Keledai Dungu Memanggul Beban
”Aku menikah lagi,” katanya. ”Dengan siapa?” tanyaku. ”Seorang teman yang sudah beristri,” jawabnya. Ia seperti sengaja menjatuhkan diri pada lubang yang sama, menjadi istri kedua dari suami kedua. Apa yang kau cari?
Pepatah tua berbunyi, hanya keledai yang jatuh dua kali ke lubang yang sama! Keledai distigma sebagai hewan dungu oleh pemikir Yunani Kuno, Homer dan Aesop, karena sifat-sifatnya yang dianggap bodoh, budak, tetapi keras kepala.
Di masa sebelum Masehi, untuk menggerakkan seekor keledai, seorang majikan harus memancingnya dengan wortel. Karena naluri makannya yang banyaklah, seekor keledai akan mengejar wortel yang digantungkan di dekat mulutnya. Ia tidak pernah berpikir bahwa wortel hanya siasat majikannya agar segera bergerak memanggul beban di punggungnya.
Lantaran sifatnya yang dianggap tak bisa belajar dari kesalahan yang sama, Homer dan Aesop lalu memberi julukan keledai sebagai hewan jinak yang dungu. Sifat-sifat unggul hewan bertenaga besar ini seolah tenggelam oleh stigma kedunguannya.
Keledai mampu mengingat keledai lain yang pernah ia temui, bahkan mampu mengingat jalan-jalan yang pernah ia tempuh 25 tahun yang lalu.
Sesungguhnya keledai memiliki daya ingat yang jauh lebih baik dibandingkan kuda. Keledai mampu mengingat keledai lain yang pernah ia temui, bahkan mampu mengingat jalan-jalan yang pernah ia tempuh 25 tahun yang lalu. Menurut catatan kuno, keledai juga jauh lebih sensitif dalam mendeteksi bahaya dibandingkan kuda.
Mengapa kuda selalu mendapatkan keistimewaan dalam dalil-dalil ”prikehewanan” dibandingkan keledai?
Seorang penyair dan moralis Perancis bernama Jean de La Fontaine (1621-1694) merasa perlu menulis dongeng untuk mengungkapkan simpati dan rasa prihatinnya terhadap nasib seekor keledai.
Baca juga: Ghosting dan Amukan Calon Arang
Dalam kumpulan Fables, yang berjilid-jilid, Jean menggunakan tokoh-tokoh binatang sebagai representasi masyarakat Perancis di masa pemerintahan Raja Louis XIV (1661-1715) yang absolut.
Sesungguhnya Jean, sebagaimana diakuinya, telah menceritakan ulang dengan cara berbeda fabel-fabel yang telah ditulis Esope (Yunani) dan pendongeng Latin, Phedre. Namun, justru karya-karya fabel Jean yang lebih menarik perhatian, terutama karena kisah-kisahnya kontekstual dengan kondisi masyarakat Perancis.
Baca juga: Meditasi Semesta
Seorang Petani tua, tulis Jean, memiliki seekor Kuda dan seekor Keledai yang ditempatkan pada kandang yang sama. Entah kenapa, Petani tua itu selalu merasa perlu mengistimewakan Kuda. Jika Kuda diberi makan rumput segar, sebaliknya Keledai hanya segenggam rumput kering.
Meskipun begitu, Keledai tetap merasa si Petani menyayanginya seperti sayangnya kepada Kuda. Setiap pergi ke pasar, beban di punggung Keledai selalu lebih berat dibandingkan Kuda, sahabatnya. Selalu begitu selama bertahun-tahun.
Suatu hari, dalam perjalanan ke pasar, Keledai merasa bebannya terlalu berlebihan. Napasnya mulai tersengal-sengal, kakinya hampir-hampir tak mampu melangkah, serta punggungnya mulai berteriak tak sanggup lagi menanggung beban yang berat itu. Ia berkata kepada sahabatnya.
”Kuda, maukah kau menolongku? Bantulah aku memanggul sebagian beban di punggungku? Aku sudah tidak kuat lagi.”
”Oh, bukankah membawa beban itu memang pekerjaanmu? Bukan tugas hewan mulia seperti diriku,” kata Kuda.
”Aku benar-benar tidak kuat. Mungkin bisa mati karena kelebihan beban,” ujar Keledai.
”Ah jangan cengeng, bukankah kemarin kau masih mampu mengangkut beban yang sama? Ayo jalan saja…,” kata Kuda.
Setelah beberapa langkah, Keledai benar-benar tersungkur. Kaki-kakinya gemetar dan tubuhnya berdebum membentur tanah dengan lidah yang terjulur. Napasnya terengah-engah, satu-satu, seperti tertindih beban hidup yang berat.
