Petani yang mestinya bisa menikmati harga gabah/beras yang baik saat paceklik kini harus gigit jari. Kesalahan dalam kalkulasi impor beras, terutama pada tahun 2018, berdampak pada kesejahteraan petani.
Oleh
KHUDORI
·5 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Petani di Kampung Munjul, Purwasari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, bersiap mengemas hasil panen ketika cuaca menjelang turun hujan, Selasa (15/12/2020). Frekuensi hujan yang semakin meningkat berdampak pada penjemuran untuk pengeringan gabah.
Kemarau basah yang berlanjut La Nina jadi berkah bagi pertanian di Indonesia pada 2020. Kedua penyimpangan iklim itu membuat budidaya pertanian di sentra-sentra produksi pangan bisa berlangsung dengan baik.
Kemarau basah dan La Nina membuat daerah-daerah yang biasanya kekurangan air menjadi tercukupi. Karena itulah, meskipun ada pandemi Covid-19, produksi pangan di Indonesia relatif tidak terganggu. Beras tahun 2020, misalnya, produksi hampir sama tahun sebelumnya.
Awal 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, produksi padi tahun 2020 mencapai 54,53 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 31,27 juta ton beras. Produksi ini lebih rendah 0,12 persen dari 2019.
Produksi tidak merosot karena luas panen bisa dipertahankan 10,65 juta hektar, tidak jauh berbeda dengan 2019 (10,67 juta ha). Selain semangat 13,1 juta keluarga petani padi, hasil ini tak lepas dari Kementerian Pertanian yang intens mendampingi di lapangan.
Keberhasilan ini, sudah tentu, patut disyukuri. Di tengah pandemi Covid-19 yang belum jelas akhirnya, pertanian menjadi bantalan saat banyak sektor ekonomi lain terpuruk. Produksi padi yang tetap baik otomatis menambah pasokan beras.
Dikurangi konsumsi 29,37 juta ton, tahun 2020 ada surplus 1,90 juta ton beras. Surplus makin besar, mencapai 7,78 juta ton, jika ditambah akumulasi surplus 2019. Beras ini tersebar di rumah tangga, petani, pedagang, penggilingan, dan anggota masyarakat lain. Termasuk di gudang Bulog 0,98 juta ton.
Capaian ini, di satu sisi, memastikan produksi beras lebih dari cukup, bahkan berlebih. Artinya, Indonesia tidak perlu impor beras pada 2020. Di sisi lain, capaian ini mematahkan kekhawatiran banyak pihak, termasuk penulis, bahwa ada potensi krisis beras di akhir 2020. Saat itu, produksi beriringan dengan anomali di pasar. Pada April-September 2020, harga gabah terus naik, sementara harga beras menurun.
Pada April-September 2020 harga gabah terus naik, sementara harga beras menurun.
Anomali
BPS mencatat, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani terus naik, dari Rp 4.600/kg pada April 2020 menjadi Rp 4.891/kg pada September 2020. Harga gabah di penggilingan juga sama. Namun, harga beras di pasar turun.
Di laman Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, harga rata-rata beras nasional di tingkat konsumen terus turun: dari Rp 11.900/kg pada 1 April jadi Rp 11.800/kg pada 1 Oktober 2020. Menurut data BPS, harga rata-rata beras medium di tingkat penggilingan juga turun: dari Rp 9.671/kg (April) menjadi Rp 9.463/kg, Oktober 2020.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Buruh menimbang dan membungkus beras dengan ukuran ekonomis, seberat 5 kilogram, di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Kamis (21/5/2020). Perum Bulog memperkirakan stok beras hingga Juni setidaknya akan mencapai 1,8 juta ton. Selain dari stok yang saat ini mencapai 1,4 juta ton, jumlah itu akan tercapai melalui penyerapan gabah petani sebesar 650.000 ton setara beras, selama masa panen raya pada Maret hingga Juni 2020.
Kedua, Oktober-November 2020, harga gabah dan beras terus turun. Survei harga gabah oleh BPS di 1.957 titik penjualan gabah di 29 provinsi pada November 2020 menemukan, harga rerata GKP di tingkat petani turun 5,4 persen dibandingkan September 2020: dari Rp 4.996/kg menjadi Rp 4.722/kg.
