Perkembangan terakhir di Myanmar memperlihatkan tidak mudah bagi negara itu untuk menjalankan demokrasi. Pemilu yang menjadi alat bagi rakyat untuk menentukan pilihan bisa diabaikan begitu saja.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pengambilalihan kekuasaan politik di Myanmar oleh militer menunjukkan betapa rapuhnya bangunan demokrasi di negara tersebut.
Rasanya sudah lama dunia tidak mendengar kabar mengenai kekuatan angkatan bersenjata mengambil alih kekuasaan politik di sebuah negara. Peristiwa pada Senin (1/2/2021) di Myanmar—ketika tentara menahan Presiden Win Myint, Penasihat Negara (State Counselor) Aung San Suu Kyi, dan politisi lainnya—sangat mengejutkan.
Militer menuduh pemilu pada November 2020 yang dimenangi telak oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dipenuhi kecurangan. Jumlah warga di daftar pemilih berlebih dan menguntungkan NLD yang dipimpin Suu Kyi.
Pengambilalihan kekuasaan oleh militer bukanlah hal baru di Myanmar. Pada 1960-an, militer juga mengambil kekuasaan di tengah gejolak yang mendera Myanmar. Gejolak dipicu oleh tekanan kelompok-kelompok etnis di perbatasan sehingga negara dinilai berada dalam kondisi tidak aman. Militer berkuasa guna menghadirkan pemerintahan pusat yang kuat.
Pada 1990 pemilu digelar. Sejarah mencatatnya sebagai pemilu multipartai pertama sejak 1960. Pemilihan dimenangi NLD dengan cukup meyakinkan. Namun, militer menolak hasil pemilihan itu dan melanjutkan berkuasa hingga 2011.
Setelah serangkaian langkah demokratisasi, pemilu diadakan pada 2015. NLD kembali menang dan Suu Kyi menjadi pemimpin pemerintahan. Meski demikian, ada 25 persen anggota parlemen yang ditunjuk yang merupakan representasi militer. Selain itu, militer tetap menguasai tiga kementerian penting.
Saat pemilu 2020 diadakan, NLD meraup lagi kemenangan besar. Militer lantas mengambil alih pemerintahan.
Beberapa analisis lantas muncul. Mengapa baru sekarang pengambilalihan kekuasaan dilakukan? Mengapa tidak dilakukan pada 2015? Ada juga pertanyaan, buat apa militer mengambil alih jika pada kenyataannya mereka cukup dominan secara politik. Selain menguasai kementerian penting, militer Myanmar juga kokoh di parlemen. Sulit mengubah konstitusi tanpa persetujuan mereka.
Beberapa laporan menyebutkan, relasi Suu Kyi dengan Panglima Militer Min Aung Hla juga kurang menggembirakan. Komunikasi mereka minim meskipun Suu Kyi sudah sangat hati-hati agar tidak terlalu menekan angkatan bersenjata, antara lain dalam isu kelompok etnis minoritas. Ada pula yang mengaitkan pengambilalihan ini dengan rencana Aung Hla untuk menjadi presiden.
Perkembangan terakhir di Myanmar memperlihatkan tidak mudah bagi negara itu untuk menjalankan demokrasi. Pemilu yang menjadi alat bagi rakyat untuk menentukan pilihan bisa diabaikan begitu saja. Ketidakcocokan dua kubu utama di Myanmar terkait hasil pemilu gagal dijembatani. Akhirnya, demokrasi dan rakyat Myanmar yang menjadi korban.