Seolah tutup mata dan tutup telinga, rezim militer Myanmar bergeming dengan langkahnya. Perlu terobosan diplomatik untuk lebih menekan mereka.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Seolah tutup mata dan tutup telinga, rezim militer Myanmar bergeming dengan langkahnya. Perlu terobosan diplomatik untuk lebih menekan mereka.
Bukan hanya tak mengindahkan desakan komunitas internasional, militer Myanmar seperti unjuk dada dengan menjatuhkan dakwaan kedua terhadap pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Aung San Suu Kyi. Dakwaan kedua, yakni pelanggaran atas Undang-Undang Bencana Alam, diungkapkan pengacara Suu Kyi.
Sebelumnya, Suu Kyi didakwa mengimpor secara ilegal peralatan walkie-talkie. Desakan internasional, senada dengan tuntutan pengunjuk rasa lebih dari sepekan terakhir agar Suu Kyi, aktivis, dan politisi, termasuk Presiden Win Myint, dibebaskan, tak dipedulikan.
Dalam konferensi pers pertamanya sejak kudeta 1 Februari lalu, Selasa (16/2/2021), juru bicara militer berupaya memainkan kontranarasi, dengan menyatakan tindakan mereka bukanlah kudeta, melainkan upaya membereskan apa yang mereka klaim—tanpa bukti—sebagai ”kecurangan” dalam pemilu, November 2020. Tatmadaw, sebutan militer Myanmar, menjanjikan akan menggelar pemilu dan menyerahkan kekuasaan kepada pemenang pemilu kelak. Kapan dan bagaimana pemilu akan digelar tidak disinggung. Saat merebut kekuasaan pada awal bulan ini, militer Myanmar menetapkan masa darurat selama satu tahun.
Melihat langkah yang diambil, sulit berharap rezim militer di negara itu bakal memenuhi aspirasi pengunjuk rasa maupun desakan masyarakat internasional, termasuk ASEAN yang ”mendorong dialog, rekonsiliasi, dan kembali pada keadaan normal sesuai kehendak dan kepentingan rakyat Myanmar”.
Hingga Rabu (17/2/2021), bukan hanya tak terlihat tanda akan berdialog, misalnya dengan NLD, rezim militer memilih langkah represif. Tambahan dakwaan adalah contohnya.
Bagaimana jalan keluar atau solusi atas krisis politik di Myanmar? Perlukah menggunakan ”sanksi”, bahasa yang kerap digunakan negara Barat untuk menekan pihak yang tak sesuai harapan mereka? Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyebut krisis di Myanmar sebagai ”situasi yang delicate”, untuk menggambarkan peliknya situasi di negara itu. Saat bertemu Menlu Brunei Dato Erywan di Bandar Seri Begawan, Rabu kemarin, Retno meyakini mekanisme ASEAN sebagai cara paling tepat menyelesaikan krisis di Myanmar.
Seperti apa dan bagaimana proses dalam mekanisme ASEAN akan berjalan, menarik untuk dicermati. Meskipun ada panduan, seperti tertera dalam Piagam ASEAN, pada level ASEAN juga tak mudah menyatukan pandangan guna mencari solusi krisis Myanmar.
Sejak awal, anggota ASEAN berbeda dalam memandang isu kudeta Myanmar. Thailand, Filipina, dan Kamboja, misalnya, menganggap hal itu urusan internal Myanmar. Singapura juga menolak perluasan sanksi bagi Myanmar.
Perbedaan pandangan itu mencerminkan kepentingan setiap negara terkait Myanmar. Butuh keterampilan dan keuletan diplomasi untuk menyatukan perbedaan pandangan tersebut.