Pada periode yang sama, survei harga produsen beras medium oleh BPS di 811 penggilingan di 31 provinsi menemukan, harga beras medium turun 0,2 persen: dari Rp 9.405/kg jadi Rp 9.385/kg. Desember 2020, harga rerata GKP di petani naik 1,16 persen dibandingkan bulan sebelumnya, sedangkan harga beras medium di penggilingan turun 0,02 persen jadi Rp 9.383/kg.
Pengalaman menunjukkan, irama tanam padi serentak menghasilkan irama panen yang ajek: musim panen raya (Februari-Mei dengan 60-65 persen dari total produksi), panen gadu (Juni-September dengan 25-30 persen dari total produksi), dan musim paceklik (Oktober-Januari).
Pada panen raya, produksi melimpah dan kualitas gabah/beras turun.
Pada panen raya, produksi melimpah dan kualitas gabah/beras turun. Harga jadi rendah. Pada musim gadu, kualitas membaik dan harga gabah/beras naik. Harga gabah/beras mencapai puncaknya saat paceklik. Selain kualitas bagus, produksi terbatas.
Tahun 2020, pola yang ajek itu ambyar karena tiga penyebab. Pertama, harga beras turun pada April-September karena pemerintah mengucurkan aneka jaring pengaman sosial mengatasi dampak Covid-19.
Ada bantuan langsung tunai (BLT) dan bansos Jabodetabek, padat karya tunai perdesaan, dan kartu kerja. Di luar itu, program yang ada, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Sembako, nilainya naik.
Nilai PKH naik 25 persen, sedangkan Program Sembako naik dari Rp 150.000/keluarga/bulan jadi Rp 200.000/keluarga/bulan. Penerima manfaat Program Sembako diperluas, dari 15,5 juta menjadi 20 juta keluarga.
Kenaikan nilai bantuan dan perluasan sasaran berlaku sejak April 2020. Dengan asumsi penerima Program Sembako menukar 15 kg beras Rp 10.000/kg/ bulan, tiap bulan ada 300.000 ton beras berpindah ke rumah warga. Jumlah ini cukup besar, sekitar 12 persen, dari kebutuhan beras bulanan.
Kompas/Priyombodo
Warga menerima paket bantuan sembako dari pemerintah di permukiman padat Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (12/11/2020). Pemerintah terus menggenjot bantuan sosial bagi masyarakat miskin yang terdampak Covid-19.
Pasar beras kian jinak setelah pemerintah mengucurkan bansos beras 15 kg/keluarga penerima PKH pada Agustus-Oktober 2020. Artinya, tiga bulan itu porsi beras bansos bisa lebih 20 persen dari kebutuhan bulanan.
Pola permintaan
Di sisi lain, rumah tangga berpendapatan menengah-atas membeli beras secara daring atau di toko modern. Ini tidak masuk pencatatan dan tidak membuat harga naik karena tertahan harga eceran tertinggi Rp 12.800/kg untuk beras premium. Rumah tangga petani juga ada stok beras terutama dari panen gadu, yang sebagian besar dikonsumsi sendiri.
Kedua, porsi beras operasi pasar Bulog tahun ini cukup besar. Per 31 Desember 2020, Bulog telah menggelontorkan 1.027.020 ton beras, naik dari 2019 (617.535 ton) dan 2018 (544.723 ton). Sejak outlet Bulog dalam bentuk raskin/rastra diubah jadi bantuan pangan nontunai—kini Program Sembako—operasi pasar jadi andalan dan menstabilkan harga.
Ketiga, permintaan beras ke pasar lesu. Ini terjadi karena rangkaian tak terputus: permintaan rumah tangga ke pedagang eceran rendah. Maka, pedagang eceran tidak perlu menyetok beras dalam jumlah banyak. Ini membuat permintaan beras pedagang ke penggilingan berkurang. Permintaan ke petani juga berkurang.
Salah kalkulasi impor berdampak juga pada petani.
Keempat, pasar beras cenderung jenuh. Selain masih ada sisa beras impor tahun 2018, kejenuhan juga karena daya beli warga menurun akibat Covid-19. Di gudang Bulog, per 31 Desember 2020 masih ada 316.464 ton beras eks impor 2018. Beras ini berusia 2 tahun lebih dan berpotensi turun mutu jika tak segera disalurkan.
DOK PRIBADI
Khudori
Salah kalkulasi impor berdampak juga pada petani. Petani yang mestinya bisa menikmati harga gabah/beras yang baik saat paceklik kini harus gigit jari. Semoga kesalahan kalkulasi ini tidak terulang.
Khudori
PegiatKomite Pendayagunaan Pertanian dan Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)