Antisipasi Krisis Beras
Peran Bulog sangat menentukan harga beras di konsumen yang cenderung naik akhir-akhir ini. Stabilnya harga beras, secara teoretis akan membuat harga gabah stabil dan memperbesar pengadaan beras produksi domestik.
Membaca judul artikel ini mungkin ada yang menilai mengada-ada. Adalah benar sampai saat ini belum ada gangguan serius produksi padi. Karena itu, krisis beras seperti jauh panggang dari api.
Namun, kemungkinan krisis beras amat terbuka terjadi jika tak dilakukan antisipasi sejak dini. Potensi krisis itu bukan terjadi hari-hari ini, tetapi saat paceklik (Oktober 2020–Februari 2021) dan jika pandemi Covid-19 tak jelas kapan usai.
Pertama, produksi padi tahun ini diperkirakan kembali menurun seperti 2019. Produksi periode Januari-Agustus 2020 diperkirakan hanya 23,05 juta ton setara beras (BPS, Mei 2020), lebih rendah dari periode sama 2019 (24,46 juta ton) dan 2018 (26,37 juta ton).
Penurunan ini tergolong besar. Akibatnya, surplus produksi Januari-Agustus 2020 diperkirakan hanya 2,91 juta ton beras, lebih rendah dari periode sama 2019 (4,63 juta ton) dan 2018 (6,69 juta ton).
Kedua, musim panen raya tahun ini bergeser sebulan dari kondisi normal karena durasi kemarau lebih panjang. Kala situasi normal, panen raya berlangsung Februari-Mei. Tahun ini, panen raya berlangsung Maret-Mei. Pergeseran musim ini berpotensi menurunkan luas tanam dan produksi musim tanam II atau musim gadu (Juni-September).
Apalagi, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika juga memprediksi ada potensi musim kemarau lebih kering mulai Juni 2020 pada daerah sentra produksi pertanian, khususnya di sebagian Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Bali.
Pergeseran musim ini berpotensi menurunkan luas tanam dan produksi musim tanam II atau musim gadu (Juni-September).
Musim gadu jadi perjudian maha penting apakah krisis beras bakal terjadi atau tidak dan seberapa dalam krisis beras bakal terjadi. Selama ini, 60-65 persen produksi beras dihasilkan di musim panen raya. Disusul panen gadu 30-35 persen dan sisanya saat paceklik.
Kalau penurunan produksi pada panen raya kali ini diikuti pula penurunan pada musim gadu, jumlah dan persentase penurunan akan besar. Secara nasional, ini berpeluang guncang pasar beras.
Beras adalah pangan pokok. Partisipasi konsumsi beras oleh warga merata di seantero negeri. Dalam struktur pengeluaran rumah tangga, beras mendominasi: rata-rata 24 persen dari total pengeluaran. Ketika harga beras naik lantaran pasokan seret dan terjadi perebutan di pasar, panic buying bakal terjadi. Hanya warga berkantong tebal yang bisa memborong beras. Tak terbayang bagaimana kondisi sosial-politik apabila itu terjadi.
Baca juga : Janji Tetap Menyerap Beras Petani
Dalam situasi sekarang, tatkala hampir semua negara di dunia, termasuk negara produsen beras, berjibaku berperang melawan Covid-19, berharap ada pasokan beras dari pasar dunia tak bisa diharapkan.
Dihadapkan pada ketidakpastian Covid-19, negara-negara produsen dan eksportir utama beras dunia lebih mementingkan kebutuhan dalam negeri. Vietnam, misalnya, meski sukses memerangi korona negara ini sempat menutup ekspor beras. Langkah ini diikuti Thailand dan Myanmar.
Vietnam dan Thailand adalah pemain utama ekspor beras dunia. Jika kebijakan Vietnam dan Thailand ini diikuti negara eksportir lainnya, pasokan pangan lintas negara, juga ke pasar dunia, bakal turun. Ini bakal memukul negara importir pangan, ujung-ujungnya membuat krisis pangan. Tak terkecuali beras.
Produksi beras dunia menurun 3 juta ton, dari 514,2 juta ton pada 2019 ke 511,2 juta ton pada 2020 (FAO, Mei 2020). Ini membuat stok beras turun dari 183,5 juta ton (2019) jadi 183,0 juta ton (2020), dan nisbah stock-to-use 35,8 persen menjadi 35,5 persen. Meski turun, produksi dan stok beras ini masih relatif aman.
