Menyoal Kepastian Hukum UN
Jika pemerintah melalui SE menghapus UN, sementara PP masih memerintahkan UN, maka telah terjadi ketidakpastian hukum UN. Oleh karena itu, pemerintah khususnya Kemendikbud selayaknya segera membenahi regulasi UN.
Belum lama ini, Menteri Pendidikan dan Kebuda- yaan melansir Surat Edaran (SE) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Peniadaan Ujian Nasional dan Ujian Kesetaraan serta Pelaksanaan Ujian Sekolah dalam Masa Darurat Penyebaran ”Coronavirus Disease” (Covid-19).
Surat edaran Mendikbud ini perlu diapresiasi sekaligus dikritisi, khususnya menyangkut Ujian Nasional (UN) yang dihapuskan. UN kerap kontroversial. Model UN selama ini tidak sesuai dengan filosofi dan teori pendidikan.
Pendidikan sejatinya diukur dengan pendekatan yang komprehensif, baik aspek kognisi, afeksi, maupun psikomotor. Pun begitu, evaluasi pendidikan bukan sekadar varian angka-angka kuantitatif kognisi siswa, melainkan harus mendeskripsikan peserta didik sebagai insan yang utuh dari berbagai dimensi kecerdasan dan karakter. Oleh karenanya, penghapusan UN merupakan langkah yang tepat.
Baca juga: Ujian Nasional Kembali Ditiadakan
Meski demikian, untuk menegakkan tertib hukum, selayaknya penghapusan UN tidak melalui SE. UN diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) No 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dengan demikian, secara formal sampai saat ini, regulasi UN belum dicabut. SE bukanlah produk hukum (regeling), melainkan sekadar maklumat atau pemberitahuan semata.
Sebelumnya, Kemendikbud juga telah mengeluarkan kebijakan asesmen nasional (AN). Sedianya AN akan dilaksanakan pada Maret, tetapi diundur ke sekitar September atau Oktober 2021.
SE bukanlah produk hukum (regeling), melainkan sekadar maklumat atau pemberitahuan semata.
Alasannya, selain karena masih pandemi Covid-19, juga untuk memastikan agar berbagai persiapan logistik, infrastruktur, dan protokol kesehatan lebih optimal. Banyak pihak keliru memaknai AN. AN dipersepsikan sebagian kalangan sebagai pengganti Ujian Nasional (UN). Padahal, AN dan UN dua hal yang berbeda. AN bukan pengganti UN.
Kemendikbud, beberapa waktu lalu, memberikan tiga alasan pokok yang melatarbelakangi dikeluarkannya kebijakan penghapusan UN dengan mempertimbangkan kondisi saat ini. Pertama, materi UN terlalu padat sehingga siswa dan guru cenderung menguji penguasaan konten, bukan kompetensi penalaran.
Baca juga: Menyambut Digitalisasi Pendidikan
Kedua, UN menjadi beban bagi siswa, guru, dan orangtua karena menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu. Padahal, UN seharusnya berfungsi untuk pemetaan mutu sistem pendidikan nasional, bukan penilaian siswa. Ketiga, UN hanya menilai aspek kognitif dari hasil belajar, belum menyentuh karakter siswa secara menyeluruh.
Selain ketiga hal itu, UN pun tidak mengukur apa yang seharusnya diukur, kurang memperhatikan disparitas pendidikan antardaerah, dan tidak memperhatikan prinsip keadilan dalam hal standar pendidikan nasional yang belum merata.
Distorsi UN
Para akademisi setuju dengan dihapuskannya kebijakan UN. Pasalnya, selama ini pelaksanaan UN tidak mengukur apa yang seharusnya diukur sesuai dengan standardisasi evaluasi pendidikan. Bahkan, jika dikaji lebih mendalam, implementasi kebijakan UN justru mengalami distorsi dan salah menafsirkan pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Implementasi kebijakan UN yang telah berlangsung selama belasan tahun diduga telah melenceng dari ketentuan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Meski dalam praktiknya, kebijakan UN itu bersandar pada Peraturan Pemerintah (PP) No 13 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan, khususnya Pasal 66 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa penilaian hasil belajar oleh pemerintah bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional.
