Mereka Tumbuh Tanpa Pendampingan
Anak pekerja migran menghadapi banyak persoalan. Berada jauh dari orangtua dan tanpa pendampingan yang layak membuat tumbuh kembang mereka terganggu.
Anak pekerja migran menghadapi berbagai persoalan. Berada jauh dari orangtua membuat mereka kehilangan pendamping saat bertumbuh dan berkembang.
Jam baru menunjukkan pukul 12.00 Wita, Rabu (3/3/2021), ketika Nadira Putri (8) yang baru pulang bermain tiba di rumahnya di Dusun Mungkik, Desa Pandan Wangi, Kecamatan Jero Waru, Kabupaten Lombok Timur.
Di siang yang mendung itu, Nadira pulang bersandal jepit dengan mengenakan celana kain panjang belang merah putih. Hampir seirama dengan bajunya yang berwarna merah muda.
Begitu sampai di rumah, Mariam (50) menyambutnya di teras rumah. Nadira memeluk Mariam manja, lalu meletakkan kepala di dada Mariam. Nadira kemudian berbalik lantas menyandarkan tubuhnya ke sang nenek. Mariam memeluknya dari belakang sambil membelai kepalanya.
Saya sangat menyayanginya. Rasanya sudah seperti anak sendiri. Anak yang lahir dari rahim sendiri.
”Saya sangat menyayanginya. Rasanya sudah seperti anak sendiri. Anak yang lahir dari rahim sendiri,” kata Mariam yang siang itu mengenakan kain berwarna dasar merah dengan gambar bunga-bunga di atasnya. Senada dengan bajunya yang berwarna serupa.
Nadira adalah cucu Mariam. Anak dari Suharniati, putrinya yang sekarang berada di Kalimantan. Sejak lahir dan kini masuk sekolah dasar, Nadira telah tinggal bersama Mariam.
Dibandingkan dengan anak-anak seusianya, Nadira yang baru kelas I di SD Negeri 1 Pandan Wangi terlihat berbeda. Tingginya sudah lebih dari 1 meter dan postur tubuh yang besar. ”Mungkin ia lebih mengikuti bapaknya, seorang warga Bangladesh yang menikahi ibunya ketika ia bekerja di Arab Saudi,” kata Mariam.
Menurut Mariam, sembilan tahun lalu, ibu Nadira menjadi pekerja migran ke Arab Saudi. Di sana dia bertemu dan menikah dengan suaminya. Saat hamil besar, putrinya pulang sendiri ke Lombok dan melahirkan Nadira.
Lalu, ketika Nadira baru berusia 18 bulan, ibunya berangkat ke Malaysia. Terakhir, Suharniati ke Malaysia saat masih gadis atau sebelum ke Arab Saudi.
”Tetapi, hanya sebulan, ia ditangkap karena masuk secara ilegal. Ia kemudian pulang ke Lombok, menikah, dan mengikuti suaminya ke Kalimantan. Sekarang, dia menetap di sana dan tak pernah pulang lagi,” kata Mariam.
Mariam tak membiarkan Nadira ikut ibunya ke Kalimantan. Selain karena begitu menyayangi cucunya setelah delapan tahun merawatnya, ia tahu Nadira tidak betah tinggal bersama keluarga baru ibunya.
”Sebelum ke Kalimantan, ibunya masih berada di Lombok. Di rumah suami barunya. Kadang Nadira ke sana, tetapi tidak betah. Sebentar saja sudah pulang ke sini,” kata Mariam.
Selama ini, kata Mariam, kendala mengasuh Nadira lebih ke kebutuhan sehari-harinya. Ia dan suaminya juga tidak punya penghasilan tetap. Selama ini, mereka bekerja menjadi buruh ketika musim gabah atau musim tembakau.
Jika pun ada kiriman dari ibu Nadira di Kalimantan, itu tidak rutin. Kadang mengirim putrinya uang sekitar Rp 200.000 hingga Rp 300.000 per bulan.
”Saya maklum juga. Dia juga sudah punya keluarga di Kalimantan,” kata Mariam.
Ketika Nadira sakit, seperti beberapa minggu lalu, Mariam-lah yang mengurus semuanya. Menemaninya berobat dan menebus resep.
Meski telah delapan tahun bersama neneknya, Nadira mengaku merindukan kehadiran orangtuanya. Terutama bapaknya. Apalagi jika melihat teman-teman seusianya memiliki bapak.
”Dia kerap menanyakan bapaknya yang terakhir menghubungi kami ketika Nadira baru berusia 2 bulan. Belum lama ini, Nadira bahkan bilang minta diantar (ke Arab Saudi) menemui bapaknya,” ujar Mariam.
Jika ditanya seperti itu, kata Mariam, ia hanya bisa tersenyum. Seraya menyampaikan kepada cucunya agar tetap semangat dan tidak bersedih. ”Saya bilang, nenek dan kakeknya juga sudah seperti ibu dan bapaknya. Saya bilang agar tetap semangat dan berdoa untuknya agar kalau besar nanti bisa menemui bapaknya,” kata Mariam.
Tidak hanya Mariam, pasangan Bariah (50) dan Rustim (60) juga harus merawat empat cucunya yang juga anak pekerja migran.
Mereka adalah Haikal Nazril (8) dan Hizwan Hakimi (6), anak putra pertamanya yang sekarang berada di Malaysia bersama istri. Mereka sudah tiga tahun tidak pulang ke Lombok.
