda Gorman, Mesin Pencuci Daki dan Tirani
”Biyang baru menulis bab pertama dan laptopnya dikirim kepada saya agar mengisinya dengan bab-bab berikut bersama para murid lain,” tutur Trianawati. Baginya, penyerahan laptop berisi pengantar serta dokumen-dokumen tentang legong menjadi isyarat bahwa Biyang sudah siap untuk menempuh perjalanan jauh. Perjalanan yang berbeda dengan sosok-sosok para penarinya di dunia skala (nyata).
Perjalanan jauh ke wilayah misteri itu seperti kupu-kupu yang menjemput kematian di sebuah lembah penuh bunga. Dalam kepercayaan Hindu-Bali, Biyang sedang menjalani karmanya (hibernasi sebagai kepompong), sebelum nanti ”terlahir” kembali (reinkarnasi) sebagai sosok baru untuk meneruskan perjalanan hidupnya.
Reinkarnasi tak harus berarti harafiah. Meski telah menganut kepercayaan berbeda, Biyang Bulan tetap percaya kepada karma. Karmanya sebagai seorang penari, selain ”mewujudnyatakan” keindahan itu dalam tatanan gerak, yang terpenting menjaga napas legong agar tetap hidup.
Biyang tak perlu risau, regenerasi legong dengan langgam Peliatan Ubud telah menjelma dalam tubuh ratusan muridnya. Putri Minangsari meneruskan bait-bait puisinya dengan merumuskan sosok Biyang sebagai berikut:
//Guruku, ia cantik bestari/Ia mutiara yang dijanjikan zaman/yang terus bergulir menebar/kilas demi kilas cahya keindahan/Dalam hidup kami/jemarinya memegangi/Menguatkan bahu dan kalbu/Mengusir ragu/Suaranya, tawanya, mengaliri relung-relung harap/Dalam hati kami/langkah-langkah kakinya menjejak, membumi/Suar semangatnya tak terbendung/tak berhenti/Di saat fana hingga menyeberang ajal/Guruku, ia menari dalam tarian kekal//.
Biyang tak perlu risau, regenerasi legong dengan langgam Peliatan Ubud telah menjelma dalam tubuh ratusan muridnya.
Kalau kupu-kupu kekal karena kepaknya, Biyang Bulan mengekalkan dirinya lewat bahasa keindahan, seperti bunga-bunga yang kini tumbuh dan mekar di dada para muridnya.
Ia bukanlah pergi karena jasadnya tiada, melainkan terus mengorbit bumi sebagaimana bulan. Suatu hari, jika lelah, ia akan berhenti untuk menyusun kembali perjalanan berikutnya dengan tak henti menebarkan cahaya ke segenap makhluk di dunia.