Baca juga: Biyang Bulan Meniti Misteri
Petani dan Kuda kaget bukan alang kepalang. Tak lebih dari 15 menit, Keledai yang malang itu benar-benar mati. Petani tua merasa menyesal telah memberi beban berlebihan kepada Keledai. Ia mengelus-elus tubuh sahabatnya sambil berkata,”Maafkan aku sahabat karena telah memberimu beban berlebihan.”
Tak berapa lama ia menoleh ke arah Kuda.
”He Kuda, mendekatlah kemari. Sekarang kaulah yang harus memanggul beban ini semua sampai ke pasar,” katanya.
Wajah Kuda tampak memelas. Ia menyesal tidak mau berbagi beban bersama Keledai.
Fabel selalu tentang binatang, tetapi secara persuasif membuat kita merenung. Beberapa pekan ini aku merenungkan nasib seorang teman yang tiba-tiba menghilang lebih dari dua tahun.
Baca juga: Kontroversi Kiblat Sebuah Kota
Ia sebenarnya penulis yang penuh bakat. Keterampilannya mengolah bahasa dan kecerdikannya mencomot kisah hidupnya menjadi karya-karya fiksi yang menawan membuatnya patut diharapkan menjadi penulis dengan karier cemerlang.
Setelah lama menghilang, suatu sore tiba-tiba ia mengirim sebuah tulisan lewat pesan Whatsapp. Pesannya singkat, ”Mohon baca, apakah layak.” Setelah kira-kira membacanya dalam lima menit, aku tahu ini kisah pribadinya yang telah didramatisir dalam beberapa adegan. Bahasanya seperti biasa rapi, imajinasinya berjingkat-jingkat lincah dengan pesan moral yang tetap ia simpan sampai akhir.
Ia seolah ingin memberi kabar bahwa seperti itulah kini hidupnya, terkungkung dalam genggaman seorang lelaki, yang dulu dikiranya baik, tetapi ternyata berhati jahat. Masalahnya, bukan sampai di situ, ia menulis hal yang mengejutkan setelah beberapa kali kami saling mengirim pesan.
”Aku menikah lagi,” katanya.
”……..?” Aku tercekat.
”Ya benar, menikah lagi,” tambahnya meyakinkan.
”Dengan siapa?” tanyaku memberanikan diri. Jujur, sebenarnya aku tak siap untuk percakapan yang sangat pribadi seperti ini.
”Seorang teman yang sudah beristri…,” katanya seketika.
Rasanya belum habis kekagetanku tentang cerita pernikahannya, tiba-tiba ditimpa kembali oleh kata-katanya yang jauh lebih berat. Menikah kembali dengan seorang lelaki yang sudah beristri? Duh Gusti, apa yang telah terjadi padanya….
”Ya, poligami lagi…,” lagi-lagi katanya.
Sebelumnya aku sudah tahu, teman yang menghilang itu pernah menjadi istri kedua dari seorang pejabat publik di sebuah kota. Setelah berjalan beberapa tahun, pernikahan itu kandas karena lelaki itu kembali kepada istri tuanya. Aku termasuk yang mendorongnya untuk berpisah karena ia selalu mengeluh soal beban hidup dan penderitaannya yang berat sejak suaminya sakit-sakitan.
Baca juga: Teman Kecil di Pusara Kebiadaban
Sebenarnya, nasihatku agar ia berpisah bukan karena berpikir ”tak berguna punya suami sakit-sakitan”, melainkan lebih didorong oleh keinginan melihatnya bebas kembali. Tidak hidup di bawah bayang-bayang poligami, yang aku yakin selalu membuat perempuan berada dalam dilema ketidakadilan.
Aku tak begitu yakin, orang seperti Ancantus Akuku (Kenya) yang konon memiliki 130 istri dan 210 anak atau Mohammad Bello Abu Bakar (Nigeria) yang memiliki 107 istri dan 170 anak bisa berlaku adil terhadap semua istri dan anak-anakya.
Sama tidak yakinnya kalau pemimpin mormonisme, Warren Steed Jeffs (Amerika Serikat), yang memiliki 80 perempuan dan 250 anak atau Ziona Chana (India) yang memiliki 39 istri, 94 anak, dan 33 cucu bisa memberi ruang keadilan terhadap para istri dan anak-anak mereka.