Di sinilah awal distorsi kebijakan ketika pemerintah menafsirkan tentang evaluasi hasil belajar peserta didik dalam UU Sisdiknas melalui PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang kemudian diubah dengan PP No 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; dan diubah lagi dengan PP No 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas PP No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.
Baca juga: Mengapa Pendidikan di Indonesia Sulit Maju
Padahal, Pasal 58 Ayat (1) UU Sisdiknas menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Berikutnya, Pasal 58 Ayat (2) UU Sisdiknas menyatakan bahwa evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Merujuk ketentuan-ketentuan tersebut, dapat dibedakan evaluasi hasil belajar dengan evaluasi peserta didik.
Merujuk ketentuan-ketentuan tersebut, dapat dibedakan evaluasi hasil belajar dengan evaluasi peserta didik. Evaluasi hasil belajar adalah kewenangan guru, sedangkan evaluasi peserta didik kewenangan lembaga mandiri untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Inkonsistensi
Berikutnya, telah terjadi inkonsistensi pengistilahan. UU Sisdiknas menggunakan kata ’evaluasi’, lalu dipersempit maknanya dengan istilah ’penilaian’ oleh PP No 13 Tahun 2015. UU Sisdiknas memakai kata ’evaluasi’ peserta didik. Sementara PP No 13 Tahun 2015 memakai istilah ’penilaian’ hasil belajar peserta didik. Secara teoretik, penilaian merupakan bagian dari evaluasi.
UU Sisdiknas mengartikan evaluasi pendidikan sebagai kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. Evaluasi hasil belajar peserta didik dan evaluasi peserta didik bukanlah kewenangan pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah untuk melakukannya.
Baca juga: Evaluasi Pendidikan
Khusus evaluasi peserta didik hanya dapat dilakukan oleh lembaga mandiri. Adapun terkait lembaga mandiri, Pasal 59 Ayat (2) UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi.
Berdasarkan ketentuan tersebut, kewenangan untuk membentuk lembaga mandiri dimiliki oleh masyarakat dan/atau organisasi profesi. Pertanyaannya, apakah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang selama ini sebagai penyelenggara UN, termasuk lembaga mandiri yang dibentuk oleh masyarakat dan/atau organisasi profesi?
Jika BSNP bukanlah lembaga seperti yang dimaksud oleh UU Sisdiknas, lalu bagaimana status hukum BSNP selama ini, dan bagaimana kebijakan UN yang dikeluarkannya selama ini? Bagaimana pula konsekuensi hukum atas pelaksanaan UN belasan tahun?
Uniknya lagi, meski Mendikbud sudah melakukan penghentian pelaksanaan UN melalui SE, nyatanya sampai sekarang UN masih memiliki dasar hukum melalui PP No 13 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jika demikian, pembatalan UN 2020 oleh Kemendikbud apakah melanggar PP? Kalau melanggar PP, berarti kebijakan pemberhentian UN oleh Mendikbud tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, alias batal demi hukum.
Baca juga: Ketertinggalan Akademik Siswa Indonesia di Kancah Dunia
Artinya, UN masih harus dilaksanakan sebagaimana perintah dari PP No 13 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam Pasal 68 PP tersebut dinyatakan bahwa hasil UN digunakan sebagai dasar untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, pertimbangan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Jika pemerintah melalui SE menghapus UN, sementara PP masih memerintahkan UN, maka telah terjadi ketidakpastian hukum UN. Oleh karena itu, pemerintah khususnya Kemendikbud selayaknya segera membenahi regulasi UN dengan melakukan revisi PP yang terkait UN.
Tanpa merevisi PP, UN menjadi imperatif untuk tetap dilaksanakan meski sudah dibatalkan melalui SE. Pasalnya, SE bukanlah produk formal berupa regulasi yang dapat membatalkan PP. Oleh karenanya, Kemendikbud perlu segera mengusulkan kepada Presiden agar merevisi PP tersebut untuk menghapuskan materi muatan UN.
Cecep Darmawan, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia dan Peneliti Hukum Pendidikan