Selain itu, ada Hafiza (10) dan Farizi (2), anak dari putri keduanya yang menjadi pekerja migran di Arab Saudi. Sementara ayah mereka bekerja di Malaysia. Mereka belum kembali sekitar 1,5 tahun. ”Memang repot. Kadang mereka rewel. Namun, mau dirawat siapa lagi cucu-cucu saya ini,” kata Bariah.
Kerepotan memang terlihat. Apalagi, Bariah saat ini hampir mengurus sendiri cucu-cucunya. Menggendong Farizi yang masih kecil dan sering menangis. Menemani Hizwan ke sekolah sambil berjualan di sana. Suaminya saat ini menderita stroke ringan yang membuatnya tidak bisa banyak beraktivitas.
Akan tetapi, dibandingkan dengan Mariam, Bariah masih rutin mendapatkan kiriman dari anak-anaknya di luar negeri. Itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari cucu-cucunya. Selain itu, ia juga membuka warung kelontong yang menjual kebutuhan sehari-hari warga di kampungnya.
Menurut Bariah, anak-anaknya juga masih rutin menelepon ke rumah, bahkan melakukan panggilan video untuk menyapa anak mereka. ”Kadang, cucu-cucu saya meminta orangtua mereka pulang. Itu biasanya karena melihat teman-temannya yang masih bersama orangtuanya,” kata Bariah yang masih rutin mengantar cucunya ke sekolah.
Baca Juga: Bahu-membahu Membantu Anak Pekerja Migran
Berbagai karakter
Desa Pandan Wangi berada sekitar 59 kilometer sebelah tenggara Mataram, ibu Kota Nusa Tenggara Barat, atau 29 kilometer barat daya Selong, ibu kota Lombok Timur. Desa ini memiliki penduduk sekitar 10.000 jiwa.
Sekitar 95 persen warganya menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Sisanya pada sektor lain, termasuk menjadi pekerja migran dengan tujuan utama Malaysia dan Arab Saudi.
Menjadi pekerja migran meninggalkan masalah baru, terutama bagi mereka yang punya anak. Bagi yang hanya pergi salah satu (istri atau suami), setidaknya masih ada yang menjaga anak mereka. Sebaliknya, jika keduanya, anak dititpkan kepada keluarga lain, misalnya nenek, paman, dan bibi.
Kondisi itu membuat anak-anak kehilangan banyak hal dalam masa tumbuh kembang. Pengasuhan, kasih saya orangtua, perhatian secara lengkap, dan lainnya.
Akibatnya, mereka memiliki karakter berbeda dibandingkan dengan anak seusia yang masih mendapatkan hak-haknya secara lengkap.
Hal itu yang juga ditemukan Sri Hastuti Asmi Wahyuni dan Wirnaniati, guru di Pendidikan Anak Usia Dini Anak Pekerja Migran (PAUD APM) Al-Ikhlas Pandan Wangi. Paud itu merupakan inisiatif untuk memastikan APM di Pandan Wangi tetap mendapat akses terhadap pendidikan.
Menurut Sri dan Wirnaniati, di awal PAUD dibuka, mereka menemukan ada APM yang cenderung pendiam, superaktif, hingga tak bisa bicara.
Dari sana mereka (bertiga dengan guru lainnya, Linda Widya Mayanti) kemudian mengidentifikasi persoalan yang terjadi guna mencari pendekatan terbaik.
Sri mencontohkan, Nadira yang tinggal dengan nenek dan kakeknya awalnya anak yang pendiam. Ternyata dia kerap dikucilkan oleh lingkungan.
”Misalnya, lingkungan sekitar dan teman-temanya sering memanggil dia ’anak Bangladesh’. Itu ternyata membuat mentalnya down,” kata Sri.
”Anak Bangladesh” adalah satu dari banyak sebutan yang diberikan masyarakat di Pandan Wangi kepada anak pekerja migran. Ada juga sebutan ”anak sawit” untuk mereka yang orangtuanya menjadi pekerja migran ke Malaysia, ”anak unta” untuk yang orangtuanya ke Arab Saudi, hingga ”anak oleh-oleh” untuk APM yang lahir di luar negeri dan dibawa pulang orangtuanya.
Sementara Hizwan yang juga tinggal bersama nenek dan kakeknya cenderung hiperaktif. ”Anaknya cenderung mencari perhatian. Itu karena dia memang tidak mendapat perhatian orangtua yang dibutuhkan anak seusianya. Jika pun ada neneknya, juga tidak bisa sepenuhnya karena dia mengasuh tiga cucu lain yang juga APM,” kata Wirnaniati.
Kasus lain, kata Sri, adalah ada anak yang kesulitan bicara, bahkan kesulitan untuk sekadar mengucapkan ”aku”. Dari penelusuran mereka, anak tersebut ternyata jarang berkomunikasi dengan orangtuanya.
”Ayahnya bolak balik ke luar negeri, sementara ibunya sibuk bekerja di sawah. Jika pun sempat berkomunikasi, hanya malam,” kata Sri.
Dari sana, kata Sri, mereka kemudian melakukan berbagai pendekatan. Tidak hanya dengan anak-anak, temannya, tetapi juga lingkungannya. Sejauh ini, perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik pada APM itu semakin terlihat.
Baca Juga: Anak Pekerja Migran Rentan Mengalami Stigma
Memang, tidak mudah bagi APM untuk menjalani kehidupan sehari-hari, apalagi tanpa orangtua lengkap. Meski demikian, masyarakat bisa mengambil peran dan tanggung jawab untuk memastikan hak-hak APM tetap terpenuhi.