Kau boleh mendebatku dengan mengatakan, selama perempuan yang dipoligami tidak rewel apalagi protes, keadaan berarti baik-baik saja. Ingin kukatakan kepadamu, biasanya perempuan yang dipoligami terperangkap dalam permainan lelaki dengan segala kedok dan mitos tentang ”keagungan” hidup bersama secara ”beramai-ramai”.
Bisa pula karena para perempuan itu tidak diberi pilihan lain, selain ”menggantungkan” diri demi keamanan secara ekonomi. Bisa pula poligami menjadi cara para lelaki untuk menunjukkan keberkuasaannya sebagai ”pejantan tangguh”.
Aku bercerita kepadanya soal para lelaki dengan banyak istri itu dan mencoba membuatnya merenung berulang-ulang terhadap pertanyaan, mengapa beban yang sudah pasti berat itu selalu kau tanggungkan?
Baca juga: Lawar Penawar Rasa Lapar
Aku tidak berpikir bahwa ia keledai yang dungu karena selalu jatuh di lubang yang sama. Ia penulis cerdas dengan tingkat intelektualitas yang memadai. Mengapa selalu mencari jalan rumit jika kehidupan cerah menantimu di ujung cakrawala?
Kerumitan dan beban bukan cuma soal ia menjadi istri kedua, melainkan ada sebuah keluarga yang tersakiti, terutama perempuan lain yang menjadi istri sebelumnya serta anak-anaknya. Cerita bertambah rumit, ketika ia kisahkan, lelaki itu tak kunjung menceraikan istrinya seperti janjinya dulu (Ingat, lelaki selalu mampu berbohong dalam soal-soal pemenuhan hasrat syahwat!).
”Istrinya menolak bercerai,” katanya. Itu artinya, ia merasa pantas mempertahankan suaminya dari usaha perebutan yang dilakukan perempuan lain yang datang belakangan. Itu jadi beban pertamanya. Beban lainnya, cerita dia, kini dirinya harus menanggung hidup lelaki itu karena gajinya diperuntukkan bagi keluarganya.
”Masak untuk makan, kopi, dan rokok harus aku tanggung. Waktu pacaran, dia sering kali memberi uang. Sekarang dia jahat,” kisahnya.
Anehnya, pelajaran hidup yang pahit setelah menjadi istri kedua dari suami pertama seolah-olah tak membekas di hati temanku ini. Ia seperti sengaja menjatuhkan diri pada lubang yang sama dengan menjadi istri kedua dari suami kedua. Apa yang kau cari?
Seekor keledai yang merasa tubuhnya lemah saja ingin berbagi beban kepada seekor kuda, teman seperjalanannya, apalagi seorang manusia yang dikaruniai akal budi. Jadi apa yang kau cari, teman?
Keberhasilan seorang pengarang tak ditentukan oleh keberaniannya melintasi masa-masa sulit, tetapi oleh ketekunan, integritas moral, dan gairahnya dalam melakoni hidup.
Ketika ia memutuskan menikahi seorang lelaki dan bersedia berpoligami, itu artinya dalam waktu bersamaan ia telah mengabaikan penderitaan perempuan lainnya.
Karya-karya yang bernas tak selalu lahir karena kau berani menceburkan diri dalam kerumitan, yang sesungguhnya bisa kau hindari. Karya-karya besar lahir dari penghayatan atas nilai-nilai kemanusiaan dan oleh karena itulah kau akan selalu berada pada barisan mereka yang tertindas.
Aku jadi ragu, temanku ini kehilangan sensitivitas dalam melihat penderitaan dan penindasan. Ketika ia memutuskan menikahi seorang lelaki dan bersedia berpoligami, itu artinya dalam waktu bersamaan ia telah mengabaikan penderitaan perempuan lainnya.
Kau mungkin telah merayakan ”keberhasilanmu” dengan dada membusung, seolah telah memenangkan sebuah pertarungan. Padahal kau tahu pasti, janji bercerai telah menjadi klise karena telah berulang diungkapkan oleh para lelaki hidung belang, yang cuma ingin menikmati tubuhmu.
Sedungu-dungunya keledai, ia memiliki ingatan panjang yang membuatnya mampu memanggul beban berat di punggungnya sambil melintasi jalan-jalan berliku dengan baik. Sudah pasti kau menolak disamakan dengan keledai, bukan?
Jadi, cobalah merunut jalanmu kembali sebelum segala sesuatunya menjadi terlambat. Pindahkan sebagian beban di punggungmu. Jangan kepada kuda yang sombong, tetapi kepada kertas-kertas di hadapanmu. Barangkali suatu hari ia akan menjadi cerita yang akan terus diingat oleh orang-orang yang bernasib sama dengan dirimu.