Pasokan beras dunia mungkin cukup. Masalahnya, suplai beras yang berlebih itu tak selalu bisa dialirkan ke negara-negara yang memerlukan. Baik karena alasan pembatasan ekspor maupun gangguan rantai pasok lantaran kebijakan karantina wilayah atau negara.
Masalahnya, suplai beras yang berlebih itu tak selalu bisa dialirkan ke negara-negara yang memerlukan.
Karena itu, berbeda dengan krisis pangan 2007-2008 dan 2011 yang dipicu suplai pangan yang turun, krisis beras kali ini potensial berasal dari guncangan pasokan pada logistik pangan. Ini menyangkut aktivitas yang rumit yang menghubungkan sisi produksi di lahan, pengolahan, logistik, pergudangan hingga jasa penjualan atau retail di tingkat hilir.
Pada akhirnya, implikasi serius korona tak hanya mengancam produksi di hulu sebagai konsekuensi lanjutan kebijakan physical distancing atau karantina, tetapi juga mengganggu pengolahan pangan yang padat karya di tengah, dan juga telah memutus (membatasi) lalu lintas perhubungan dan perdagangan antarbangsa di hilir.
FAO (Maret, 2020) memperkirakan, guncangan mulai terjadi April-Mei. Lagi pula, menggantungkan beras pada pasar impor tak menguntungkan: pasarnya tipis (4-7 persen dari produksi dunia), pasarnya jauh dari sempurna karena dikuasai segelintir negara dan bersifat residual stock.
Baca juga : Bangun Ketahanan Pangan
Langkah antisipasi
Karena itu, dalam jangka pendek, diperlukan langkah-langkah cepat. Pertama, harus dipastikan tak ada gangguan berarti di musim gadu (Juni-September) dan paceklik (Oktober 2020–Februari 2021). Tahun lalu, produksi musim gadu dan paceklik masing-masing 10,77 juta ton dan 6,64 juta ton beras. Paling tidak, produksi di dua musim ini bisa dijaga sama dengan tahun lalu.
Jika ini bisa dilakukan, guncangan produksi tak terlalu besar. Karena itu, akses petani atas input produksi harus dijamin. Rantai pasok mesti aman dan produksi petani pasti terserap pasar agar kontinuitas produksi terjaga.
Tak kalah penting, memastikan cadangan beras pemerintah (CBP) mesti memadai. Saat ini di gudang Bulog ada 1,42 juta ton beras, 1,36 juta ton adalah CBP yang didominasi beras sisa impor 0,74 juta ton, dan sisanya 0,56 juta ton beras medium dari domestik.
CBP harus bisa dipertahankan setidaknya 2 juta ton sampai akhir tahun. Ini akan menjadi instrumen tatkala terjadi kegagalan pasar, terutama saat harga melonjak tinggi. Masalahnya, CBP sisa impor 2018 itu akan menurun kualitasnya seiring waktu. Karena itu, perlu dicari kebijakan yang memungkinkan diganti beras segar.
Baca juga : Perkuat Ketahanan Pangan, Petani Diminta Percepat Masa Tanam
Salah satu cara, menugaskan Bulog jadi pemasok beras bansos untuk korban terdampak Covid-19. Ini bisa untuk beragam bansos dari pemerintah. Bantuan Pangan Nontunai (BPNT), misalnya, manfaatnya diperluas, dari 15,2 juta jadi 20 juta keluarga. Nilai manfaat naik 30 persen, dari Rp 150.000 menjadi Rp 200.000/keluarga/bulan.
BPNT diberikan selama sembilan bulan. Kebutuhan beras BPNT April-Desember untuk 20 juta keluarga sebesar 1,8 juta ton (dengan asumsi satu keluarga mendapatkan 10 kg beras). Jika separuh kebutuhan ini dipasok Bulog, ini bisa mengurangi stok lama di gudang.
Keluarnya beras dari gudang Bulog berpotensi menekan harga beras di konsumen yang cenderung naik akhir-akhir ini karena penggilingan padi banyak dapat pesanan dari pemda untuk bansos. Ini berpotensi menekan harga beras ke atas.
Stabilnya harga beras, secara teoretis akan membuat harga gabah stabil. Ini memberi peluang Bulog memperbesar pengadaan dari produksi domestik. Membaiknya pengadaan beras dari produksi domestik bakal memperkuat CBP. CBP kuat bisa jadi perisai tatkala krisis beras benar-benar terjadi, terutama saat paceklik.
Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia [AEPI], Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan [2010-sekarang.