Alasan ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup menjadi alasan terbanyak WNI bekerja di luar negeri, termasuk meninggalkan keluarga, khususnya anak-anak.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Lima hari terakhir, sejak Minggu (7/3/2021), harian ini mengangkat kisah tenaga kerja migran Indonesia dan anak-anaknya, secara beriringan. Ada masalah di sana.
Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat, penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) pada 2020 sebanyak 113.173 orang, terdiri dari 36.784 PMI formal dan 76.389 PMI informal. Tak kurang dari 90.500 orang di antaranya adalah perempuan. Dari angka itu, 49.898 orang berstatus menikah, 41.139 orang belum menikah, dan 22.136 orang berstatus cerai.
Lebih dari 25 negara yang menjadi tujuan PMI, tetapi paling banyak ke Malaysia kecuali tahun 2020 yang penempatannya dari sisi jumlah lebih sedikit dibandingkan dengan Hong Kong dan Taiwan. Dalam webinar tentang PMI di Malaysia yang digelar Kompas dengan dukungan Malaysiakini dan Sasakawa Peace Foundation, Jepang, terungkap, Malaysia menjadi pilihan utama warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di luar negeri karena kedekatan lokasi, budaya, dan bahasa. Upah di Malaysia yang lebih rendah ketimbang di negara lain serta banyak kasus kekerasan dan kecelakaan yang menimpa PMI di negeri itu tak menyurutkan niat WNI ke Malaysia (Kompas, 7-8/2021).
Alasan ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup menjadi alasan terbanyak WNI bekerja di luar negeri, termasuk meninggalkan keluarga, khususnya anak-anak. BP2MI mencatat, hingga 2020, tak kurang dari 9 juta WNI bekerja di luar negeri, seperti yang tercatat di institusi pemerintah. Padahal, seperti di Malaysia, banyak PMI yang masih secara ilegal atau tak memiliki dokumen sehingga bisa jadi tak tercatat.
Selain karena ketiadaan lapangan pekerjaan di dalam negeri, yang mendorong WNI bekerja di luar negeri adalah ingin sejahtera bersama keluarganya. Namun, tak sedikit yang justru mengalami masalah, bahkan hingga kehilangan nyawa. Pada 2020 tercatat ada 1.779 pengaduan terkait PMI, merosot dibandingkan dengan 2019 yang mencapai 9.364 pengaduan. Persoalan yang menjerat pekerja migran itu bahkan terjadi sejak di daerah asal, sejak fase pra-penempatan.
Selain pekerja migran yang mengalami masalah, keluarganya di Tanah Air, khususnya anak-anak, pun menemui beban berlipat, apalagi di masa pandemi Covid-19. Harian ini melaporkan, anak-anak itu luput dari perhatian publik dan pemerintah. Mereka kehilangan perhatian dari orangtua yang bekerja di luar negeri. Pendidikan mereka cenderung tak teperhatikan dan terancam kekerasan dari lingkungan.
Jumlah remitansi dari PMI hingga September 2020 sekitar Rp 101 triliun lebih. Meski turun dibandingkan 2019, tetaplah jumlah besar. Jika PMI merelakan diri menjadi pahlawan devisa, negara selayaknya membalas dengan lebih memperhatikan dan melindungi mereka, termasuk anak-anak mereka di dalam negeri. Jangan mereka menjadi korban lagi.